web page hit counter
Kamis, 14 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sebuah Eulogi bagi Perintis Teologi Pembebasan: Gustavo Gutierrez

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – DIKABARKAN bahwa Pater Gustavo Gutierrez, OP, seorang perintis teologi pembebasan telah meninggal dunia pada hari Selasa, 22 Oktober 2024 kemarin di Lima, Peru pada usia 96 tahun. Kematian benar, menusuk kalbu. Demikian kata penyair. Penggalan syair ini tepat kalau ditempatkan pada wafatnya Gutierrez ini.

Kardinal Gerhard Müller, mantan perfek Kongregasi Ajaran Iman, yang dikenal sebagai seorang penganut teologi yang tergolong konservatif, memujinya sebagai salah seorang teolog Katolik terbesar saat ini. Kita tidak hanya berhutang padanya, namun juga perlu belajar darinya. Demikian tulis Müller, saat mendengar kabar wafatnya Gutierrez.

Pada mulanya biasa saja. Demikian bisa dikatakan tentangnya. Dia praktis menghabiskan studi teologinya di Eropa, Louvain, Belgia, Lyon, Perancis dan Roma, Italia. Semuanya dijalankan dalam tradisi teologi klasik gaya barat. Namun setelah kembali dan mengajar di Universitas Katolik di Lima, Peru, dan di sela-sela itu menjalankan pelayanan pastoral parokial di Lima, dia menemukan sesuatu yang baru. Cukup lama dia mengolah itu.

Akhirnya, pada saat pertemuan para Uskup Amerika Latin di Medellin, Kolombia, tahun 1968, dia, sebagai penasehat teologi, mencoba melemparkan gagasan akan teologi yang baru, suatu refleksi iman yang tidak lepas dari kenyataan hidup dan pergulatan hidup konkret umat. Gagasan tersebut kemudian dituliskannya di tahun 1971 dalam buku “Teologi Pembebasan”.

Baginya, refleksi tersebut berangkat dari semangat aggiornamento Konsili Vatikan II. Bukankah duka dan kecemasan, harapan dan kegembiraan umat manusia adalah pula duka dan kecemasan, harapan dan kegembiraan umat manusia, Gereja umat Allah pula. Maka Gereja pun hendaknya berpijak pada realitas hidup nyata, bukan pada rumusan abstrak-spekulatif yang berlaku sepanjang abad, tak peduli seperti apa kenyataan hidup berbicara.

Berpijak dan Berpihak

Baca Juga:  Cacing Pita

Realitas hidup Amerika Latin ditandai dengan kemiskinan, kesenjangan sosial yang makin melebar, namun juga penindasan akan penduduk-penduduk asli, sehingga mereka tidak hanya makin miskin namun pula makin tersingkir. Gereja tidak bisa diam melihat semua itu. Demikian juga teologi, jangan sampai hanya tinggal di menara gading, mercusuar indah, yang tidak menyentuh kenyataan hidup konkret umat.

Begitulah Gustavo Gutierrez menggagas refleksi teologisnya. Teologi ditempatkannya bukan dalam suatu paparan refleksi indah namun spekulatif, solid namun abstrak, yang tidak menyentuh realitas konkret. Teologi semacam itu akan bisa berlaku di mana saja, melintasi zaman serta kenyataan. Akan tetapi, tidak berbicara bagi dan dengan umat beriman.

Refleksi iman lalu mengawang dan mengambang, memuaskan budi namun karenanya bisa saja tidak menggerakkan hati, apalagi mengupayakan perubahan. Apakah lalu iman sekedar rumusan indah, tetapi tidak berdampak bagi kehidupan nyata. Apakah lalu, hidup menggereja hanya sekedar ritual beku, namun tidak mendorong bagi perubahan sosial kehidupan. Iman bila demikian hanyalah privat, bukan ekklesial apalagi sosial. Gereja, jika begitu, sekedar ruang lari sejenak dari kepenatan hidup, tetapi tidak tersentuh, apalagi menyentuh, kenyataan hidup sehari-hari yang berat dan menekan.

Gutierrez tidak bisa diam melihat itu. Dia bertanya dan mendobrak. Suatu pendekatan atau metodologi refleksi iman secara berbeda dikembangkannya. Agar refleksi iman tersebut sungguh berbicara di tengah kenyataan kesenjangan dan penindasan, maka berbagai sarana bantu dipakainya, terlebih analisa sosial Marxisme. Namun analisa sosial tersebut bukanlah landasan dasar refleksinya, melainkan sarana untuk membaca serta membedah topeng indah yang menutupi borok nyata dunia kehidupan.

Untuk membedah topeng tersebut, dia tidak jarang menggunakan pisau psikologi dari Sigmund Freud, bagaimana pulasan kesalehan semu bisa memanipulasi maupun meninabobokan kaum beriman dari keterbukaannya akan realitas penindasan maupun kesenjangan sosial yang makin melebar dan merugikan kaum miskin. Teologi, bila demikian semakin berwarna dan semakin pula kaya, bagaikan polihedron yang menampilkan berbagai lapisan kenyataan dan refleksi yang membukakan mata insani dan pula mata iman.

Baca Juga:  Password Spiritual: Ketika Kita Tanpa Keheningan

Dobrakan tersebut tentu membuat goncangan dan goncangan tersebut sulit diterima beberapa kalangan, terlebih di kalangan hierarki. Malahan Vatikan sempat bereaksi. Gutierrez diselidiki dan teologi pembebasan diperiksa. Karl Rahner, salah seorang teolog besar abad 20, menyatakan secara tegas pembelaannnya akan ortodoksi refleksi teologis Gustavo Gutierrez.

Menurutnya, fundamen dasar refleksi iman tersebut berangkat dari Injil, warta pembebasan yang dibawakan Allah dalam kerangka karya penyelamatan-Nya.  Vatikan pun sampai dua kali memberikan catatan atas teologi pembebasan. Catatan pertama berisi kritik keras, namun catatan kedua lebih lembut: sedikit koreksi. Kedua catatan tersebut dipandangnya sebagai ajakan dialog, bukan sebagai ancaman. Namun bagi pihak lain, catatan tersebut dianggap sebagai ‘kartu merah’. Anggapan ini lalu dimainkan.

Gustavo Guttieres berada dalam tekanan. Uskupnya cenderung menolak dia. Bisa jadi karena alasan itulah dia kemudian memutuskan bergabung ke Ordo Praedicatorum, Dominikan, di tahun 1999, saat itu Timothy Radcliffe, menjadi pemimpin Dominikan. Radcliffe sendiri merupakan seorang teolog progresif, dan kini menjadi penasehat spiritual dua kali sinode tentang Sinodalitas, tahun 2023 dan 2024. Bergabung ke Dominikan tidak berarti dia melunakkan refleksi teologisnya, namun menjadi semakin kaya karena didukung oleh tradisi maupun kolegialitas para teolog Dominikan.

Pembebasan Allah

Teologi pembebasan, betapapun memanfaatkan berbagai teori sosial dan psikologis, tetap bersumber dari Injil. Bahkan deretan kutipan Kitab Suci maupun kekayaan tradisi bisa ditemukan. Bukan menyimpang. Namun memang baru dan berbeda. Kebaharuan refleksi teologis itulah yang akhirnya kini mewarnai berbagai refleksi teologi kontekstual di berbagai wilayah.

Baca Juga:  IFTK Ledalero, Komisi JPIC SVD, dan Mitra Menggalang Bantuan Kemanusiaan untuk Korban Terdampak Erupsi Lewotobi

Teologi, sebagai teks, bagaimana pun tidak bisa lepas dari konteks, baik konteks pewahyuan, konteks historis perjalanan tradisi Gereja, maupun juga konteks realitas kehidupan nyata yang dialami serta dihadapi. Bukankah jantung inti warta dan karya penyelamatan Allah adalah pembebasan, dan pembebasan dalam diri Yesus tidak lepas pula dari pengalaman konkret maupun eksistensial umat manusia.

Paus Fransiskus dalam suratnya kepada Gustavo Gutierrez di tahun 2018, memperingati usianya yang ke90 tahun, menyatakan syukur dan terima kasih kepadanya atas sumbangan berharganya bagi Gereja maupun umat manusia.

Paus Fransiskus dalam suratnya kepada Gustavo Gutierrez di tahun 2018, memperingati usianya yang ke-90 tahun, menyatakan syukur dan terima kasih kepadanya atas sumbangan berharganya bagi Gereja maupun umat manusia, baik lewat refleksi teologisnya maupun lewat berbagai keterlibatannya, terlebih dalam pembelaannya akan mereka yang miskin dan tersingkir. Jangan sampai orang menanggalkan kesadaran nuraninya sehingga menjadikan mereka tidak peduli akan realitas penderitaan sesama, kenyataan kemiskinan dan penyingkiran, demikian ungkap Paus. Janganlah kita memeluk budaya membuang dan menyingkirkan, terjangkit penyakit globalisasi ketidakpedulian, demikian kiranya harapan Paus.

Paus Fransiskus memang berasal dari Amerika Latin, dan dia sering bicara untuk mengingatkan kita bahwa Gereja menaruh pilihan preferensinya pada kaum miskin, orang miskin ada dalam jantung hati Injil. Demikian dikatakannya. Gustavo Gutierrez berjasa akan hal itu, yang bagaikan nabi berseru di padang gurun: tunjukkanlah jalan pembebasan Allah, agar setiap orang mengalami pemulihan kehidupan, sebagaimana menjadi kehendak Allah.

Pater Gustavo Gutierrez, OP. Terima kasih banyak, beristirahatlah dalam damai Tuhan. Dia adalah Allah pembebas!

Pastor T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Teolog)

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.44, Tahun Ke-78, Minggu, 3 November 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles