HIDUPKATOLIK.COM – Moralitas Thomistik, yang didasarkan pada ajaran Santo Thomas Aquinas, menekankan bahwa perkawinan merupakan sakramen suci, bertujuan mempersatukan pasangan dalam cinta dan membuka diri terhadap prokreasi. Dalam pendidikan anak, Thomistik menekankan peran orang tua sebagai pendidik utama, yang bertanggung jawab membentuk karakter moral anak sesuai dengan prinsip-prinsip kebajikan dan kebenaran.
Pendidikan perlu diarahkan untuk mencapai kebahagiaan akhir (beatitudo), dengan fokus pada perkembangan intelektual dan spiritual anak agar mereka dapat mencapai kebaikan tertinggi dan hidup selaras dengan kehendak Tuhan.
Dalam tradisi filsafat Thomistik, moralitas tidak hanya dipahami sebagai serangkaian aturan yang harus dipatuhi, tetapi juga sebagai bentuk keharmonisan dengan hukum alam yang mengarahkan manusia pada tujuan akhir yang baik. Pandangan demikian bertolak belakang dengan persepsi umum tentang moralitas abad pertengahan yang dianggap menekan kecenderungan alami manusia.
Khususnya dalam hal relasi seksual dan institusi perkawinan, St. Thomas Aquinas, dalam analisis Etienne Gilson (1994) mengemukakan pandangan lebih seimbang dan berbasis pada prinsip-prinsip naturalistik yang relevan hingga hari ini.
Dalam pandangan St. Thomas (dalam Gilson, 1994), relasi seksual tidak secara inheren berdosa. Bahkan, dia menolak pandangan ekstrem dari beberapa kelompok heretik yang menyatakan bahwa semua relasi seksual adalah dosa. Jika kita menerima premis bahwa semua relasi seksual adalah dosa, maka kita juga harus menerima bahwa dosa terjadi pada sumber utama pembentukan keluarga, yang merupakan satuan sosial paling mendasar dalam masyarakat.
Sebaliknya, St. Thomas menekankan bahwa penggunaan organ seksual adalah wajar dan normal ketika diatur oleh tujuan benar, yaitu reproduksi.
Namun, reproduksi dalam konteks manusia bukan hanya soal kelahiran fisik, tetapi juga pendidikan moral dan intelektual anak-anak yang dilahirkan.
Lebih lanjut, St. Thomas (dalam Gilson, 1994) menekankan bahwa tugas reproduksi pada manusia tidak sekadar menghasilkan keturunan, tetapi juga memastikan pendidikan mereka. Hal tersebut mencerminkan bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari proses alami reproduksi itu sendiri. Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya berarti mengasuh anak, tetapi juga mengajarkan mereka nilai-nilai moral, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang memerlukan waktu dan kesabaran.
Oleh karena itu, sangat penting bagi ayah untuk tetap bersama ibu selama proses pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian, perkawinan bukan sekadar ikatan biologis, tetapi juga sebuah persahabatan mendalam antara suami dan istri, yang bersama-sama mengarahkan anak-anak mereka menuju kehidupan baik dan bermoral.
Karena pendidikan anak adalah proses panjang dan berkelanjutan, St. Thomas (dalam Gilson, 1994) berargumen bahwa perkawinan haruslah bersifat indissoluble atau tidak dapat dipisahkan. Hal ini merupakan konsekuensi alami dari tanggung jawab moral yang diemban oleh kedua orang tua.
Seorang ayah yang benar-benar peduli akan pendidikan anak-anaknya harus mendampingi mereka sepanjang hidup, bukan hanya sampai anak tersebut tumbuh dewasa, tetapi sampai mereka mampu menjalani kehidupan dengan bijaksana dan mandiri.
Selain itu, dalam kajian Gilson (1994) St. Thomas juga menekankan pentingnya keadilan dalam perkawinan. Tidak adil bagi seorang suami meninggalkan istrinya setelah masa suburnya berlalu atau setelah kecantikan dirinya memudar. Perkawinan lebih dari sekadar kontrak sosial. Perkawinan merupakan persahabatan paling intim yang menggabungkan kenikmatan fisik dengan ikatan emosional dan spiritual mendalam.
Institusi perkawinan dalam pandangan Thomistik bukan sekedar sarana memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga suatu bentuk kesatuan sosial yang berfungsi memastikan pendidikan dan pertumbuhan moral generasi berikutnya. Persahabatan antara suami dan istri, yang didasarkan pada cinta timbal balik dan komitmen untuk bersama-sama membesarkan anak-anak, merupakan dasar dari keluarga kokoh.
Dalam dunia modern yang sering kali mengabaikan nilai-nilai tradisional, pandangan St. Thomas Aquinas menawarkan kerangka kokoh untuk menegaskan kembali pentingnya perkawinan sebagai institusi yang tidak hanya sah secara moral, tetapi juga krusial bagi kesejahteraan sosial. Aquinas menekankan bahwa perkawinan bukanlah sekadar kontrak antara dua individu, melainkan sebuah panggilan yang melibatkan tanggung jawab moral terhadap Tuhan dan masyarakat.
Di tengah arus deras relativisme moral yang mengikis pemahaman mendasar tentang makna hidup, ajaran Aquinas memandu kita agar melihat perkawinan sebagai wujud keselarasan antara kehendak ilahi dan tatanan sosial yang adil.
Dengan demikian, moralitas Thomistik tidak hanya berbicara tentang pentingnya hukum alam, tetapi juga mengingatkan kita bahwa institusi perkawinan dan pendidikan anak adalah dua pilar yang tidak dapat dipisahkan dalam membangun masyarakat bermoral.
Bagi Aquinas (dalam Gilson, 1994), pendidikan anak dalam konteks keluarga bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi merupakan proses integral dalam pembentukan karakter dan pengembangan kebajikan. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari struktur perkawinan stabil dan berlandaskan nilai-nilai moral yang kuat.
Keduanya, baik perkawinan maupun pendidikan anak, merupakan manifestasi dari keharmonisan dengan hukum alam lebih luas, dan menempatkan keluarga sebagai dasar dari kehidupan masyarakat bermoral.
Dalam perspektif Thomistik, keluarga adalah mikrokosmos dari masyarakat lebih besar, di mana setiap anggota berperan dalam mencerminkan kebaikan dan keadilan.
Ketika nilai-nilai ini dipraktikkan dalam lingkup keluarga, mereka memperkuat struktur sosial dan memperkaya kehidupan komunitas, sehingga menghasilkan masyarakat yang tidak hanya makmur secara material, tetapi juga adil dan bermoral.
Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada, dan Pemerhati Pendidikan