web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan Keuskupan Agung Jakarta (PPADR KAJ): Menuju Zero Tolerance

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan Keuskupan Agung Jakarta (PPADR KAJ) diluncurkan pada 8 Januari 2022, bersamaan dengan pembukaan Tahun Penghormatan Martabat Manusia di Katedral Jakarta. Sejumlah tahapan telah dilakukan Tim Gereja Ramah Anak dan Dewasa Rentan (Tim 15) dan perangkat terkait lainnya.

Wakil Ketua Tim 15, Leopold Sudaryono, menyebut enam tahap. Pertama, perekrutan fasilitator inti, yang kemudian disebut FI, dan pelatihan. Kedua, sosialisasi. Ketiga, pembentukan Tim Satuan Gugus Tugas (Satgas) PPADR Paroki. Keempat, skrining nama-nama yang diusulkan untuk menjadi anggota Tim Satgas PPADR Paroki. Kelima, sosialisasi lanjutan tingkat paroki. Keenam, pembentukan tim penanganan tingkat paroki.

“Kami berusaha melakukan perubahan yang besar, luas. Besar karena melibatkan 500.000 umat KAJ. Luas karena yang akan diubah bukan sekadar soal prosedur tapi juga mindset, kultur, paradigma umat dan klerus serta kaum religius. Butuh proses yang bertahap dan direncanakan dengan baik,” Leopold saat dihubungi HIDUP pada Minggu, 12/3/2023.

Pada tahap pertama, 120 orang dari berbagai paroki direkrut menjadi FI. Mereka telah melewati pelatihan. Secara keseluruhan, ada tiga angkatan pelatihan. Masuk tahap kedua, seluruh FI melakukan sosialisasi ke semua paroki di KAJ melalui sembilan dekenat: Pusat, Barat 1, Barat 2, Selatan, Utara, Timur, Bekasi, Tangerang 1, dan Tangerang 2. Setiap paroki wajib mengirim 10 wakil, seperti imam, dewan paroki, pembina Bina Iman Anak (BIA) dan Bina Iman Remaja (BIR), karyawan paroki, dan Seksi Keadilan dan Perdamaian (SKP). Beberapa tokoh kunci pun hadir. “Prosesnya selesai hampir 1,5 bulan,” ujar Leopold.

Tahap ketiga melibatkan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo. Kardinal pada 4 Oktober 2023 mengeluarkan surat yang mewajibkan semua pastor kepala paroki untuk membentuk Tim Satgas PPADR.

Menurut kriminolog ini, sekitar 50 persen dari total paroki telah mengirim usulan nama-nama yang akan menjadi anggota Tim Satgas PPADR.

Tahap berikutnya skrining usulan nama-nama tersebut dalam kerjasama dengan Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta. Dalam proses ini, sebuah instrumen penilaian, yakni Instrumen Perlindungan Protokol (IPP), disusun guna melihat indikasi perilaku kekerasan seksual seseorang.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Hasilnya, hampir sebagian besar lolos. Mereka yang tidak lolos mengikuti tahap lanjutan berupa wawancara atau tes psikologis yang dilakukan Tim KAJ. Tim Satgas PPADR Paroki dikukuhkanKardinal melalui Surat Keputusan (SK).

Tahap kelima, sosialisasi lebih lanjut di tingkat paroki oleh Tim Satgas PPADR didampingi FI dan Tim 15. Terakhir, pembentukan tim penanganan kasus di tingkat paroki. “Sudah kami sampaikan di satu atau dua tahun awal, kasus sebaiknya ditangani Keuskupan dulu karena infrastruktur dan sumber daya di paroki mungkin belum terbentuk walaupun beberapa kasus sudah ditangani paroki saat ini,” ungkapnya.

Mulai Muncul

Leopold mengaku beberapa kasus lama mulai muncul pascapeluncuran. Penyebabnya, ada kecenderungan di kalangan korban memilih diam selama ini atau mereka tidak tahu kepada siapa harus melapor. Ada kasus yang melibatkan imam dan ditangani tarekat terkait. Ada pula kasus yang diselesaikan paroki karena melibatkan pembina misdinar. Kendati demikian, munculnya kasus-kasus lama bukan suatu hambatan. Justru ini merupakan bagian dari hal-hal yang harus ditangani. Harapannya, tidak ada kasus baru di masa depan. Ini yang disebut zero tolerance atau tidak ada lagi toleransi untuk kasus-kasus baru.

Leopold menggarisbawahi pencegahan sebagai fokus. Dalam konteks ini, potensi terjadinya kasus baru bisa ditekan hingga angka nol jika semakin banyak klerus, kaum religius dan pelayan pastoral serta umat memiliki pemahaman memadai tentang kekerasan seksual. Artinya, potensi kekerasan seksual bisa dideteksi lebih dini. Memang sempat ada perdebatan. Apakah pencegahan terintegrasi dengan paroki atau terpisah dari paroki. Namun kemudian disepakati mekanisme pencegahan diintegrasikan dengan paroki. Pertimbangannya, perubahan perlu dilakukan. Kesepakatan ini pula yang menjadi dasar bagi Kardinal Suharyo untuk mengeluarkan “surat perintah” pembentukan Tim Satgas PPADR Paroki yang melibatkan pastor kepala paroki dan umat paroki dari berbagai profesi.

Tipologi Kekerasan

Menurut Leopold, istilah yang tepat untuk menyebut kekerasan seksual di lingkungan pelayanan pastoral KAJ adalah manipulasi kekuasaan atau wewenang pastoral demi kepentingan seksual. Alasannya, model kekerasan seksual yang terjadi sangat halus dan berbeda dengan kekerasan seksual di tempat publik yang cenderung bersifat violent, seperti penyerangan dan pemerkosaan. Yang terjadi di lingkungan pelayanan adalah grooming. Ada tahap manipulasi terlebih dahulu sebelum terjadi kekerasan seksual.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Memperkenalkan prosedur operasi standar (SOP, Standard Operating Procedure) perlu dilakukan guna mengatasi tipologi kekerasan seksual semacam itu supaya tercipta rasa aman. “Misalnya, anak saya ikut BIR atau misdinar. Saya tahu dia akan beraktivitas dalam lingkungan yang aman. Karena tidak mungkin bagi pembinanya atau imam untuk kemudian engage ke anak saya. Anak-anak sudah diberitahu jangan begini kepada orang tua atau jangan membiarkan tubuh disentuh atau dipegang. Ini menjadi semacam komunikasi, bahasa yang digunakan,” tutur Leopold.

Di kalangan orang dewasa, sejumlah kasus grooming masih abu-abu. Seorang perempuan dewasa dalam suatu relasi kuasa pastoral yang tidak seimbang, misalnya, menjadi rentan dan termanipulasi. Maka, memastikan paroki-paroki dapat menjaga semua ruang dengan baik perlu dilakukan. “Ini juga sempat jadi perdebatan. Misalnya, ruang konsultasi. Baiknya ada kaca di mana orang tetap bisa melihat. Atau confidential, ada CCTV sebagai bukti. Bukti ini bukan karena tidak percaya kepada imam, tapi membantu imam bahwa tidak ada apa-apa,” kata Leopold.

Victim-Centered Model

Menyinggung jenis-jenis kekerasan seksual, Leopold menjelaskan saat PPADR KAJ dalam proses penyusunan, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) masih digodok DPR RI. Namun beberapa anggota Tim 15 sudah memasukkan jenis-jenis kekerasan seksual yang tercantum dalam draf RUU sebagai standar untuk PPADR KAJ.

Kekerasan seksual menurut PPADR KAJ adalah setiap perbuatan yang merendahkan, dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Kesemua kualifikasi tindakan di atas dilakukan dalam lingkungan pelayanan pastoral KAJ.

Sementara tindak pidana kekerasan seksual yang tertuang dalam Pasal 4 UU TPKS (disahkan pada 12 April 2022 oleh DPR-RI): pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain itu disebutkan pula perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak.Juga,  perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban. Masih dalam definisi disebutkan, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

PPADR KAJ memiliki model yang berpusat pada korban atau victim-centered model. Misalnya, pendampingan dan pemulihan korban serta penyediaan bantuan hukum jika korban ingin melapor ke polisi. Namun membawa kasus ke ranah hukum bukan tujuan PPADR KAJ karena perhatian utama bukan menghukum pelaku. “Kita memastikan bahwa korban kuat dalam proses itu. Jadi memang fokusnya itu. Bukan mengejar pelaku,” tegas Leopold.

Terkait pelaporan, korban atau orang yang mengetahui kasus kekerasan seksual di lingkungan pelayanan pastoral KAJ dapat menghubungi kontak pengaduan melalui situs gerejaramah.kaj.or.id. Sistem 24 jam melalui aplikasi WhatsApp Business sudah dikembangkan.

Laporan yang masuk akan mendapat tiket atau nomor laporan yang nantinya akan digunakan untuk pemantauan. “Setelah laporan masuk, tim penerima laporan akan memastikan bahwa data-data awal cukup lengkap. Mereka bisa menghubungi korban kembali. Dari situ akan dirujuk pada tim pendampinga. Apakah akan diperlukan langsung evakuasi fisik, pendampingan hukum ke kepolisian untuk mendapatkan visum di rumah sakit, atau seperti apa berdasarkan laporan yang diterima,” ujarnya.

Selanjutnya, tim pendamping yang akan memroses lebih lanjut termasuk evakuasi ke rumah aman untuk memastikan korban memiliki tempat tinggal yang aman. Definisi rumah aman menurut PPADR KAJ adalah tempat tinggal yang berupa tempat khusus atau keluarga korban atau saksi sepanjang yang bersangkutan memperoleh perlindungan dan memulihkan kondisinya. Sementara tipe pendampingan mencakup medis, hukum, psikologi, dan sosial-ekonomi.

Katharina Reny Lestari

HIDUP, Edisi No. 13, Tahun ke-77, Minggu, 26 Maret 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles