HIDUPKATOLIK.COM – RUANG pertemuan di Hotel InterContinental aku tinggalkan. Pertengahan Desember di Paris. Jam enam sore, udara sepuluh derajat celsius. Jaket tebal membungkus tubuhku. Berjalan kaki tujuh ratus meter, inilah tujuanku, Galeries Lafayette.
Menjelang Natal, begitu riuhnya Galeries Lafayette. Bukan belanja pakaian, namun buku yang aku cari. Rak-rak yang menggelar buku tentang digital menjadi pilihanku. Umur sudah lewat lima puluh tahun. Betapa beratnya memahami digital bagi diriku. Namun sebagai eksekutif perusahaan keuangan global bertungkus-lumus dengan dunia digital menjadi keharusan bagiku. Empat buku aku beli.
Jam makan malam aku cari food court. Penuh sesak. Ada satu kursi tersisa.
“Kosong?” kutanya seorang gadis dua puluh lima-an tahun berwajah Asia yang sedang melahap burger. Dia sejenak menatap penampilanku.
“Kosong,” jawabnya segera.
Piring isi sosis dan kentang goreng aku letakkan di meja. Empat buku aku tumpuk dekat piring. Kulirik sejenak gadis yang duduk tepat didepanku. Dia tidak menuntaskan burgernya. Justru suntuk memandang empat buku yang aku beli.
“Biar tidak ketinggalan jaman,” aku berucap, memandangnya. Dia sedikit kaget mendengar suaraku.
“Saya kira untuk anaknya,” dia menimpali.
“Kalau aku memiliki anak, memang akan seumuran denganmu.”
“Jadi…?” dia menatapku,
“Lajang senior,” aku tertawa kecil.
JAM SEPULUH pagi, di lobby hotel, aku terkejut. Frieda, gadis ayu yang semalam duduk makan malam bersamaku sudah berdiri di samping resepsionis.
“Kok ada disini?” kutanya dia.
“Cari teman pulang. Bukankah Om semalam bercerita hari ini mau berkereta ke Rotterdam?” Frieda menatapku.
“Benar, hanya tiga malam di Paris. Pagi ini ke Rotterdam. Kamu tinggal di Rotterdam?”
“Iya tinggal di Rotterdam bersama ibu. Ibuku asli orang Indonesia,” Frieda bertutur.
“Indonesia?!” aku terperanjat. Sejurus berikut Frieda dalam dekapanku. “Cah ayu, kita satu bangsa walaupun beda tanah air. Ayo bersama kita ke Rotterdam.”
Dua jam lima puluh menit, bersama Frieda aku berkereta menuju Rotterdam.
“Selama liburan di Rotterdam aku tinggal di Novotel. Tinggal dimana kamu Frieda?” aku bertanya.
“Tak jauh dari Novotel, dekat Erasmus University. O ya ibu senang bila bertemu dengan orang Indonesia,” Frieda menimpali.
“Nanti sore waktuku luang. Jika ibumu berkenan aku akan mampir ke rumahmu. Kontak diriku.”
Naik taksi lima belas menit kami tiba di Novotel. Kami berpisah. Jam lima sore, Frieda menelepon, mengabarkan ibunya menyediakan teh dan aneka kudapan untuk menyambut orang Indonesia. Kami bertemu di Erasmus Sport Center. Berdua berjalan menuju rumah Frieda.
“Om, ibu seperti dirimu. Lajang senior,” ujar Frieda. Seketika aku memperlambat langkah. “Maksudmu?” aku bertanya tak paham.
“Ya lajang. Hanya punya anak,” Frieda berkata tanpa beban.
“Lajang punya anak?” aku semakin tidak paham.
“Ibu single parent sejak aku lahir. Itu namanya lajang atau apa ya?”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tak mampu menjawab pertanyaan Frieda.
“Aku lahir dan besar di Belanda. Baru sekali diajak ibu ke Indonesia. Itupun ke Bali, berwisata. Bukan menengok leluhur ibu. Apalagi bertemu ayah. Seumur-umur aku belum pernah bertemu ayahku,” Frieda melanjutkan cerita dirinya.
“Di Belanda, ibumu bekerja dimana?” aku bertanya.
“Mengajar di Erasmus.”
Erasmus Sport Center semakin jauh kami tinggalkan. Pada sebuah townhouse pada ujung kiri kawasan perumahan. Tiba-tiba Frieda menghentikan langkahnya. Menatap wajahku, kemudian tertunduk. “Maafkan Frieda, Om. Frieda berbohong.” Sejak kemarin dia membahasakan dirinya dengan sebutan ‘aku’, sontak berubah menyebut namanya sendiri, Frieda.
“Berbohong?” aku angkat wajah Frieda. Matanya berkaca-kaca.
“Ibu sakit,” lirih suara Frieda. “Tiga bulan ini ibu tiba-tiba lunglai. Pikiran ibu lowong. Mata ibu kosong. Seharian hanya duduk di kursi. Ibu hanya bisa bergumam, tidak jelas. Selalu menyebut nama seseorang yang Frieda nggak paham nama orang itu.”
“Ibumu sakit tanpa sebab?” aku bertanya. Frieda mengangguk.
“Begitu Frieda tahu Om orang Indonesia, maka Frieda berkisah tentang ibu yang asli orang Indonesia. Siapa tahu dengan bertemu orang Indonesia, ada perubahan pada ibu.”
“Benar katamu, siapa tahu berjumpa dengan sesama orang Indonesia, ada perbaikan pada kesehatan ibumu.”
Rumah nomer 251. Frieda membuka pintu. Aku terperanjat. Napasku berhenti. Kecerdasanku mengalami kekacauan. Lalu kusebut nama Tuhan. Hanya sekejap drama kekagetan ini. Selanjutnya kupeluk tubuh ibunya Frieda. Aku dekap sangat erat. Aku menangis. Aku melolong.
MALAM SUDAH jauh merayap, tiba-tiba Binsar Tobing menggebrak pintu kamar kosku. “Pakai jaketmu. Ayo lekas ikut aku!” Binsar memerintah.
“Ada apa, Sar?” aku bertanya tiada paham.
“Semua teman sudah diciduk. Tinggal kau.” Binsar menyalakan motornya. Dalam kegelapan malam aku dibonceng Binsar menuju arah barat kota Yogya. Pada kilometer sembilan belas, motor berhenti. Ada bangunan asri bercat putih.
“Kita sampai,” Binsar mematikan motor. Kubaca papan nama. “Ini susteran, Binsar,” aku tak paham dengan tindakan Binsar.
“Memang susteran. Kau aman disini, nggak bakalan digrebek aparat.”
Binsar Tobing, asli anak Medan, kuliah di Yogya yang kemudian menjadi aktivis kampus. Pilihan Binsar menyembunyikan diriku di susteran campuran antara ide brilian dan kegilaan.
“Rezim penguasa memang sudah keterlaluan. Kami inginnya seperti mahasiswa, turun ke jalan. Namun apa daya kami tidak memiliki kemewahan untuk turun ke jalan. Cara terbaik ya memberi tempat bersembunyi padamu,” ujar suster kepala. Beruntung suster kepala dengan caranya sendiri berani menyembunyikan diriku. Tinggalah aku bersama para suster. Ada satu calon suster muda yang sedang menyelesaikan studi teologi di seminari tinggi. Namanya Dorothea Lakshita Ong. Dipanggil Shita.
Tuhan tidak sedang bermain dadu, kata Einstein. Tapi tidak ketika pertama kali aku bertemu Shita. Dadu sedang dilempar Tuhan. Apakah Shita menggenapi panggilan hidup membiara, tiada menikah dan melayani orang-orang kalah? Atau menggenapi panggilan manusiawi, hidup bersama lelaki dalam peristiwa agung, pernikahan? Dan lelaki itu aku? Aku jatuh cinta kepada Shita.
Reformasi terjadi. Penguasa gulung tikar. Skripsi yang tertunda aku tuntaskan. Sarjana ekonomi aku raih. Shita? Sama seperti diriku, selesai studi teologinya. Karena sudah kenal dengan semua penghuni susteran, aku memiliki keistimewaan bertemu Shita. Kucium Shita, dia diam. Kucumbu tubuh Shita, dia pasrah.
Lalu pada sebuah titik mengubah seluruh jalan hidupku. Shita berkelana ke Eropa. Kutanya suster kepala, dimana Eropanya, tiada jawaban pasti. Hanya satu penjelasan, Shita menjalani postulat. Shita tanpa jejak. Hanya satu jejaknya menempel erat dalam diriku. Aku tiada bisa jatuh cinta pada wanita lain.
Shita ke Eropa. Aku melanjutkan kuliah ke Amerika. Berkarir pada berbagai perusahaan multinasional. Empat tahun terakhir balik ke Indonesia. Menjadi eksekutif perusahaan keuangan global Dua puluh enam tahun lalu aku cumbu tubuh Shita di Yogya. Hari ini aku peluk erat tubuhnya di Rotterdam.
TANGISANKU berhenti. Kutarik kursi. Duduk merapat, berhadapan dengan Shita, ibunya Frieda. Shita tanpa reaksi. Pikirannya tetap lowong. Matanya tetap kosong.
“Jadi Om sudah kenal dengan ibu?” Frieda bertanya, memecah keheningan.
“Wanita paling cantik yang pernah aku kenal. Kucari-cari selama dua puluh enam tahun, akhirnya aku temukan disini,.” aku menjelaskan. Pandanganku tetap ke arah Shita. Aku cium lembut pipinya.
“Aku lelah mencarimu, Shita. Dua puluh enam tahun, tiada jejakmu,” aku mengawali percakapan. “Perjalanan hidup penuh gelora, Shita. Aku hidup berganti negara, berganti kota. Tetap saja yang terbayang hanya dirimu.” Aku angkat dagu Shita. Kutatap tajam matanya. Kosong. Lowong.
Dua puluh enam tahun mencari Shita. Hari ini bertemu. Dengan kondisi Shita yang tidak pernah aku bayangkan. Lunglai duduk di kursi. Sayang aku tidak siap dengan pertemuan ini. Moralku runtuh, keberanianku jatuh. Aku mengangkat tubuh. Membiarkan Frieda berdiri mematung dan bingung atas pertemuan aku dengan ibunya.
“Shita aku pulang dulu ke hotel. Besok pagi ke sini lagi,” aku melangkahkan kaki. Membuka pintu.
“Agung….” terdengar suara. Shita berucap. Aku terkejut. Segera kuhentikan langkah, membalikkan badan. Shita menatapku tajam. Matanya tidak lagi kosong. Pikirannya tidak lagi lowong. Shita, wanita ayu yang utuh. Shita berubah sadar, sesadar-sadarnya.
“Kamu tidak memperhatikan wajah Frieda? Cara dia berjalan? Gaya dia berbicara?” suara sopran Shita yang aku kenal akrab lebih dua puluh enam tahun lalu bergetar. Bertanya.
“Jadi Frieda….?” aku tak melanjutkan perkataan.
“Frieda anakmu! Dua bulan dalam perutku. Kubawa dia ke Eropa. Membiarkan dirimu menyambut masa depan.“ Shita mengambil napas. Lalu melanjutkan berbicara.
“Natal ini bawa aku dan Frieda pulang ke Yogya!”
Sungai Seine Paris 2014, Taman Paris Karawaci 2024.
A.M. Lilik Agung
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 51, Minggu, 27 Desember 2024