web page hit counter
Minggu, 24 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

RENUNGAN 2020: KEPRIHATINAN, KEBERSAMAAN, DAN PENGHARAPAN

1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PANDEMI Global Covid-19 (selanjutnya Pandemi), merupakan peristiwa kesehatan publik (umat manusia), yang tidak pernah diharapkan, tidak terduga, dan secara mengejutkan membawa dampak yang sangat besar. Sejak pertama kali diumumkan pemerintah, setiap hari warga disuguhi angka-angka, yang menunjuk jumlah korban yang terpapar, jumlah mereka yang sembuh dan jumlah mereka yang meninggal dunia. Mungkin semula kita mengira bahwa peristiwa ini hanya menyangkut kesehatan orang per orang, sehingga persiapan tidak sedari dini diselenggarakan. Apa yang terjadi kemudian memperlihatkan bahwa Pandemi, tidak saja menginfeksi kesehatan publik, akan tetapi juga ekonomi negara dan seluruh aspek yang terkait dengan kesehatan warga.

Tentu tidak pada tempatnya jika muncul perdebatan tentang siapa yang salah dan siapa yang paling bertanggung jawab. Kini masalah telah semakin serius dan makin dalam. Segala upaya, mulai dari yang dikerjakan penuh oleh pemerintah, yakni 3T (testing, tracing, treatment), dan yang dijalankan publik, yakni 4M (menghindari kerumunan, menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan dengan sabun), dalam kenyataan masih belum sepenuhnya efektif untuk memutus mata rantai penyebaran virus.  Ketika tulisan ini disusun, seluruh dunia angka kasus sudah mencapai menunjukkan 76,8 juta, dengan jumlah korban meninggal mencapai 1,69 juta.  Sementara untuk Indonesia, jumlahnya dilaporkan 671.778 kasus positif, 546.884 yang sembuh, dan 20.085  yang meninggal dunia.  Kenyataan ini tentu saja membawa dilemma tersendiri, yakni jika dilakukan pelonggaran akan makin meningkatkan kasus, sementara jika dilakukan pembatasan ketat akan membawa dampak pada pelambatan ekonomi, yang juga akan membawa akibat bagi perikehidupan masyarakat kebanyakan.

Oleh karena itulah, kita menyebut tahun 2020 membawa kita dalam prihatin yang dalam. Rasa prihatin tidak saja menyangkut kasus-kasus terkait dengan Pandemi, namun juga akibat lain yang ditimbulkan sebagai akibat kemerosotan ekonomi. Pertama, tentu adalah keadaan yang dapat kita sebut sebagai makin bertambahnya jumlah orang miskin. Baik sebagai akibat penurunan daya beli, PHK dan penyempitan lapangan kerja, sehingga jumlah pengangguran juga bertambah. Kedua, keserentakan masalah yang muncul, sudah barang tentu meningkatkan beban kita sebagai bangsa, dan tentu akan membawa dampak pada bertambahnya beban yang harus dipikul negara, sementara kemampuan mengalami tantangan sebagai akibat dari penurunan kinerja ekonomi. Akibat kongkritnya adalah potensi penurunan kualitas layanan publik, baik di sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lainnya. Dari dua hal tersebut, kita telah dapat menduga, bahwa situasi akan makin membawa masyarakat dalam keadaan sulit.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Kebersamaan

Banyak pihak yang mengatakan bahwa Pandemi telah menjadi tes cepat terhadap tata hidup bersama kita. Pandemi, seakan-akan menjadi penyingkap atau pengungkap apa yang selama ini tersimpan rapi di bawah karpet. Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya, terutama jika kita melihat “momen gagap” dalam menangani masalah yang datang mendadak dan memuat kompleksitas tersendiri. Bagi kita tentu, soalnya bukan terkait dengan hal-hal dekat. Kita amat perlu berpikir strategis dan jangka jauh. Kalaupun benar bahwa Pandemi telah memberi jalan untuk mengungkapkan kenyataan hari ini, maka hal tersebut harus diletakkan sebagai karya tangan adi kuasa, yang hendak menunjukkan pada kita bersama kenyataan hari ini. Artinya, pengungkapan tersebut, bukan undangan untuk menjadikannya sebagai bahan baku pertengkaran yang mengganggu kualitas kohesi sosial, melainkan sebaliknya, yakni menjadi petunjuk tentang apa yang sungguh harus diperbaiki dan dengan demikian memberikan kita fondasi kokoh untuk memperkuat kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.

Kesadaran tersebut, tentu akan membantu kita untuk lebih mengerti, tidak saja tentang hal-hal yang nyata terjadi, melainkan juga tentang apa yang harus dilakukan secara konstruktif. Apakah hal tersebut dimungkinkan?

Pertama, sejak bangsa memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, telah tertanam kuat suatu pendasaran yang kokoh, bahwa hanya dengan kebersamaan kuat, maka bangsa akan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna. Sejarah panjang bangsa telah menunjukkan dua kehendak utama, yakni tekad untuk hidup bersama dengan tujuan mulia dan tekad untuk mempertahankan keutuhan bangsa dari segala hal yang berpotensi mengurangi kualitas kebersamaan kita sebagai bangsa merdeka. Kesemuanya ini hendak mengatakan bahwa segala hal yang dapat dipandang sebagai potensi yang membuat kadar kebersamaan berkurang, sesungguhnya tidak punya landasan historis.

Baca Juga:  Uskup Agung Palembang: Banyak Intelektual Katolik, Hanya Sedikit yang Mau Berproses

Kedua, sebagaimana kita ketahui bahwa dampak Pandemi demikian luas dan dalam. Beban yang ditimbulkan Pandemi tidak saja membutuhkan sumberdaya yang besar, namun juga suatu kebersamaan yang tertata dengan baik. Ibarat hendak mendorong mobil mogok, jika tenaga yang tersedia diletakkan di setiap sisi mobil tersebut, maka tentu kendaraan tidak akan bergerak. Oleh karena tenaga dorong dari empat penjuru akan bersifat saling melemahkan. Pada titik inilah kita meyakini bahwa selain kebersamaan, juga dibutuhkan susunan yang tepat. Susunan tersebut hanya dimungkinkan terbentuk jika dan hanya jika terdapat kesediaan semua elemen untuk berbagi peran dan menjalankan tugas sebaik-baiknya. Dan hal dimaksud, hanya akan dapat diselenggarakan manakala dilandasi oleh sikap saling percaya dan sikap saling menghormati.

Pengharapan

Apakah dengan kedua hal tersebut telah cukup memadai untuk menggerakkan perubahan, sehingga kita dapat segera menjemput keadaan baru? Kita hendak mengatakan di sini bahwa dua hal tersebut akan membuat kita lebih percaya diri. Dengan adanya kesadaran tentang pentingnya kebersamaan, memang kita akan lebih optimis. Namun demikian, kita berpandangan bahwa dibutuhkan tenaga lain yang menambah tenaga dorong. Hal yang dimaksud adalah harapan, atau pengharapan. Sudah tentu yang dimaksud bukan jenis pengharapan yang bersifat pastif, melainkan pengharapan yang aktif dan kreatif.

Apa yang perlu dilakukan? Pertama, merajut (kembali) kebersamaan kita. Mengapa hal ini perlu diajukan sebagai langkah utama? Jika kita boleh menggunakan keadaan kebersamaan sebagai hasil anyaman atau sejenisnya, maka tentu dalam dinamika masyarakat, tidak terhindarkan munculnya berbagai tantangan, yang tidak jarang dapat mengoyak anyaman. Oleh sebab itulah, dengan penuh ketekunan dan ketulusan, dibutuhkan tangan sukarela, yang dilandasi sikap kasih sayang sebagai sesame warga bangsa, kemanusiaan dan keadilan. Apa yang kurang pada tempatnya dikembalikan atau dipulihkan, dengan demikian, akan tetap terjaga keutuhan anyaman kebersamaan.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Kedua, kebersamaan hendaknya dipahami sebagai buah karya bersama, dan bukan sesuatu yang kita terima atau kita warisi begitu saja. Kebersamaan adalah buah dari hidup bersama. Karena itu, kita berpandangan pentingnya untuk terus mengembangkan jembatan, melalui dialog dan interaksi yang didasarkan semangat persaudaraan dan motif memberikan pelayanan. Setiap upaya membangun tembok atau pagar, hendaknya diatasi dengan dialog yang berstruktur kesetaraan. Jika hal ini terjadi, maka kita akan mendapatkan suatu jenis kebersamaan yang lebih kenyal dan punya daya tahan tinggi.

Akhirnya kita hendak menegaskan bahwa makin tinggi pengharapan kita, akan semakin gigih kualitas inisiatif yang dihadirkan. Yang dimaksud adalah pengharapan yang juga menjadi energi gerak, yang memungkinkan tumbuhnya inisiatif untuk melebarkan jalan perbaikan keadaan. Untuk masa depan bangsa, kita membutuhkan suatu inisiatif yang didasarkan pada sikap terbuka, jujur dan sepenuhnya didasarkan pada semangat memberi. Mengapa demikian? Karena dengan semangat tersebut, setiap kita akan terhindar dari segala praktik yang membuat kita tidak leluasa melahirkan karya yang bersifat memperkuat bangunan ruang bersama. Tanpa semangat tersebut, kita justru akan terdorong melahirkan kerja yang justru menambah sekat yang justru melemahkan fondasi kebersamaan dalam ruang hidup bersama. Pengharapan akan hari depan yang lebih baik, akan menuntun kita pada kerjasama yang mampu melampaui semua jenis tembok. Sekali lagi, suatu kerja sama dengan semangat kebersamaan yang dirabuki jiwa pengabdian, jiwa melayani, yang dalam hal ini adalah melayani kepentingan bangsa, dan kemanusiaan secara luas. ***

Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles