web page hit counter
Selasa, 17 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Namanya Suster Francesco Marianti, OSU

3.6/5 - (7 votes)

HIDUPKATOLIK.COMAda orang telah membuat dunia ini begitu berwarna.
Ada orang telah membuat dunia pendidikan begitu bermakna.
Lalu kita sebut dia figur pendidik legendaris.
Dan dia pergi di bulan Desember tanpa tangis.

“Kami tidak meminta Anda bersekolah di sini, tetapi Andalah yang telah memilih untuk bersekolah di sini. Sekian dan tidak ada tanya jawab. Pertemuan di tutup.”

Ini kalimat pertama kudengar dalam pertemuan orangtua di tahun ajaran baru saat anakku lolos seleksi bersekolah di Santa Ursula BSD beberapa tahun silam. Kata demi kata di atas meluncur lurus, lugas dari bibir tipis Suster Francesco. Tanpa hentakan, tapi tetap terkesan tajam. Suara sedikit bergetar, bukan memendam emosi apalagi amarah, tapi karena usia beliau.

Jujur saat itu justru aku yang menarik nafas panjang berusaha tidak meledak. Terdengar arogan memang, apalagi dengan embel-embel tidak ada ruang diskusi. Benar saja, pertemuan ditutup tanpa  tanya jawab sebagaimana pertemuan orangtua di sekolah lain di mana kerap berakhir dengan forum interaksi.

Tapi tidak dengan Suster Francesco. Meski bertajuk pertemuan sekolah dan orangtua, ada dua pihak, tetap berjalan satu arah. Aku emosi waktu itu, meski tidak tersalurkan. Selain tidak terbuka kesempatan kesempatan sekedar meluapkan perkara tersimpan dalam hati, juga tidak punya keberanian. Semacam terbungkus selaput kewibawaan beliau, berusaha  paham saja.

Pulang dengan hati hampa seraya membatin: “Aahhh…, aku telah salah pilih sekolah. Tak ada diskusi apalagi tawar-menawar kata.”

Baca Juga:  Paus Fransiskus dan Citra Hidup Ideal
Siswi-siswi Ursula memberi penghormatan kepada Sr. Francesco Marianti, OSU di kapel Santa Ursula, Jalan Pos, Jakarta Pusat. (Foto: Ist.)

Sudah lewat beberapa tahun,  entah kenapa kalimat itu tetap melekat sampai kini. Bahkan saat mendengar beliau berpulang Senin sore 16 December 2024, yang muncul di kepalaku tetap kalimat itu lebih dulu, baru kemudian sederet memori lain selama dua anakku bersekolah di sana.

Jujur tidak banyak kenangan spesial dengan beliau meski lumayan rajin  mengikuti setiap kegiatan sekolah bahkan berpartisipasi aktif. Foto bersama beliau pun aku tak punya.

Pernah sekali hampir ada kesempatan  berfoto dengan beliau sehabis menonton pergelaran orkestra siswa yang sangat membanggakan dari tahun ke tahun. Putraku ikut bermain Saxophone kala itu. Beliau ada di depanku, orang berebut berfoto. Nyaris aku larut dalam keramaian, namun terdengar dua orangtua saling berbisik: “Suster kan paling nggak suka foto-foto.”

Benar tidaknya begitu, aku sudah tidak peduli malah memilih mundur daripada kecewa ngantre foto tapi belum tentu kebagian. Memilih foto dengan sang konduktor, Eric Awuy sajalah.

Kenangan unik lain tidak terlupakan, saat nonton acara sekolah. Di salah satu sudut ruang ada live musik dan  keponakanku akan tampil. Semua orang  terlihat menikmati pertunjukan musik para siswa dan bertingkah layaknya orang menonton konser musik. Tak mau kalah, akupun ikut bergoyang menikmati musik.

Mendadak sound system mati (tepatnya dimatikan). Musik berhenti! Ibaratnya pinggul  bergoyang kiri kanan, sedang di kiri tapi belum sempat ke kanan karena terpaksa berhenti mendadak. Ternyata yang menghentikan Suster Francesco dengan alasan ijin acara yang disepakati sampai jam 14.00.

Baca Juga:  RS Brayat Minulya Surakarta Bertekad Menjadi Sarana Kehadiran Cinta dan Kuasa Allah

Anak-anak ngedumel dalam hati, sebab kalau kedengeran pastinya nggak beranilah. Termasuk aku yang goyangan pinggul belum kembali ke tengah berakibat  masih dalam posisi doyong kiri ikut kesal. Kesal karena itu baru jam 13.45. Nah.., kan ijinnya sampai jam 14.00 kenapa dihentikan?

Itulah Suster Francesco yang memperhitungkan segalanya secara detail, cepat, tepat dan mateng. Ketika batas acara hanya sampai jam 14.00, artinya jam 14.00 harus  sudah beres. Jadi sudah dihentikan 15 menit sebelumnya.

Benar saja, tepat pukul 14.00 semua tertata kembali rapi  seperti sedia kala. Bayangkan kalau  dihentikan tepat pukul 14.00, tentu sampai jam tiga sore bisa jadi  belum beres dan anak-anak bakal terlambat pulang.

Hebatnya lagi, beliau dengan suara bergetar karena usia namun tetap tegas, menyuruh semua yang tidak berkepentingan segera meninggalkan tempat. Baik murid maupun tamu penonton. Tak terkecuali. Makin hebat lagi, semua menurut! Belum pernah aku  melihat bubaran sebuah acara dalam kesenyapan teratur. Biasanya pasti dibumbui keriuhan sedikit.  Luar biasa wibawa dan ketegasan beliau.

Kembali ke ingatan kalimat soal siapa memilih siapa? Adalah benar, kita yang memilih untuk bersekolah di situ dengan segala konsekuensinya. Tapi apakah tak ada ruang  berkompromi suster?  Atau sekedar komunikasi dua arah? Bukankah ini terkesan diktator? Itu isi benak pikiranku yang dangkal dan keruh waktu itu. Beruntung otak dangkal dan keruh itu bertahan  setahun saja.

Baca Juga:  75 Tahun RSBM: Akan Terus Setia Melayani

Setelahnya, ketika akhirnya terjun dalam dunia pendidikan, ‘kalimat satu arah’ beliau terus  aku dengungkan ke mana-mana sebagai bahan membangun kewibawaan dan ketegasan sebagaimana dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan harus punya ketahanan wibawa, tegas dan bisa independent menjalankan peraturan sekolah tanpa intervensi.

Arogan? Tentu tidak!

Meski awalnya sempat berpendapat begitu,  tapi memang Suster Franceso telah menginspirasi semuanya karena beliau menciptakan dunia pendidikan yang bermakna berbalut  kewibaan, ketegasan, kebebasan sekolah diiringi tanggung jawab utuh dari sekolah baik infrastruktur maupun sumber daya manusianya.

Terlihat satu arah memang,  tetapi justru Suster Francesco sukses  menegakkan sistem pendidikan sesungguhnya, mulai dari pendidikan karakter sampai akademis. Melahirkan insan cerdas dengan jati diri  pantas dipenuhi  ilmu tak terbatas.

Terima kasih sudah menginspirasi dan membuat dunia pendidikan begitu bermakna Suster Francesco.  Selamat jalan menuju keabadian’

In paradisum deducant te angeli

Mohon maaf Suster. Jujur kusampaikan, ada masa di mana aku pernah tidak menyukaimu. Tapi hari ini aku menitikkan air mata seraya berterima kasih sudah membuat dua anakku dan keponakanku menjadi pribadi kuat berkarakter. Sekian lama sudah ‘ilmu’ yang kuintip dari perjalananmu, terus menginspirasi baktiku di dunia pendidikan. Warisan tak ternilai dan beruntung aku salah satu jadi pewarisnya.

Salam Cinta: Ita Sembiring, pekerja seni

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles