HIDUPKATOLIK.COM – DI halaman Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo menunggu kedatangan Bapa Suci Fransiskus. Pagi itu, Rabu, 4/9/2024, Presiden melempar senyum menyambut Bapa Suci sebagai kepala Negara Kota Vatikan. Pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia ini hadir di Indonesia untuk memulai kunjungan kenegaraan dan kunjungan apostoliknya ke Asia-Aseania (3-13/9). Bapa Suci berada di Tanah Air ini selama empat hari, dari tanggal 3-6 September 2024. Dari Jakarta, Bapa Suci meneruskan perjalanannya ke Papua Nugini, Timor Leste, terakhir di Singapura.
Turun dari mobil SUV putih sederhana dengan plat SCV 1 yang mengantarnya ke Istana, setelah duduk di kursi roda dengan nyaman, Bapa Suci menyapa anak-anak yang mengelu-elukannya dengan bendera kecil Vatikan dan RI di tangan.
Presiden Joko Widodo menyambutnya dengan melempar senyum. Tampak, Bapa Suci menerima sambutan tangan hangat Presiden Jokowi. Keduanya saling mengulurkan tangan. Memegang erat. Saling menyapa sejenak. Ini pertemuan tertunda. Tadinya, direncanakan tahun 2020. Tapi karena pandemi, Bapa Suci tak jadi datang. Momen bersejarah ini akhirnya tiba hari ini. Sebagai kepala Negara Kota Vatikan, Bapa Suci mendapat penghormatan kenegaraan secara kemiliteran.
Bapa Suci ditemani antara lain, Kardinal Louis Antonio Tagle (Prefek Dikasteri untuk Evengelisasi Bangsa-Bangsa), Kardinal Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta), Michael Trias Kuncahyno (Duta Besar RI untuk Takhta Suci), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC (Ketua KWI) dan beberapa uskup lainnya dari Vatikan. Presiden pun memperkenalkan presiden terpilih yang masih menjabat Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
Persahabatan Indonesia dan Vatikan sudah berlangsung lama. Indonesia adalah satu dati 10 negara Eropa pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta. Dalam tulisannya di majalah ini, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo menyampaikan, bahwa Bapa Suci dan Takhta Suci, sejak awal masa revolusi kemerdekaan (145-1949) selalu memperhatikan Indonesia. “Pada tanggal 1 Juni 1947, Mgr. Georges de Jonghe D’Ardoy diangkat oleh Paus Pius XII, menjadi Utusan Kepausan (Utusan Apostolik) untuk Gereja Katolik di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, hubungan diplomatik antara Vatikan dengan Republik Indonesia dibuka pada 10 Januari 1950. Pada tanggal 16 Maret, Mgr. G. de Jonghe D’Ardoy menyerahkan surat-surat kepercayaan sebagai Duta atau Nunsius Apostolik kepada Presiden Soekarno. Dari pihak Indonesia, Dr. Sukardjo Wiryopranoto diangkat sebagai Duta Besar pertama untuk Takhta Suci. Lalu ia menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Sri Paus pada tanggal 25 Mei 1950.” (Lht. HIDUP, Edisi No. 34, 23 Agustus 2024.)
Seusai pembicaraan kedua kepala negara, diadakan pertemuan dengan para pejabat negara, korps diplomatik, tokoh masyarakat sipil dan undangan lainnya. Dalam kesempatan ini, Presiden Joko Widdo menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran Bapa Suci. “Yang Teramat Mulia, Bapa Suci Paus Fansiskus. Indonesia menyambut gembira dan hangat kedatangan Yang Teramat Mulia, Bapa Suci Paus Fransiskus. Saya mendengar, inilah penerbangan terpanjang yang Sri Paus lakukan. Terima kasih, Bapa Suci telah bersedia memenuhi undangan kami untuk mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini memiliki pesan yang sangat kuat tentang arti pentingya merayakan perbedaan,” kata Presiden.
Indonesia, kata Presiden, sebagai negara majemuk terus berupaya menjaga harmoni di tengah kebhinnekaan. “Bagi Indonesia, perbedaan adalah anugerah. Toleransi adalah pupuk bagi persatuan dan perdamaian sebagai sebuah bangsa. Indonesia sangat beruntung memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sehingga dapat hidup rukun berdampingan. Semangat perdamaian dan toleransi inilah yang ingin Indonesia bersama Vatikan sebarkan, apalagi di tengah dunia yang semaki bergejolak,” kata Presdien.
Hal senada disampaikan Bapa Suci dalam pidato balasannya. “Dapat dikatakan bahwa sebagaimana samudera adalah unsur alami yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia, demikian pun sikap saling menghargai terhadap kekhasan karakteristik budaya, etnis, bahasa dan agama dari semua kelompok yang ada di Indonesia adalah kerangka yang tak tergantikan dan menyatukan yang membuat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bersatu dan bangga.”
Bapa Suci mengatakan, “Semboyan negara Anda Bhinneka tunggal ika (Bersatu dalam keberagaman, secara harfiah berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua) mengungkapkan realitas beraneka sisi dari berbagai orang yang disatukan dengan teguh dalam satu bangsa. Semboyan ini juga memperlihatkan bahwa, sebagaimana keanekaragaman hayati yang ada dalam negara kepulauan ini adalah sumber kekayaan dan keindahan, demikian pula perbedaan-perbedaan Anda secara khusus berkontribusi bagi pembentukan mosaik yang sangat besar, yang mana masing-masing keramiknya adalah unsur tak tergantikan dalam menciptakan karya besar yang otentik dan berharga.”
Di bagian lain pidatonya, Bapa Suci mengatakan, “Untuk memperkuat kerukunan yang damai dan berbuah yang menjamin perdamaian dan menyatukan upaya-upaya untuk menghapuskan ketimpangan dan penderitaan yang masih bertahan di beberapa wilayah negara, Gereja Katolik berkeinginan untuk meningkatkan dialog antaragama.”
“Dengan cara ini, prasangka dapat dihapus dan suasana saling menghargai dan saling percaya dapat bertumbuh. Hal ini sangatlah penting untuk menghadapi tantangan-tantangan bersama, termasuk tantangan untuk melawan ekstrimisme dan intoleransi, yang melalui pembelokan agama, berupaya untuk memaksakan sudut pandang mereka dengan menggunakan tipu muslihat dan kekerasan,” ujar Bapa Suci.
“Bhineka tunggal ika, keadilan sosial dan berkat ilahi karenanya adalah prinsip-prinsip hakiki yang bermaksud untuk menginspirasi dan menuntun tatanan sosial. Prinsip-prinsip ini dapat disamakan dengan struktur pendukung, sebuah fondasi yang kokoh untuk membangun rumah. Bukankah kita pasti menyadari bahwa prinsip-prinsip ini sangat sesuai dengan moto kunjungan saya ke Indonesia: Iman, Persaudaraan, Bela Rasa,” kata Paus kelahiran Argentina ini.
Di bagian akhir pidatonya, Bapa Suci mengatakan, “Saya berharap agar setiap orang dalam kehidupan mereka sehari-hari, akan mampu menimba inspirasi dari prinsip-prinsip ini dan menerapkannya ketika melaksanakan kewajiban mereka masing-masing, karena opus justitiae pax, perdamaian adalah karya dari keadilan. Kerukunan dicapai ketika kita berkomitmen tidak hanya demi kepentingan-kepentingan dan visi kita sendiri, tapi kebaikan bersama, dengan mambangun jembatan, memperkokoh kesepakatan dan sinergi, menyatukan kekuatan mengalahkan segala bentuk penderitaan moral, ekonomi dan sosial, dan untuk memajukan perdamaian dan kerukunan. Semoga Allah memberkati Indonesia dengan perdamaian dengan masa depan penuh harapan. Allah memberkati Anda sekalian.”
Hasiholan Siagian
Sumber: Majalah HIDUP Edisi No. 37, Tahun Ke-78, Minggu, 15 September 2024