HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 03 November 2024 Hari Minggu Biasa XXXI. Ul.6:2-6; Mzm.18:2-3a, 3bc-4, 47, 51ab; Ibr.7:23-28; Mrk.12:28b-34
“MENGASIHI Allah berarti bersukacita dalam Allah, bersemangat untuk memikirkan, dan berdoa kepada Allah. Ini berarti merasa bahagia berada di hadirat Allah dan bersama Allah saja. Ini berarti tidak menyakiti Allah, tetapi bersukacita dalam Allah karena hanya Allah yang dibutuhkan dan karena kita diperbolehkan untuk mengenal dan memiliki Allah, serta berbicara dan hidup dengan Allah.” Ini adalah kata-kata Dietrich Bonhoeffer, teolog Lutheran Jerman (1906-1945), ketika menjelaskan apa artinya mengasihi Allah. Bonhoeffer ini tentunya terinspirasi dari salah satu tema utama dalam Alkitab, yaitu tentang mengasihi Allah.
Perintah mengasihi Allah dapat ditemukan dalam Kitab Ulangan: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5). Musa memberi perintah ini sebagai langkah konkret dari pernyataan iman mereka, yang disebut Shema, yang mengakui TUHAN (Yahweh) sebagai satu-satunya Allah mereka, sekaligus membangun fondasi iman yang paling utama bagi umat Israel. Lantas, apa maksudnya, umat Israel harus mengasihi dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan?
Dalam dunia kuno, “hati” diyakini sebagai sumber niat, pemikiran, dan pertimbangan yang menentukan sikap seseorang. Mengasihi Allah dengan segenap hati berarti mau menaati perintah-Nya dengan tulus dan mendalam dari hati sehingga yang terpancar bukanlah kepura-puraan atau kemunafikan. Sementara itu, “jiwa” mengacu pada esensi spiritual manusia, roh yang berdiam dalam tubuh, yang melahirkan hasrat dan keinginan.
Maka, mengasihi Allah dengan segenap jiwa dapat diartikan sebagai upaya menyelaraskan hasrat dan keinginan kita dengan kehendak Allah. Terakhir, “kekuatan” tidak hanya mengacu pada otot dan tenaga, tetapi juga harta, pengetahuan, dan kekuasaan. Maka, mengasihi dengan segenap kekuatan berarti memanfaatkan semua itu untuk keagungan Allah dan kebaikan sesama. Singkatnya, jika ingin mengasihi Allah, hendaknya mengasihi Allah secara total dan tidak setengah-setengah. Sebab, hanya dengan mengasihi Allah seperti ini, umat beriman akan memperoleh berkat yang berlimpah.
Dalam Injil Markus (12:28b-34), Yesus mengulang kembali perintah utama dalam Kitab Ulangan tersebut ketika sedang berdiskusi dengan seorang ahli Taurat. Sebagai seorang rabi Yahudi yang pasti ahli dalam Taurat, Yesus tidak menemui kesulitan dalam menjawab pertanyaan perintah mana yang paling utama dalam Taurat. Namun, yang menarik di sini, Yesus menambahkan juga perintah lain yang tak kalah pentingnya, yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Perintah kedua ini bukan orisinal dari Yesus. Ia mengutip perintah dari Hukum Kekudusan dalam Kitab Imamat yang berbunyi “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Akulah Tuhan” (Im.19:18). Dalam konteks aslinya, perintah mengasihi sesama berarti menaruh perhatian kepada orang miskin, menderita, dan orang asing dengan memberi sedekah, menunjukkan belas kasih, kejujuran, dan keadilan dalam relasi satu dengan yang lain, tidak diskriminatif, tidak bersaksi dusta. Intinya, mengasihi sesama berarti tidak melakukan tindakan yang membahayakan hidup sesama baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Di sini, Yesus sebenarnya sedang menawarkan sebuah pemikiran baru. Baginya, mengasihi Allah akan semakin lengkap dan nyata dalam mengasihi sesama. Para rabi Yahudi yang sezaman dengan Yesus menegaskan bahwa motivasi terbaik melayani Allah adalah kasih. Tetapi Yesus menambahkan, melayani Allah atas dasar kasih juga harus nampak dalam mengasihi dan melayani sesama.
Yesus mengatakan, “Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini.” Bagi Yesus, mengasihi sesama juga sama pentingya dengan mengasihi Allah. Ini adalah logis. Sebab, bagaimana mungkin mengasihi Allah, tetapi membenci ciptaan-Nya, khususnya manusia? Tanda orang mengasihi Allah adalah mengasihi sesama manusia, atau lebih luas seluruh ciptaan-Nya. Mengklaim dirinya telah mengasihi Allah tetapi merusak alam, apakah itu sungguh-sungguh mengasihi Allah? Jadi, mengasihi Allah berarti mengasihi ciptaan-Nya.
“Jika ingin mengasihi Allah, hendaknya mengasihi Allah secara total dan tidak setengah-setengah.”
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 44, Tahun Ke-78, Minggu, 3 November 2024