HIDUPKATOLIK.COM – “Nasi Lebih Penting dari Demokrasi,” adalah judul di halaman internasional Harian Kompas 11 November 2024. Sebuah berita tentang pemilih di pemilu Amerika Serikat 2024. Isu inflasi ternyata lebih menarik dibanding soal demokrasi, begitu tulis Kris Mada.
Judul tadi menjadi menarik, karena seolah bertentangan dengan Injil Matius 4:4, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Agar mudah diingat, penulis meringkasnya menjadi “Hidup tak hanya perlu roti, tapi juga perlu Sabda.”
Sabda itu bukan melulu bacaan dalam misa di gereja, tapi juga sastra, filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, yang mengedepankan kemanusiaan, Cinta Kasih dan pencarian kebenaran.
Tapi, apakah kedua kutipan itu bertentangan? Kayaknya tidak. “Allah ! Kami berlutut. Mata kami adalah mata-Mu. Ini juga mulut-Mu. Ini juga hati-Mu dan ini juga perut-Mu. Perut-Mu lapar, ya Allah. Perut-Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca,” tulis WS Rendra dalam puisi lawas “Doa Orang Lapar.”
Bagi orang lapar memang butuh nasi. Namun bagi orang yang tidak lapar, nasi adalah asal muasal obesitas. Obesitas adalah tanda-tanda awal keserakahan, mengambil lebih banyak dari kebutuhan. Jadi bagi yang cukup makan, Sabda berkesempatan untuk lebih terdengar.
Walakin untuk politisi, banyaknya orang lapar memang mesti dipertahankan, agar bisa jadi objek pembagian sembako, supaya mereka mau mencoblos gambar dirinya dalam pemilu.
Namun petikan Injil itu seolah dibantah oleh Orkes Moral Pancaran Sinar Pertomak (OM PSP) lewat lagu “Dendang” yang berlanggam Melayu, yang mengatakan: “Hidup tak cukup hanya pada ilmu. Tak cukup pula hanya pada cinta. Semua itu tak kan sempurna tanpa adanya musik dan lagu.”
Iya, sih. Lihat saja lautan manusia yang menonton konser, entah di lokal apalagi di mancanegara. Musik dan lagu menjadi kebutuhan pada simbol aktualisasi diri, atau paling tidak buat healing. Keluar dari kebisingan hidup dan politik yang seringkali mengusik nurani.
Sementara seorang wanita pebisnis, seolah membantah OM PSP. Ia mengutarakan prinsipnya, “Yang penting cuan dulu, healing boleh kemudian.” Wah, ini bener juga. Bagaimana mau healing kalau tidak punya uang.
Namun mesti dingat healing bukan saja musik atau berwisata, tapi juga Sabda. Ingat lirik lagu kebangsaan kita, jiwa disebut terlebih dahulu daripada badan, “Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya.”
Lamat-lamat terdengar khotbah mendiang Romo M.A.W. Brouwer, “Manusia itu adalah badan yang menjiwa dan jiwa yang membadan.” Jika badan perlu nasi, jiwa perlu Sabda.
Oleh Henry C. Widjaja (Kontributor)