HIDUPKATOLIK.com – Selama 80 tahun, Harry Tjan Silalahi menghayati, menghidupi, dan menjalani prinsip-prinsip hidup yang tak mudah. Tak heran, ia masih tahan dengan cuaca kehidupan hingga hari ini
Sing becik ketitik, sing ala ketara. Ungkapan Jawa ini menjadi formula hidup Harry Tjan Silalahi. Kalimat itu berarti hal yang baik akan diakui dan diterima orang, tapi hal yang buruk akan diketahui sebagai buruk, dan ditolak. Dalam ungkapan ini terkandung keyakinan dasar bahwa di dunia ini ada yang baik dan buruk. Namun manusia harus mengusahakan yang baik seperti dikehendaki Sang Pencipta. Dalam keyakinan Harry, kebaikanlah yang akan muncul sebagai pemenang (dalam bahasa Jawa Sing salah, seleh), sehingga tak ada kata putus asa dalam hidup dan perjuangan ini.
Formula ini dapat juga disebut “mantra”. Ia adalah ungkapan yang membawa orang pada kenyataan lain, yaitu keyakinan akan peran Tuhan, Gusti ora sare atau Tuhan tidak berdiam diri, dalam hidup sehingga selalu ada harapan. Karena ada harapan, orang akan terus memiliki kehendak baik dan kemampuan bertindak. Santo Paulus mengatakan, orang harus memiliki iman, harapan, dan kasih. Ketiga hal itu bukanlah urutan (sequence). Iman, harapan, dan kasih adalah tiga dimensi penghayatan hidup seseorang yang saling mengisi dan mengandaikan.
Prinsip hidup ini menjadi “pintu masuk” dalam hidup doa yang kontekstual dengan segala hal yang dialami dan dijalani Harry sebagai umat Katolik untuk memiliki dan mempertahankan cita-cita perjuangan hidup dengan segala kekurangan dan kelebihan. Dengan dilandasi sikap ojo dumeh ( jangan sok/ sombong), sejak remaja dalam organisasi pelajar, kemahasiswaan, menjadi guru, pendiri sekolah, pengurus partai politik, anggota DPR/MPR dan DPA, lalu berkarya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Harry meng hayati hidup dengan formula itu. Maka tak mengherankan jika sampai hari ini, Harry tampak selalu “tahan cuaca kehidupan”.
Peradaban pluralis
Orang Indonesia, bagi Harry merupakan anggota “multi-minority etnic”. Seperti dia yang keturunan Tionghoa, hidup dalam budaya Jawa yang dominan, dan bermarga Batak, Harry mencita-citakan masyarakat Indonesia yang berperadaban pluralis.
Karena setiap orang Indonesia anggota kelompok minoritas, maka sudah selayaknya menjadi orang yang berbudaya dan berperadaban pluralis, yaitu menerima dan menghargai aneka perbedaan serta mampu berinteraksi untuk take and give. Berbudaya dan berperadaban pluralis bukan sekadar koeksistensi damai (tak bermusuhan), tetapi lebih dari itu, yaitu kemampuan untuk bersama-sama menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat, sehingga Indonesia layak disebut Een plaat om te wonen, sebuah tempat yang layak di diami bersama. Bagi Harry, dasar untuk mewadahi itu adalah Pancasila. Memang dengan hidup bersama dua orang yang berbeda identitas, tidak serta merta melahirkan pluralitas, kecuali jika keduanya menjadi bagian dari koevolusi menuju cita-cita kemanusiaan yang sama. Cita-cita kemanusiaan adalah kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Orang harus berketuhanan, harus bersatu (crah agawe bubrah, perpecahan membuat kehancuran), berperikemanusiaan dengan menjamin hak asasi manusia dan dilaksanakan dalam sistem kerakyatan atau demokrasi. Pluralisme juga tak cukup dengan toleransi, tapi perlu usaha bersama memupuk kemanusiaan yang adil dan beradab.
Maka peradaban itu bukan “homo centris”, interaksi antar manusia, tapi harus “biocentris”, interaksi yang saling mendukung dan menghidupkan. Menurut Harry, peradaban pluralis di Indonesia merupakan perjuangan panjang yang menuntut keterlibatan dan usaha keras warga Indonesia, bukan hanya untuk survive, tapi ju ga berhasil mewujudkan cita-cita sebagai bangsa.
J.B. Soedarmanta, Penulis buku biografi Harry Tjan Silalahi
HIDUP NO.06 2014, 9 Februari 2014