web page hit counter
Jumat, 25 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Saat Ini Banyak Nabi Palsu yang Melihat dari Kacamata Amplop, Kata Kardinal Suharyo pada Peringatan 25 Tahun Wafat Romo Mangun

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Refleksi itu disampaikan Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo sebagai Keynote Speaker dalam talkshow peringatan 25 tahun wafat Romo Y.B. Mangunwijaya atau arab disapa Romo Mangun di Unika Atma Jaya Jakarta, Rabu, 23/10/2024.

Selain Kardinal, turut memberikan refleksi Mohammad Sobary (budayawan), Sriwahyaningsih (eks murid Romo Mangun/saat ini mengelola Sanggar Alam Anak (SALAM) di Bantul, Yogyakarta, dan Pastor F.X. Mudji Sutrisno,SJ (Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta).

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo sebagai Keynote Speaker dalam acara Talkshow mengenang 25 tahun wafatnya Romo YB Mangunwijaya di Unika Atma Jaya Jakarta, Rabu, 23/10/2024. (Foto: Ist.)

Acara ini memberi refleksi atas pesan Paus Fransiskus, bagaimana faith, fraternity, compassion ala Romo Mangun yang dikenal sebagai pejuang  wong cilik dan sedang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional mengingat jasa dan perjuangan Romo Mangun untuk bangsa dan negara.

Kardinal Suharyo memandang Romo Mangun sebagai nabi. Ia mengatakan, nabi selalu terlibat dengan bangsanya. “Nabi melihat dalam kacamata Tuhan, kacamata kebaikan. Sedang saat ini banyak nabi palsu yang melihat dari kacamata amplop,” ujar Kardinal Ke-3 dari Indonesia ini.

Sastra dan Kemanusiaan

Sedangkan Mohammad Sobary melihat Romo Mangun sebagai seorang yang multi tema.  Dia mangatakan, Romo Mangun adalah seorang rohaniwan, arsitek, budayawan, sastrawan, mantan tentara pelajar, dosen, pedagog, aktivis, dan pembela kaum marginal.

Sobary memilih tema sastra dan religiositas. “Ketiga kata dalam pesan Paus Fransiskus merupakan religiositas. Iman mewujud dalam kemanusiaan. Kemanusiaan adalah urusannya sastra. Sastra merupakan nabi zaman akhir. Ekonomi mengajarkan rebutan. Politik, saling mematikan. Sedang sastra adalah tentang tindakan,” kata Sobary yang mengenal dekat sosok Romo Mangun. Romo Mangun meninggal dunia saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Jakarta. Romo Mangun dan Sobary menjadi pembicara. Secara tiba-tiba, tubuh Romo Mangun terkulai di pangkuan Sobary.

Baca Juga Artikel:  Doa Ekumenis Indonesia: Merajut Hati Membangun Rasa Peduli
Pastor F.X. Mudji Sutrisno, SJ (kedua dari kanan) sedang menyampaikan refleksinya dalam peringatan 25 tahun wafanya Romo Y.B. Mangunwijaya di Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta, Kamis, 24/10/2024. Paling kiri, Sri Wahyaningsih, dan tengah, Mohammad Sobary. (Foto: HIDUP/Henry C. Wijaya)

Tulisan Romo Mangun yang diangkat oleh Sobary adalah “Sastra dan Religiositas”.
“Agama punya dua sisi. Sisi pertama sebagai organized religion yaitu agama yang memiliki struktur formal dan ritual serta kepercayaan yang mapan. Sisi yang tidak menarik,” kata penulis buku Kang  Sejo Melihat Tuhan ini.

Sisi yang lain, kata Sobary adalah religion dalam spirituality. “Sisi ini berisikan gagasan atau ajaran, kiblat nilai dan tindakan. Inilah tindakan kaum sufi. Namun Romo Mangun tidak pernah disebut sufi, meski beliau bangga kalau bisa terpesona. Hidup teknis tidak bisa reflektif, tidak ada khayalan-khayalan. Seperti khotbah Jumat yang hanya berisi norma. Lebih baik menyendiri karena tukang petuah harus punya jiwa kenabian,” ujar Sobary.

Religiositas, kata Sobary, bukan ajaran kitabiah, bukan urusan para elit, melainkan ajaran dari omongan dan tindakan mulia. “Seperti mengangkat kembali anak burung yang jatuh dari sarangnya, kembali ke sarangnya, inilah religiositas,” katanya.

Menurut Sobary, surga itu sederhana, seperti berada di Atma Jaya ini. “Bisa minum dengan gampang, tinggal menjulurkan tangan, udaranya adem. Yang Romo Mangun wariskan bukanlah Katolik yang biasa saja. Yang hilang saat ini adalah kemanusiaan. Kemanusiaan tertutup oleh keranjingan infrastruktur,” ujarnya.

“Guru sastra membuat sastra menjadi teknis, terpecah-pecah dalam kepingan-kepingan. Romo Mangun menyatukannya, menjadi guru yang membiarkan dirinya dilawan, karena begitulah guru yang membuat murid menjadi dirinya sendiri. Supaya manusia menjadi guru buat orang lain dan maha guru buat dirinya,” tambah Sobary.

Sumber Belajar

“Anak adalah mahaguru bagi dirinya. Jadi sumber belajar bagi teman-temannya.” Begitu pesan Romo Mangun ke Sriwahyaningsih dalam refleksinya.

“Indonesia katanya gemah ripah loh jinawi tetapi kenapa banyak kemiskinan. Ibu Wahya tergerak untuk menjadi konco bagi orang miskin. Beliau mengunjungi desa-desa, dan banyak menemukan pernikahan dini. Di desa dibangunkan pasar tetapi yang berjualan bukan orang desa yang bersangkutan. Orang desa adalah petani tetapi tetap musti membeli sayur,” kata Sriwahyaningsih.

Baca Juga Artikel:  Kongres Nasional XIX Pemuda Katolik 2024 Resmi Dibuka, Gusma Tekankan Pentingnya Orkestrasi Kader

Ironisnya, kata Sriwahyanigsih, kalau anak-anak sudah bersekolah maka tidak lagi membantu orang tuanya yang petani. ‘Hal ini menandakan, sekolah sudah mencabut anak itu dari hidupnya,” tuturnya.

Menurut Sri Wahyangsih, Romo Mangun membagi dua aliran dalam pendidikan, yaitu sekolah birokrasi dan sekolah kehidupan.

“Setiap anak punya minat yg berbeda-beda. Penyeragaman akan membunuh potensi yang unik pada masing-masing anak. Dalam sekolah kehidupan, setiap anak boleh belajar sesuai ketertarikannya. Menemukan jatidiri, kenapa saya diciptakan Tuhan. Semua adalah persatuan. Mata, hidung, batang tubuh, tangan, kaki, tidak berdiri sendiri-sendiri. Semua unsur itu sama-sama penting,” kata Sriwahyuningsih.

“Di sekolah birokrasi yang penting berkompetisi, sedang di sekolah Mangun yg penting berkoordinasi,” katanya.

Sriwahyaningsih mengatakan, SALAM menerapkan trisentra. Pendidikan tidak hanya tanggung jawab sekolah, orang tua dan masyarakat juga adalah guru.

Pendidikan, menutur Sriwahyaningsih bukan hafalan. “Agama bukan urusan sekolah. Sekolah sering terjebak kapitalisme, menjadi individualis. Begitu juga teknologi, juga mendidik orang menjadi individualis. Guru kalah dengan Google AI,” katanya.

“SALAM mendidik berdasarkan riset, dengan cara manusiawi. Di SALAM anak-anak boleh memilih. Contohnya, ada anak yang belajar tentang soto. Soto banyak jenisnya, berbeda-beda di setiap daerah. Anak harus mencari tahu apa bedanya, bagaimana sejarahnya. Mereka melakukan riset tentang soto. Ada lagi contoh tentang perbedaan. Ada volunteer sebagai fasilitator SALAM dari Jakarta, mendampingi siswa SALAM yang melakukan riset tentang ketoprak (tonil), sementara yg dipahami oleh fasilitator dari Jakarta tersebut Ketoprak itu makanan. Akhirnya si anak mengajak fasilitatornya belajar bersama pada seniman Ketoprak. Anak dan fasilitator belajar bersama,” demikian Sriwahyaningsih.

Baca Juga Artikel:  Kapolda Sulut Bertemu Uskup Manado, Keakraban Terlihat Nyata

Berani Membongkar

Salah satu karya terkenal dari Romo Mangun adalah buku “Burung-Burung Manyar.” Pesan buku itu disarikan oleh Pastor Mudji Sutrisno.

Romo Mudji, sapaannya, mengatakan, negara yang bagus harus berani membongkar “sarang”nya seperti burung manyar. “Burung manyar jantan membuat sarang untuk menarik betinanya. Kalau si jantan gagal, maka sarang akan dirombaknya. Begitu seterusnya sampai sampai si jantan mendapatkan betinanya,” tuturnya.

“Jadi, negara harus berani merombak dirinya demi telur-telur baru. 1908 jadi 2008, 1928 jadi 2028, 1945 jadi 2045, demi membentuk sebuah negara,” katanya.

“Toeti Heraty adalah seorang penulis, dokter, filsuf dan dosen di berbagai universitas. Beliau sangat aktif di berbagai bidang. Pendiri UGM dan Yayasan Perguruan Cikini. Beliau menjadikan rumahnya sebagai galeri yang menyimpan karya pelukis terkenal. Romo Mangun menyebut Ibu Toeti Heraty sebagai baronesse, karena sudah memberi semua. Agama boleh berbeda tetapi religiositasnya sama,” papar Romo Mudji.

“Ketika putri asuhannya ada yang berulang tahun, Romo Mangun sendiri menyuapkan nasi kepada putri itu, sambil mengajarkan asal usul nasi, bagaimana membuatnya. Yang penting bukan kata-kata tapi tindakan,” kata Romo Mudji.

“Romo Mangun membuat edukasi dasar yang merupakan dasarnya dasar. Karenanya sebelum menjadi guru atau pejabat, harus menjadi manusia terlebih dahulu. Pendidikan adalah pemekaran manusia untuk menjadi dirinya sendiri,” imbuh Romo Mudji.

Acara ini terselenggara atas kerja sama Unika Atma Jaya Jakarta, IKAFITE (Ikatan Alumni Filsafat Teologi Sanata Dharma Yogyakarta) dan Lingkaran Sahabat Romo Mangun.

Henry C. Widjadja (Kontributor, Jakarta)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles