HIDUPKATOLIK.com – Imlek yang jatuh pada 31 Januari, sungguh dinanti banyak orang. Bukan karena Imlek adalah perayaan tahun baru dalam penanggalan Cina semata, yang rutin dirayakan tiap tahun. Orang berharap kedatangan Imlek juga berarti akhir dari serangkaian bencana alam yang rajin menimpa beberapa tempat di Indonesia. Gunung Sinabung meletus di Sumatra Utara, banjir bandang melanda Sulawesi Utara, gempa bumi menggoyang wilayah Jawa Tengah selatan, serta banjir merendam Jakarta berkepanjangan. Namun, apa hubungan rentetan bencana ini dengan Imlek?
Imlek menandai tahun yang baru, karena Imlek adalah perayaan awal musim semi. Musim dingin yang menggigit di negeri Cina diganti musim semi yang lebih hangat dan menumbuhkan kehidupan. Ini merupakan saat penting bagi masyarakat Cina yang agraris, karena mereka kembali mulai menanam. Ucapan syukur pun ditunjukkan tidak hanya kepada dewa-dewa, tetapi juga para leluhur. Mereka membersihkan rumah dan makan bersama dalam keluarga sebagai tanda dimulai kehidupan baru. Perayaan bisa berlangsung sampai 15 hari, dan setiap hari diisi kemeriahan yang berbeda-beda.
Musim semi, musim tanam, dan akhir musim dingin selalu melambangkan harapan baru. Bencana boleh terjadi silih berganti sepanjang tahun, berbagai kesusahan dan musibah bisa saja menimpa, tetapi manusia tak pernah kehilangan harapan akan kehidupan yang lebih baik pada tahun berikut. Imlek, dengan begitu, menjadi bukti kekuatan keyakinan manusia akan harapan. Harapanlah yang membuat orang mau memulai kembali kehidupan, menata, serta membenahi, seolah semua hal kembali menjadi baru.
Dalam cerita, awal tahun baru Cina ini diwarnai pertarungan antara manusia dan makhluk mitologis bernama Nian, yang suka memakan ternak dan tanaman pangan penduduk, bahkan juga anak-anak kecil. Namun, Nian ternyata takut pada warna merah. Itulah sebab kedatangan tahun baru disambut dengan lampion warna merah serta kembang api untuk menakut-nakuti Nian. Nian yang berhasil dihalau menandai kembali kehidupan normal dan damai. Orang terbebas dari ketakutan, dan berbagai aktivitas bisa dimulai kembali, termasuk bercocok tanam. Kemenangan atas kekuatan jahat yang destruktif ini tentu layak dirayakan secara istimewa.
Imlek adalah kebangkitan kembali harapan, seperti kebangkitan Kristus dari maut, yang menjadi tanda kemenangan atas dosa dan tergenapi janji Allah akan kehidupan kekal bagi mereka yang percaya. Dengan demikian, ada universalitas terkandung dalam perayaan Imlek, sehingga kita tidak perlu heran mengapa Imlek juga dirayakan di negeri-negeri lain di luar Cina dan disambut tidak hanya oleh penganut Konfusianisme saja.
Imlek menyentuh hakikat kehidupan manusia yang paling asasi dan tak pernah mati. Bukan hal mustahil bahwa manusia mampu untuk sintas, bertahan hidup dengan sukses dalam proses evolusi panjang yang menyaksikan kepunahan banyak spesies kehidupan, terutama karena manusia memiliki harapan, sebuah konsep yang merujuk pada masa depan dan mungkin tak dikenal dalam dunia hewan.
Harapan melibatkan keyakinan akan yang belum terjadi, namun dipercaya pasti bakal terjadi, tak peduli apapun aral rintangan saat ini. Maka mustahil ada harapan tanpa ada iman. Sesudah Yesus mati di kayu salib, para murid seperti kehilangan semangat hidup dan keyakinan, tenggelam dalam dukacita dan ketakutan. Hanya Maria Magdalena yang mau repot-repot datang ke makam Yesus pada hari ketiga. Tanpa ada harapan, Maria Magdalena akan membenamkan diri dalam ratapan seperti para murid yang lain.
Maka ada alasan bagi orang Katolik untuk turut menyambut Imlek, sebab ia diingatkan lagi akan harapan yang dijanjikan Tuhan, yakni pengampunan dosa, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal. Harapan ini perlu diimani dengan total agar dapat menjadi nyata, seperti mereka yang telah merayakan Imlek selama berabad-abad tanpa pernah susut semangat. Kung Xi Fat Choi!
Manneke Budiman
HIDUP NO.06 2014, 9 Februari 2014