web page hit counter
Kamis, 14 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Password Spiritual: Ketika Kita Tanpa Keheningan

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – MANUSIA zaman ini sangat familiar dengan kata password (sandi) dalam segala bentuk dan modelnya (seperti: huruf, angka, simbol, sidik jari, wajah dan lain-lain). Bagi mereka yang selalu bergulat dengan dunia informatika, mereka mengetahui dan menyadari secara pasti arti penting dari password. Mereka harus selalu mengingat sandi yang mereka gunakan untuk segala alat teknologi dan aplikasi yang biasa mereka gunakan dalam kerja.

Apabila melupakan dan salah memasukan sandi, maka mereka tidak dapat masuk ke perangkat teknologi tersebut dan menggunakannya untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Akibatnya, mereka tidak dapat mengakses segala aplikasi, informasi dan pekerjaan yang ada dalam alat-alat tersebut. Anak-anak yang lahir dalam generasi digital saat ini, yang hari-hari hidupnya selalu dengan android (Telepon Pintar) pasti selalu bergulat dengan sandi teleponnya masing-masing. Mereka menggunakannya bukan saja untuk perangkat teleponnya semata melainkan juga untuk aplikasi-aplikasi yang termuat di dalamnya.

Dengan password, mereka dapat masuk dan menggunakan android beserta aplikasi-aplikasinya. Untuk aplikasi-aplikasi yang menggunakan sandi, logika penggunaannya tetap sama. Para pengguna dapat dan atau tidak dapat menggunakan aplikasi-aplikasi kesayangannya bergantung pada benar atau tidaknya password yang dimasukkan pada aplikasi-aplikasi tersebut. Mereka dapat mengakses segala informasi dan masuk ke dalam dunia maya (virtual) dengan sandi yang benar dan tepat.

Password yang sama menjadi pintu masuk untuk mengakses segala informasi dan data personal yang sangat berharga dalam segala aplikasi media sosial. Password yang ada juga menjadi pelindung utama android dan aplikasi-aplikasinya dari orang-orang yang merasa sangat ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada di dalam telepon genggam sesama. Dengan sandi, orang dapat menjaga segala informasi yang bersifat pribadi dari orang lain.

Password Spiritual

Password tidak hanya berlaku bagi kehidupan dunia informatika melainkan juga bersentuhan langsung dengan kehidupan spiritual. Paus Fransiskus, dalam Audiensi Umum 05 Oktober 2022, mengatakan bahwa kehidupan spiritual memiliki passwordnya tersendiri. Beliau mengatakan bahwa ada banyak kosa kata yang menyentuh hati karena langsung menusuk pada bagian yang paling sensitif dan peka dalam diri. Untuk dapat melindungi diri dari aneka kosa kata yang memanipulasi diri dan mengenal apa yang menjadi paling penting dan utama dalam hidup, maka setiap orang harus mengenal dan mengetahui sandi bagi kehidupan spiritualnya.

Baca Juga:  Paus Fransiskus: Berada “Berhadapan”, tapi “Terhubung” Satu Sama Lain

Pertanyaan yang muncul ialah, apakah yang menjadi password kehidupan spiritual? Jawaban akan pertanyaan tersebut ialah DOA. Doa menjadi sandi yang membawa manusia masuk ke dalam perjumpaan dengan Allah. Manusia akan memiliki koneksi dengan Allah apabila ia membuka hatinya dan memasukkan sandi kehidupan spiritual, yakni doa. Ada banyak jenis doa di dalam Gereja Katolik.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) menulis demikian, “Tradisi Gereja menawarkan kepada umat beriman doa yang berulang secara berkala untuk menumbuhkan doa yang tetap. Beberapa darinya adalah doa-doa harian, seperti doa pagi dan doa malam, doa sebelum dan sesudah makan, dan ibadat harian. Hari Minggu yang berpusat pada Ekaristi secara khusus dikuduskan oleh doa. Tahun Gereja dengan pesta-pestanya yang besar adalah patokan waktu dalam kehidupan doa orang-orang Kristen” (KGK 2698).

Kita bisa menambahkan daftar doa yang ada di dalam Gereja dan juga yang biasa dilakukan secara pribadi dalam kehidupan setiap hari. Dari sekian banyaknya kemungkinan nama doa yang ada dalam daftar itu, hal yang paling penting untuk diingat ialah unsur-unsur penting dalam doa. Katekismus menyebut tiga unsur penting dalam doa yakni doa lisan (KGK 2700-2704), doa renungan atau meditasi (KGK 2705-2708) dan doa batin atau kontemplatif (KGK 2709-2719). Ketiga unsur doa tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan satu sama lain. Kita tidak dapat memisahkan unsur yang satu dari yang lainnya.

Nilai yang paling penting dalam doa ialah perjumpaan antara Allah yang selalu mau datang kepada manusia dan mendengarkan seruan putera-puteri-Nya dengan manusia yang mencari, datang dan berseru kepada-Nya. Tentang pertemuan dan perjumpaan tersebut, pemazmur dengan sangat indah menulis, “Pasanglah telinga kepada doaku, ya TUHAN, dan perhatikanlah suara permohonanku (Mzm. 86:6). Tempat yang paling penting untuk mengadakan perjumpaan dengan Tuhan dalam doa ialah HATI. Katekismus mengatakan, “…untuk melukiskan tempat asalnya doa, Kitab Suci kadang-kadang berbicara tentang jiwa atau roh. Tetapi paling sering – lebih dari seribu kali – tentang hati. Hati berdoa. Jika hati itu jauh dari Allah, doa pun tidak mempunyai arti. Hati adalah rumah di mana aku berada dan tempat aku tinggal (dalam gaya bahasa semitis atau biblis: di mana aku “turun” [dari kendaraan]). Inilah pusat kita yang tersembunyi, yang tidak dapat dimengerti baik oleh akal budi kita maupun oleh orang lain” (KGK 2562-2563).

Baca Juga:  Mendukung GOTAUS Menjamin Masa Depan Gereja

Orang akan sampai ke dalam hati dan bertemu dengan Allah di dalamnya apabila ia mampu menggunakan password yang tepat, yakni doa. Yesus berkata, “jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu  yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:6).

Koneksi dengan Allah

Ajakan, undangan dan panggilan untuk selalu memiliki koneksi dengan Allah dalam doa merupakan ajakan, undangan dan panggilan yang sangat penting dan mendesak saat ini. Urgensitas panggilan tersebut berhubungan langsung dengan penderitaan manusia zaman ini yang terjebak dalam cyber dipendenti (ketergantungan pada dunia siber) yang menyebabkan mereka selalu berusaha untuk ada dalam jalinan koneksi dengan dunia dan sesama yang ada di luar dirinya.

Akibatnya, ia mengalami sebuah keterpisahan dengan dirinya sendiri dan semakin jauh dari pusat hidupnya sendiri, yakni hati. François-Xavier Bustillo dalam bukunya Testimoni, non Funzionario (Citta del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana, 2022, 136) menulis demikian, “kadang-kadang, seperti manusia kontemporer pada umumnya, kita menderita cyber dipendenti dan layar memberikan banyak ruang, sehingga kita memproyeksikan diri kita sendiri di luar diri kita yang sejati.

Karena itu, kita mengalami sebuah koneksi yang sangat kuat di luar diri dan pada saat yang sama mengalami koneksi yang sangat lemah atau rapuh di kedalaman diri kita sendiri”. Akibat dari kenyataan tersebut ialah, “kita mencari koneksi di luar diri, tetapi di dalam diri sendiri kita mengalami kekosongan” (Ibid). Kekosongan yang ada di dalam diri membuat manusia mengalami sebuah amnesia spiritual, yakni melupakan karya dan tindakan Allah dalam hidup. Bagi Bustillo (Ibid., 199), amnesia semacam ini merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa.

Baca Juga:  Setelah Sinode III Keuskupan, Uskup Sibolga, Mgr. Fransiskus Sinaga: Iman Perlu Berakar, Bertumbuh dalam Persekutuan dan Berbuah dalam Kesaksian

Doa dan melakukan perjalanan ke dalam batin merupakan sebuah aktivitas dan proses hidup yang membantu manusia untuk selalu berada dalam koneksi dengan Allah. Manusia diajak untuk bergerak dari koneksi dunia maya kepada koneksi dunia batin dan nyata.

Kemauan untuk masuk ke kedalaman hati dan menghidupkan password doa mengajak manusia untuk berhenti sejenak, berdiam diri dan menenangkan diri untuk merenungkan tindakan Allah dan misteri hidup yang dijalani dalam kehidupan setiap hari. Bustillo (ibid., 139) mengatakan bahwa di dalam kehidupan batiniah kita bisa mendengar suara-suara yang ada di dalam diri dan gerakan-gerakan Roh Kudus di dalamnya. Membudidayakan kehidupan batiniah menjadi cara dan bentuk hidup yang mendorong manusia untuk selalu berada dalam koneksi dengan Allah.

Agar dapat masuk dalam koneksi yang terus menerus dengan Allah, maka setiap orang harus membangun, menciptakan dan membiasakan diri untuk hidup di dalam keheningan. Edgar Peña Parra dalam wawancaranya dengan Nicolas Diat (Il Cuore non si Divide, Milano: Mondadori, 2024, 193) mengatakan bahwa dalam keheningan, manusia dapat menemukan Allah. Dalam alur permenungan yang sama, Bustillo dalam wawancara dengan Nicola Diat (ibid., 48), mengutarakan bahwa kehidupan interior atau batiniah menuntut keheningan.

Tanpa keheningan, orang akan merasa kelelahan untuk membangun kehidupan batiniahnya. Keyakinan tersebut menjadi kunci yang dapat membuka pintu hati dan seluruh keberadaan diri manusia untuk selalu berada dalam koneksi dengan Allah. Tanpa keheningan manusia akan mengalami kesulitan untuk mengaktifkan password hidup spiritualnya dan semakin membuat dirinya kewalahan untuk hidup dalam koneksi dengan Allah. Doa yang disokong oleh keheningan menjadi password kehidupan spiritual bagi manusia yang hidup dalam zaman yang serba terkoneksi dalam dunia virtual saat ini. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjalin jaringan relasi yang kuat di luar diri melainkan juga bertumbuh dalam otentisitas hidup batiniah sebagai insan rohani yang selalu terhubung dengan Allah.

Hironimus Edison
Imam Montfortan Indonesia, tinggal di Roma, Italia

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles