HIDUPKATOLIK.com – Merayakan 90 tahun CM Indonesia (1923-2013) dan 50 tahun misi Romo-romo CM Italia di Keuskupan Surabaya (1964-2014), Museum Misi di Surabaya diresmikan, sebagai sumber hidup umat beriman.
Museum ini menempati “gedung pertama” Seminari St Vincentius di Jalan Kepanjen 9, Surabaya, di samping Provinsialat Kongregasi Misi (CM). CM didirikan oleh St Vincentius de Paul di Paris. Museum ini diberkati Uskup Surabaya, Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, bertepatan dengan perayaan Hari Jadi CM, 25 Januari 1617; mengisahkan tentang peziarahan iman Katolik di Keuskupan Surabaya.
Semangat Misioner
Museum ini menghadirkan bagaimana Injil diwartakan dan iman akan Kristus ditaburkan, umat Katolik tumbuh di stasistasi, sekolah-sekolah desa dibangun, dan Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya berjalan, berziarah melintasi tahun-tahun cemerlang dan lorong-lorong gelap.
Museum bukanlah informasi tentang peristiwa misi masa lalu, tetapi pertama-tama adalah formatif. Artinya, siapa pun yang datang diketuk hatinya untuk mensyukuri karya misi, anugerah iman lewat pewartaan misionaris dan mengembangkannya dalam hidup sehari-hari serta mewartakannya kepada sesama. Dengan kata lain, siapa pun diketuk hatinya untuk memiliki semangat misioner.
Saat Propaganda Fide mengutus CM untuk misi di wilayah Karesidenan Surabaya, Kediri, dan Rembang pada tahun 1923, ketika itu umat Katolik mayoritas Belanda, dan umat Katolik Jawa hanya 40 orang. Di wilayah ini CM melanjutkan dan mengembangkan karya misi para Jesuit (SJ).
Tongkat pengemis
Saat terjadi Malaise Ekonomi Dunia pada 1930-an, Prefek Apostolik Surabaya sangat cemas akan keberlangsungan misi. Prefekturat kehabisan dana untuk menggaji para guru di sekolah-sekolah rakyat yang didirikan misionaris. Saking cemasnya, kesehatan Mgr de Backere CM merosot tajam. Bahkan, ia menyebut dirinya, “Uskup yang tak punya tongkat, kecuali tongkat untuk mengemis!” Tak terbayangkan, keuskupan yang saat ini demikian berkembang, dulu pernah dibangun di atas “pengemisan,” karena cemas kalau karya misi akan hancur.
Pengalaman ini menunjukkan Keuskupan Surabaya pernah hidup hanya karena “kemurahan hati” dari banyak uluran tangan. Era setelah perang hingga tahun-tahun delapan puluhan, Keuskupan Surabaya masih ditopang oleh uluran tangan orang lain. Karena itu, para Romo CM berkeyakinan, mungkin inilah rasa syukur itu, untuk selanjutnya semangat murah hati yang sama hendaknya menghiasi hari-hari perjalanan umat Katolik Keuskupan Surabaya.
Pada 8 Mei 1942, Mgr Michael Verhoeks CM menerima tahbisan episkopal dari Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Tentara Jepang mengintip di depan pintu Gereja, dan karenanya kor dilarang menyanyi dengan keras, tidak ada pesta, perarakan dilarang, lonceng dibunyikan pelan-pelan. Dan, setelah itu Mgr Verhoeks pulang ke tempat tinggalnya ke Ketabang Kristus Raja. Perayaan agung terasa sunyi. Mgr Verhoeks ditunjuk menjadi Vikaris Apostolik Surabaya oleh Takhta Suci pada 16 Oktober 1941, dengan gelar Uskup Tituler Eleutheropolis in Palaestina.
Kisah lainnya, Gereja yang sangat indah, yakni Gereja Kelahiran St Perawan Maria Kepanjen Surabaya dibakar habis atap dan segala isinya pada 12 November 1945, dua hari setelah perjuangan yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Informasi mengenai tanggal kehancurannya ini didapat dari surat Mgr Verhoeks kepada Paus Pius XII yang mengabarkan keadaan Vikariat Surabaya setelah perang. Saat itu, di depan tabernakel yang kosong dan gosong, tidak ada satu pun umat yang datang; justru seekor kambing “mengunjungi”-Nya.
Sebelumnya, awal September 1943 para misionaris diculik dari tempat tugas masing-masing: Surabaya, Blitar, Kediri, Mojokerto, Madiun dan Cepu. Mereka diciduk tentara Kempeitai (Polisi Tentara Jepang) dengan truk. Mereka yang berkarya di Surabaya dibawa ke penjara Bubutan sampai lima bulan. Awal Januari 1944, semua misionaris Belanda dibawa dengan kereta api yang buruk dan pelan jalannya ke Cimahi, Bandung. Mereka dijebloskan ke Internir (kamp konsentrasi). Mereka tinggal di barak-barak jelek, dan makanan yang tidak memadai. Merekadianiaya, ancaman pembunuhan datang setiap saat.
Romo van Goethem CM tidak beruntung. Ia dihajar Kempeitai hingga tak bisa jalan, karena saat pastoran Madiun digeledah, tentara menemukan bendera Jepang di gudang, yang harusnya di ruang tamu.. Romo Gerard Boonekamp CM dihukum berat secara fisik, karena dituduh menyembunyikan tentara Australia yang terluka. Ia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Karena pembelaan dan intervensi Vikaris Apostolik Batavia Mgr Petrus Joannes Willekens SJ, hukuman diubah 15 tahun. Pembelaan Mgr Willekens: Romo Gerard melakukan pertolongan kemanusiaan, tentara Australia itu terluka parah, butuh perawatan.
Romo van Megen CM hampir mati di internir, karena kekurangan gizi. Ia “diselamatkan” tikus. Teman-teman misionaris mencarikan tikus di barak-barak, dan memasaknya untuk tambahan gizi! Sementara itu, tubuh Mgr Verhoeks tak kuasa menahan sakit dan sejak itu ia mengidap asma berat sampai akhir hidupnya (1952).
Beberapa kisah peristiwa tersebut dicuplik dari Museum Misi. Para Romo CM memaknai, misionaris perintis pendahulu demikian tabah melewati periode amat sulit dalam membangun kembali Gereja Katolik.
Bagaimana orang bisa berteologi tanpa pengenalan sejarah imannya, tanpa pemahaman bagaimana iman Katolik tumbuh, berakar, dan berkembang seperti yang disaksikan dan diperjuangkan para perintis Gereja? Umat pun dahaga akan sejarah misi Gerejanya, demikian keyakinan para pencetus Museum Misi ini.
Armada Riyanto CM
HIDUP NO.06 2018, 9 Februari 2018