web page hit counter
Rabu, 18 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Lasro Simbolon: Penguatan Tata Kelola dan Kepedulian bagi Sang Pahlawan Devisa

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – NOVEMBER 2017, pemerintah mengesahkan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Berbeda dengan undang-undang dan kebijakan sebelumnya yang kental aspek bisnis penempatan, UU PPMI menitikberatkan pada pelindungan tiga dimensi: calon PMI (CPMI), PMI sendiri, dan keluarganya. Pelindungan pra-penempatan, selama penempatan dan setelah selesai kontrak. “Aspek hukum, ekonomi, sosial sangat diperhatikan sehingga undang-undang ini sangat progresif dan revolutif,” ujar Lasro Simbolon, Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Asia dan Afrika, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Governance yang tepat dan Ego Sektoral

Meski demikian, Lasro melakukan oto-kritik. Berbagai kebijakan dan terobosan pelindungan PMI telah dan sedang dilakukan. Sebagian berhasil, seperti semakin terangkatnya citra PMI dan semakin tingginya proporsi PMI terlatih dibanding PMI sector informal yang puluhan tahun sangatt dominan.  Tapi untuk lebih efektif, sistem dan kelembagaan tata kelola (governance) yang ada perlu ditinjau kembali. Banyak overlapping antar K/L, dan antar-pusat dan daerah tapi ironisnya banyak fungsi grey area, kurang jelas lembaga apa yang berwenang. Bahwa pembagian kewenangan antar-Kementerian/Lembaga mulai dari pembinaan/pengawasan  penempatan dan lembaga pendukung penempatan, penyelenggaran pendidikan/pelatihan bagi CPMI belum jelas; Sebagai contoh, Kemenaker dipahami sebagai regulator utama, dan BP2MI menurut UU 18/2017 sebagai lembaga pelaksana kebijakan secara terpadu.  Dalam realitasnya BP2MI kurang mendapat wewenang dan sumberdaya yang memadai. Komitmen negara untuk PMI dalam pembagian kewenangan terbagi-bagi dan terkesan tidak efektif. Pembagian tugas-tugas operasional dan regulasi/kebijakan umum sering kurang sinkron dan kurang jelas demarkasinya. Hal ini diperburuk dengan kultur bersinergi dan berkoordinasi antar-instani dan antar-pemangku di Indonesia masih menjadi barang mahal.

Menurutnya, ada semacam ego sektoral yang merugikan PMI. Misalkan, undang-undang sebelumnya menempatan calon PMI dididik oleh lembaga penempatan dan mewajibkan punya balai latihan. Sekarang calon dianggap harus berkompeten dulu baru menjadi PMI. Tanggung jawab pelatihan dalam Undang-Undang diberikan menjadi wewenang utama Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota. Faktanya sebagian besar Pemda belum paham akan kewajiban ini. Mereka yang sudah mahfum pun, umumnya tidak dibekali dengan anggaran yang memadai, atau tidak menempatkan urusan penempatan-penindungan PMI sebagai prioritas Daerah. Kurangnya kompetensi PMI menjadi salah satu factor maraknya PMI korban eksploitasi di satu sisi, dan menjadi lahan masih suburnya praktek penempatan illegal oleh sindikasi dalam dan luar negeri. Pelindungan PMI selama di luar negeri, walau masih perlu diperkuat, masih lumayan khususnya sejak Kemlu menempatkan pelin dungan warga Negara Indonesia menjadi salah satu priorotas diplomasi.

Atas dasar ini, Lasro mengusulkan dua pilihan tata kelola ke depan yaitu pertama, tata kelola penempatan, pendidikan, pelindungan harus dikelola oleh satu kementerian, entah Kementerian PMI atau semacamnya dan diberi mandat untuk melakukan pengawasan perusahaan swasta seperti izin perusahaan, pembinaan lembaga, termasuk sarana dan prasarananya, pengawasan lembaga pelatihan CPMI, serta koordinasi pelindungan PMI dalam seluruh tahapan/siklus migrasi. Negara Filipina dapat menjadi rujukan, yang memiliki satu Departemen/Kementerian, yaitu Department of Migrant Workers. Pun kalau opsi pertama, yakni penanganan PMI dalam satu kementerian belum dianggap pilihan realistik, opsi kedua, BP2MI dapat  diintegrasikan dengan Kemenaker dengan tetap mempertahankan keberadaan BP2MI, dalam hal ini Menaker adalah ex officio Kepala BP2MI. “Supaya ada konsistensi dalam merumuskan dan menerapkan aturan, tidak menimbulkan potensi konflik antar kelembagaan atau institusi, ada elaborasi antara bentuk pembinaan dan pengawasan apa yang harusnya dilakukan,” jelas Lasro.

Lasro menambahkan guna memperjuangkan nasib PMI yang baik maka regulasi hukum perlu terus diperbaiki. Sebab PMI perlu terus dicitrakan dan diperlakukan sebagai warga VVIP. Selama ini label Tenaga Kerja Indonesia dianggap hanya pekerja domestik, pekerja low skill, bahkan sering diasosiasikan dengan berbagai citra negatif.. Dengan istilah PMI (sebagai pengganti intila TKI dan TKW yang tidak lagi digunakan), negara memberi penghormatan sebagai pahlawan devisa. Mereka adalah warga pemberani dan pejuang kesejahteraaan keluarga maka harus dilindungi dan dijaga harkat dan martabatnya.

Dua Sektor

Ada perbedaan mendasar antara PMI sektor formal dan informal (non prosedural). Sektor formal sudah pasti bekerja di perusahaan berbadan hukum, memiliki kontrak kerja yang jelas, dilindungi oleh perundangan ketenagakerjaan di negara penempatan, dan menghadapi risiko kerja yang minim, serta rendah konflik. Sedangkan sektor informal bekerja pada perseorangan tanpa badan hukum. Walaupun terdapat kontrak kerja, belum tentu dipayungi satu mekanisme kerjasama bilateral atau perundangan ketenagakerjaan yang jelas di negara penempatan, serta rentan terjadi konflik. “Pemerintah tidak melarang para pekerja low skill karena itu hak asasi manusia. Pemerintah terus berupaya menguatkan tata kelola pelindungan yang baik bagi PMI di sektor non formal,” sebut pria yang sejak kecil bercita-cita menjadi Camat ini.

Memberi perhatian di dalamnya termasuk situasi kerja, gaji yang memadai, pemberian asuransi layak, biaya penempatan zero, atau upah lembur yang layak. Salah satu cara dengan alur penempatan PMI melalui one channel system , yang beberapa tahun ini diterapkan dalam kerjasama RI-Malaysia sehingga lebih terkontrol dan terlindungi otoritas di dua negara.

Karena itu, kata Lasro, orientasi pra pemberangkatan calon PMI skema penempatan pemerintah ke luar negeri menjadi perhatian BP2MI. Selama orientasi calon PMI diberi pemahaman utuh tentang jenis pekerjaan, hak dan kewajibannya termasuk kontrak kerja, asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan, jam kerja lembur, termasuk pemahaman dasar hukum dan budaya di negara penempatan. “Mereka duta bangsa maka harus memahami system hukum dan budaya tempat tinggal mereka dan jiwa nasionalisme juga tetap dirawat selama menjadi PMI.”

PMI Non-Prosedural

Meski demikian, faktanya bahwa ada banyak PMI yang berangkat ke luar negeri non prosedural. Sebagian besar digoda dan ditipu bujuk rayu sejumlah calo dan sindikasi. Mereka tidak terdaftar dalam sistem kita sehungga Negara tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka tidak memiliki kontrak kerja maka negara tidak mengetahui jenis pekerjaan, tempat tinggal, upah kerja, pelindugan kesehatan dan akhirnya amat rentan terhadap eksploitasi. Karena lemah dan tidak berkekuatan hukum maka mereka diperjual belikan, dipindahkan dari majikan satu ke yang lain bahkan mengalami kekerasan fisik dan fisikis yang banyak berujung kematian.

Lasro sering mengatakan calon PMI non prosedural adalah penerima “tiket eksploitasi”. Berbeda dengan PMI prosedural yang terverifikasi, mendapatkan hak cuti, lembur, jelas kapan mulai dan selesai kontrak kerja, kapan kenaikan gaji, kepastian suasana kerja, akomodasi, asuransi, dan sebagainya. “Yang prosedural banyak memiliki cerita sukses karena mengikuti alur penempatan. Faktor pemberat non-prosedural adalah bisnis kotor yang menggiurkan. Calonya berlapis dan bercabang-cabang dan sebagian bisa dicegah, sebagian lagi lolos. Sindikat di dalam maupun luar negeri dan berusaha mencari celah dengan berbagai modus,” ujarnya. “ Solusi mendasar untuk penempatan illegal ini adalah sosialisasi massif mulai dari local leaders dan masyarakat khususnya di daerah kantong-kantong utama asal penempatan dan penegakan hukum yang revolutif terhadap calo dan sindikasi penempatan illegal, mulai dari calo lapangan sampai dengan bandar di dalam dan luar negeri.

Peluang penempatan lain yang saat ini terus kita perkuat adalah lewat skema goverment to goverment. Jadi pemerintah yang mengelola, bukan swasta dan diatur lewat perjanjian bilateral, tentu gajinya PMI tinggi dan proses perpanjangan kontrak jelas. Skema ini didorong untuk mengurangi pengiriman low skill dan non-prosedural lewat MoU khusus dengan pemerintah negara penempatan. Skema antar-pemerintah saat ini kita kelola dengan baik dengan Korea, Jepang dan Jerman.

Kesadaran Ideologis

Tentu perbaikan dan tata kelola dan kepedulian PMI harusnya menjadi kesadaran ideologis kolektif. Tahun 2017, Bank Dunia merilis ada 9 juta PMI yang bekerja di berbagai negara penempatan, baik procedural dan non-prosedural. Saat itu data dalam sistem kita yang resmi tercatat adalah 3,5 juta PMI. Artinya ada selisih 5, 5 juta yang disumsikan mereka buah penempatan non-prosedural. Apabila survey Bank Dunia ini menjadi rujukan, ini merupakan angka yang dahsyat.  Pertama, satu PMI bisa menanggung rata-rata 4 orang dalam satu keluarga  plus diri sang PMI akan ada 45 juta orang Indonesia sejahtera lewat peran dan perjuangan PMI apabila Negara benar-benar hadir mulai dari hulu sampai dengan hilir. Mereka membantu pemerintah mengentaskan penagguran dan kemiskinan. Kedua, sumbangan PMI selalu ada dalam tiga  besar sumber devisa Negara. Tahun 2023 lalu menurut data Bank Indonesia, PMI menyumbang 227 Triliun Rupiah dan berada pada ranking kedua setelah devisa dari sector migas. Ini jumlah dahsyat membantu neraca pembayaran (balance of payment) dan dampak perputaran ekonomi nasional.

Ketiga, dan ini sering disepelekan, sektor PMI berperan membantu pemerintah untuk transformasi sumber daya manusia. Dengan persiapan penempatan CPMI di dalam negeri secara benar dan  sungguh-sungguh, ini sudah menjadi satu tahapan penguatan kompetensi dan kapasitas SDM nasional. Pengalaman bekerja sekian lama di luar negeri,  menjadi kesempatan PMI memiliki soft and hard skill yang lebih baik,  pengetahuan Bahasa, wawasan  dan pengalaman yang tak diragukan. Sebagaimana kerap saya saksikan dengan rasa syukur dan bangga setiap kunjungan ke daerah, ada banyak purna PMI kita menjadi pribadi yang lebih maju. Mereka memiliki ketrampilan dan etos kerja yang baik. Banyak menjadi professionals, pendididik/intruktur, aktivis sosial, dan tidak sedikit menjadi wiraswasta. BP2MI bahkan sejak tahun lalu mencoba mewadahi gelombang sukses ini dalam satu paguyuban PMI (Persatuan Wirausaha Purna PMI), sebuah paguyuban untuk saluran pembinaan pemajuan dan saling berbagi dan saling membantu sesama purna PMI menjadi pengusaha sukses dengan harapan ke depan dapat lebih difasilitasi Pemerintah (Pusat dan Daerah).

“Sekali lagi, Indonesia perlu membangun ekosistem tata kelola yang komperhensif dan kesadaran ideologis untuk perlindungan terbaik PMI”. Mulai dari perundang-undangan dan kebijakan yang kuat, governance yang tepat, sinergi antar-pemangku yang efektif, penegakan hukum tegas dan revolutif bagi praktek percaloan dan sindikasi penempatan illegal, dan keberpihakan kolektif yang berbuah pada kepedulian nyata Negara (pemerintah dan masyarakat) bagi sang pejuang keluarga dan pahlawan devisa kita.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

 

Profil: Drs. Lasro Simbolon, MA

 Lahir  : Tapanuli Utara, 3 Desember 1964

 Pendidikan:

  • Master of Arts Program Studi Hubungan Internasional dan Ekonomi di Universitas Griffith, Queensland, Australia (1995)
  • S1 Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sumatera Utara (1987)

Jabatan :

  • Deputi Penempatan dan Pelindungan Kawasan Asia dan Afrika, BP2MI (2023-sekarang)
  • Deputi Penempatan dan Pelidnungan Kawasan Amerika dan Pasifik, BP2MI (2021-2023)
  • Wakil Duta Besar Indonesia di Moskow, Rusia (2016-2019)
  • Direktur Afrika, Kementerian Luar Negeri RI (2012-2016)
  • Minister Counsellor pada KBRI Den Haag, Belanda (2009-2012)
  • Counsellor pada PTRI Jenewa, Swiss (2022-2006)
  • Sekretaris II Politik Multilateral pada KBRI/PTRI Wina, Austria (1996-2000)

Pelatihan:

  • Alumni PPRA Lemhannas RI Angkatan LXIV
  • Sekolah Staf dan Pimpinan Luar Negeri (2008)
  • Diklat PIM II LAN (2008)
  • Sekolah Staf Luar Negeri (2001)
  • Sekolah Dinas Luar Negeri (1991)
  • International Training for Senior Diplomats dari Clingendael Institute Belanda (2001)
  • International Training on Peace Making and Preventive Diplomacy, Oslo, Norwegia (2005)

Penghargaan:

  • Satyalencana Karya Satya 30 Tahun (2020)
  • Satyalencana Karya Satya 20 Tahun (2010)
  • Satyalencana Karya Satya 10 Tahun (2000)
  • Peringkat Pertama Pendidikan Terpadu Sesparlu dan Diklat PIM II (2008)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles