HIDUPKATOLIK.com – Keuskupan Agung Jakarta terdiri dari 63 paroki yang tumbuh dalam sejarah dan keunikan masing-masing. Maka, diperlukan pedoman untuk menyatukan dinamika pastoral.
Mencakup tiga provinsi, itulah teritori yurisdiksi Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) yakni: DKI Jakarta, sebagian Banten dan Jawa Barat. Wilayahnya membentang dari Pantai Utara hingga perbatasan Kota Depok; dari Citra Raya di Bitung, Banten hingga Cikarang, Jawa Barat.
Tercatat 63 paroki tersebar di wilayah itu. Setiap paroki punya perjalanan historis dan keunikan masing-masing yang menumbuhkan aneka kebiasaan baik yang berlangsung hingga kini. Umatnya pun terdiri dari suku yang bervariasi dengan rentang tingkat sosial ekonomi yang begitu lebar. Selain itu, para pastor parokinya berasal dari pelbagai komunitas, baik para imam diosesan maupun imam dari 20 tarekat religius yang berbeda.
Dalam bunga rampai pastoral itulah, patut disyukuri bahwa dalam reksa kegembalaan Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Gereja KAJ kian bersatu dalam dinamikanya dengan diresmikannya Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) Tahun 2014. Tak terbayangkan, apa jadinya jika 63 paroki itu menjadi begitu khas tanpa mempunyai pedoman yang dijadikan acuan bersama? Apalagi ketika menyeruak perbedaan dan selisih penafsiran dalam unsur-unsur hidup menggereja, alangkah repotnya jika harus berjalan tanpa pedoman yang disepakati bersama. PDDP jelas berguna untuk mempersatukan dina mika pastoral paroki dan memberi pedoman bagi tata pelayanannya. Selain itu, PDDP setebal 130 halaman ini pun menyimpan semangat dasar yang telah terkristalisasi dan mewujud dalam pasal demi pasal.
Gembala Baik nan Murah Hati
Berbeda dengan PDDP Tahun 2008, pedoman baru ini diawali dengan pengantar yang memuat penjelasan makna Logo KAJ. Logo ini juga dilengkapi keterangan tentang gambar Tongkat Gembala dan domba-domba berserta motto “Gembala Baik dan Murah Hati” (lih. PDDP 2014, hal.3).
Sebenarnya ungkapan-ungkapan itu dijiwai ajaran Injil. Dalam Injil Yohanes, dikisahkan tentang Gembala Baik yang memberikan hidupnya bagi domba- domba-Nya (bdk. Yoh 10:10,15). Gembala itu punya kedekatan relasi dengan domba-domba-Nya: “Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba- Ku mengenal Aku” (Yoh 10:14). Hubungan Gembala dan domba dalam Injil tak digambarkan sebagai relasi kuasa, wewenang, maupun otoritas dari atas ke bawah. Ke dekatan penuh pelayanan, itulah yang di maksudkan Yohanes.
Gambaran itu memuat harapan agar umat dikenal, ditemukan, dan diberdayakan oleh Yesus sendiri. Inilah dasar pijakan tata penggembalaan paroki sebagai mana dilakukan oleh Dewan Paroki. Memang harapan amat mulia ini tak serta merta mudah diwujudkan. Meski demikian, itulah cita-cita kita bersama.
Selain itu, kebaikan Sang Gembala juga mengungkapkan suatu kemurahan hati yang tak terperi. “Hendaklah engkau murah hati, seperti Bapamu di surga murah hati” (Luk 6:6). Kata oiktirmones (Yunani) atau misericordes (Latin) menyatakan sikap Allah yang cepat mengambil sikap hati berhadapan dengan penderitaan hidup manusia. Yang menjadi perhatian ialah bagaimana agar manusia mengalami keselamatan. Kata dalam Bahasa Indonesia “berbelarasa” yang makin lazim kita gunakan, lebih tepat untuk mengungkapkan maksud ini.
Kesimpulannya, tata pelayanan paroki bagi umat dialiri oleh sifat Allah sendiri, yang ingin mengenal, memperhatikan, dan memberikan hidup-Nya agar umat sela mat.
Otoritas vs Pelayanan
Dalam PDDP 2014 ditampilkan organigram “penampang serat kayu” (PDDP 2014 hal.35). Para Pastor Paroki sebagai pemimpin umat beserta Dewan Paroki Harian (DPH), tidak ditampilkan di posisi atas, melainkan sebagai lingkaran di tengah, yang dikelilingi lingkaran-lingkaran organisatoris lainnya. Lalu apa maksudnya?
Cara menggambarkan seperti ini ingin menampilkan peranan mereka yang memimpin sebagai pelayan dan pengikat persatuan dari pelbagai unsur yang mengelilinginya. Gambar dengan posisi atas-bawah tentu akan mudah memberi kesan mengenai siapa yang lebih berkuasa sekaligus berhak menentukan keputusan. Sementara itu, gambar “penampang serat kayu” justru menampilkan kesan persatuan yang diikat secara kuat oleh bagian tengahnya.
Ketika menjelaskan tugas dan kedudukan para Pastor Paroki, kesan pelayan persatuan ini ditegaskan. Para pastor mengampu peran sebagai pengilham, penggerak dan pemersatu umat. Mereka mewujudkan kolegialitas imamat dalam tugas-tugas penggembalaan umat, mengembangkan hubungan persaudaraan dan kerjasama, penuh hormat timbal-balik, saling membantu dengan nasihat dan perbuatan (lih. PDDP 2014 hal.43). Dalam salah satu tugas DPH dikatakan bah wa mereka “membentuk diri sebagai komunitas persaudaraan dan pelayanan yang dijiwai iman dan doa” (hal.45). Dua contoh ini jelas menunjukkan bahwa kepemimpinan yang ingin kita bangun ialah kepemimpinan yang melayani, leading by serving, serving by leading. Pelayanan menjadi sifat yang tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan. Harapannya, organigram dalam PDDP 2014 merepre sentasikan cita-cita ini.
Tentu akan muncul pertanyaan, bagaimana pemimpin dengan karakter yang mampu melayani dan mempersatukan umat dapat ditemukan dan dibentuk? Jawaban atasnya tak akan ditemukan dalam pasal-pasal PDDP. Justru inilah tugas kita bersama yang mengemban amanah sebagai fungsionaris Dewan Paroki untuk senantiasa terbuka pada tuntunan Roh Kudus, peka pada perubahan demi kebaikan pelayanan seluruh umat, tidak sungkan serta setia berproses dalam evaluasi dan refleksi bersama.
Partisipatif dan Transformatif
Dua sifat disematkan dalam tata pelayanan dan kepemimpinan yang dibangun di KAJ, yakni partisipatif dan transformatif. Pertama, partisipatif menyatakan sikap Gereja yang membuka kesempatan teramat luas bagi peran serta umat. Dengan demikian, dibutuhkan bentuk-bentuk kreatif agar umat makin terlibat dalam pelbagai segi hidup menggereja. Dalam tataran kepemimpinan dan pengambilan keputusan, sifat partisipatif ini diungkapkan dengan semangat penegasan bersama. Ungkapan kearifan lokal “musyawarah untuk mufakat” menampilkan dinamika pembicaraan bersama para pemimpin paroki. Di situlah mereka berdeliberasi untuk menemukan hal-hal yang mempersatukan dan mengarahkan pada ke sepakatan bersama (PDDP 2014 hal.57). Contoh lain, surat-surat penting yang diajukan ketingkat keuskupan tak hanya di tandatangani sendiri oleh Pastor Kepala, melainkan bersama dengan Sekretaris Dewan Paroki (hal.62).
Kedua, yang dimaksud transformatif ialah sifat yang mengarah pada perbaikan terus-menerus menuju cita-cita Gereja KAJ, sebagaimana dirumuskan dalam Arah Dasar Pastoral 2011-2015. Dalam PDDP 2014 halaman 94-99, dilampirkan panduan singkat tatakelola atau manajemen paroki. Transformasi yang diharapkan, diungkapkan dalam rumusan sasaran yang terbatas dengan indikasi terukur dan jangka waktu tertentu. Di balik lembaran-lembaran manajerial sederhana ini, di tampilkan keterbukaan Gereja untuk menggunakan kemajuan ilmu modern yang berguna bagi perkembangan umat Allah.
Dalam rangka transformasi, pastoral berbasis data sangat penting untuk mendapatkan peta pastoral Gereja sebagai titik pijaknya. Dengan demikian, situasi dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Pasalnya, umat bisa memetakan kondisi pastoral paroki terkini berdasarkan data itu, lalu merancang perkembangan sesuai dengan pertimbangan yang mampu dipertanggungjawabkan. Misal, data paroki yang memperlihatkan banyaknya keluarga muda, tentu akan ditindaklanjuti dengan penekanan pada pastoral keluarga dan anak-anak. Paroki di pinggiran Jakarta yang kebanyakan umatnya menjadi buruh, sudah sepantasnya membangun Seksi Sosial yang peka terhadap kesulitan para pekerja. Data yang dikumpulkan dengan baik dan dianalisis untuk suatu kebijakan pastoral, memudahkan paroki mengawal gerak transformasinya.
Kaderisasi Pelayan Pastoral
PDDP 2014 juga menggarisbawahi pentingnya kesadaran akan kaderisasi pelayan pastoral. Secara khusus disebutkan perlunya memperhatikan orang muda demi kesinambungan pelayanan Gereja (bdk. hal.69). Hal ini menegaskan pilihan strategis yang disebutkan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ, yakni “menjalankan kaderisasi dan pendampingan berkelanjutan para pelayan pastoral”. Harapannya, pemahaman Gereja sebagai umat Allah kian mengakar kuat. Semua orang yang dibaptis Katolik merupakan anggota Gereja dan secara aktif membentuk Gereja. Hirarki ialah pelayan Gereja yang berfungsi mempersatukan dan mengobarkan semangat totalitas keterlibatan kaum awam dengan aneka bentuk kreatif dalam kaderisasi.
Sesungguhnya, penekanan tentang peran serta, keterlibatan, pemberdayaan dan kaderisasi kaum awam bukanlah hal baru. Dalam sejarah KAJ, rekam jejak peranan kaum awam amat kental dan menentukan sejak awal. Gereja KAJ tak melulu dibangun oleh uskup dan para imam. Beberapa karya besar dalam bidang sosial, kesehatan dan pendidikan, berdiri tegak karena keteguhan dan kegigihan kaum awam demi ungkapan baktinya bagi Gereja dan negara. Misal, RS Sint Carolus, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, dll. Semoga kaderisasi para pelayan pastoral ini mampu mencuri perhatian khusus dari Dewan Paroki.
Masih ada butir-butir lain yang bisa ditemukan sebagai semangat dasar PDDP ini. Inilah saat untuk mulai membuka-buka halamannya dan mempelajarinya demi dinamika pelayanan umat di Keuskupan Agung Jakarta.
RD Yohanes Subagyo, Vikaris Jendral KAJ
HIDUP NO.07 2014, 16 Februari 2014