HIDUPKATOLIK.COM— “Anak juga punya hak untuk beribadah, untuk ikut merayakan Ekaristi dan Yesus dengan jelas berkata, “Biar anak-anak datang kepada-Ku.”
“SEPERTI Yesus, kita ingin menempatkan anak-anak sebagai pusat perhatian dan merawat mereka,” ungkap Paus Fransiskus me- nekankan betapa pentingnya mera- wat anak-anak. Hari Anak Sedunia yang diselenggarakan oleh Dikasteri Kebudayaan dan Pendidikan Vatikan pada 25-26 Mei 2024 di Roma ini berupaya menjawab pertanyaan: “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada anak- anak yang sedang tumbuh?”
Inisiatif ini bertujuan untuk menempatkan kondisi anak-anak sebagai prioritas utama, memberikan ruang refleksi mengenai masa depan mereka, dan dunia yang ingin kita wujudkan kepada mereka. Untuk itu, HIDUP juga berbincang dengan Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia (KKI), Pastor Markus Nur Widipranoto guna melihat kebutuhan dan perhatian pada perkembangan anak-anak Katolik di Indonesia ketika ditemui di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Kantor KKI, pada Rabu, 5/6/2004. Berikut petikan wawancaranya:
Adakah undangan khusus Hari Anak Sedunia untuk Indonesia?
Undangan khusus tidak ada. Biasanya undangan kami terima dari kedutaan atau ke saya tapi tidak ada secara khusus. Memang sebelumnya, Paus sudah me- ngeluarkan undangan dan pesan untuk Hari Anak Sedunia yang diedarkan secara publik. Kemungkinan karena baru pertama kali, yang mendapat undangan langsung hanya anak-anak di Keuskupan Roma dan beberapa negara tetangga. Di KKI sendiri tidak ada acara khusus di hari H untuk acara ini karena memang Hari Anak sudah banyak sekali dirayakan.
Mengapa merayakan Hari Anak penting?
Saya mencatat ada berbagai istilah untuk Hari Anak, seperti: Hari Anak Misioner, Hari Anak Nasional, Hari Anak Internasional/Universal, lalu Paus mengadakan Hari Anak Sedunia. Namun dari semuanya itu, yang menjadi inti pokok adalah mempromosikan hak- hak anak, menghargai anak, melindungi hak anak, merawat pertumbuhan perkembangan anak, dan dari sisi Gereja, ingin menegaskan panggilan bahwa anak itu pembawa damai. Mereka adalah anak- anak misioner.
Anak-anak adalah pembawa masa depan dan mewujudkannya. Apalagi Paus mengangkat tema dari Kitab Wahyu “Sesungguhnya Aku akan menjadikan segala sesuatu baru.” Di sini, Bapa Suci mau mengajak, menyadarkan, dan memanggil anak-anak bahwa dengan kehadiran mereka menjadi pembawa damai.
Bagaimana pandangan Gereja anak sebagai pembawa damai?
Anak membawa damai dengan ciri sukacitanya bahwa mereka itu adalah penentu masa depan. Maka lewat keceriaan mereka, lewat tindakan konkret mereka yang kecil tetapi penuh persaudaraan. Nah, klo dalam Gereja Itu dikenal dengan istilah “2D2K” (Doa, Derma, Kurban, Kesaksian) itu ya. Itulah bentuk-bentuk konkret untuk membawa perdamaian bagi anak sehingga mereka dapat menjadi misionaris kerahiman, misionaris perdamaian, untuk menjadi misionaris Yesus. Secara khusus di Hari Anak Sedunia, Paus menekankan nasib anak di medan perang dan pentingnya mendengar suara harapan anak dari medan perang agar kedamaian terjadi.
Bagaimana peran KKI mewujudkan anak sebagai pembawa damai?
Karya Kepausan bukan hanya menyampaikan katekese tapi juga me- ngajak anak untuk beraksi lewat 2D2K. Contohnya, seperti derma, anak-anak kumpulkan lalu disatukan di Roma dan dari sana lalu dibagikan kembali ke kantung-kantung misi. Jadi memang Karya Kepausan dalam hal ini SEKAMI (Serikat Kepausan Anak Misioner Indonesia), tidak sekadar katekese tetapi juga menyangkut hal-hal penunjang lain seperti peduli kesehatan (isu tengkes) serta perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Maka KKI juga bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyusun Pedoman Gereja Katolik Ramah Anak. Dalam tahap ini, kami sedang berproses untuk membuat modul-modul ramah anak, perlindungan anak, tentu di dalam koridor-koridor yang menjadi wewenangnya KKI.
Sejauh ini definisi Gereja Ramah Anak yang diusung KKI seperti apa?
Gereja Katolik Ramah Anak itu lebih menekankan pada pemenuhan hak anak. Pemenuhan Hak Anak itu kan seperti tercatat dalam Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989: 10 hak yang harus diberikan (bermain, pendidikan (bersekolah), perlindungan (kasih sayang), nama yang baik, status kewarganegaraan, makan, kesehatan, piknik, persamaan (gak dibedain), dan partisipasi anak). Lalu ada 4 hak dasar anak meliputi hidup, tumbuh kembang, mendapat perlindungan, dan partisipasi, kemudian dirinci menjadi 31 Hak Anak.
Paling tidak dari sini mencoba membuat penyadaran dan edukasi mengenai hal ini. Jadi tekanannya pada pemenuhan hak anak dengan harapan kalau hak anak ini terpenuhi lalu tidak perlu terjadi perlindungan karena sudah terpenuhi tetapi itu kan pengandaian. Kita tetap memperhatikan pada dua hal itu yang menekankan pada pemenuhan hak anak. Nah lewat apa? Lewat wewenang atau koridor ruang medannya Karya Kepausan itu di gereja. Gereja paroki/keuskupan, lalu penyadaran atau edukasi kepada para pastor lewat acara Temu Imam dan para animator/pendamping SEKAMI/BIA di keuskupan.
Perlu diketahui, ketika akan meminta bantuan ke Vatikan pasti akan ditanyakan apakah di keuskupan yang bersangkutan sudah memiliki kebijakan perlindungan anak atau belum. Ini menunjukkan betapa serius Gereja memperhatikan hak dan perlindungan anak. Sebagai contoh, Keuskupan Ruteng dan Keuskupan Agung Ende telah mengaungkan “Paroki Sayang Anak” sebagai wujud inplementasi Gereja Ramah Anak.
Dalam konteks Indonesia, mana pemenuhan hak anak yang paling menjadi perhatian?
Kebebasan dalam mengungkapkan ekspresi imannya. Kemudian juga hak mereka untuk merayakan Ekaristi. Karena jika kita tidak hati-hati, anak itu “seperti dijauhkan” dari perayaan Ekaristi. Bisa kita lihat di paroki-paroki, pendampingan SEKAMI/ pendampingan iman anak justru dilaksanakan bersamaan dengan perayaan Ekaristi dengan pelbagai alasan yang mulia, seperti menjaga kekhusyukan. Tidak hanya itu, banyak orang tua berkeberatan mengantarkan anaknya ikut SEKAMI/BIA usai Ekaristi. Mereka lebih nyaman jika dilakukan bersamaan saat Ekaristi. Padahal anak juga punya hak untuk beribadah, untuk ikut merayakan Ekaristi dan Yesus dengan jelas berkata, “Biar anak-anak datang kepada-Ku.”
Saya selalau menyampaikan perhatian ini dengan sosialisasi/penyadaran terus menerus sebab kita seperti tidak sadar. Kita seolah-olah sudah memberikan segala-galanya untuk anak padahal belum. Contohnya, kita diajarkan ketika masuk gereja untuk mengambil air suci, tetapi apakah anak-anak bisa menjangkau tempat air suci itu? Lalu kursi dan tempat berlutut yang tentu tidak didesain untuk kenyamanan anak. Terkadang, para imam juga jarang menyapa anak-anak.
Untuk itu saya kira, dengan Paus mengadakan ini supaya perhatian masya- rakat dunia, khususnya umat dapat memberikan perhatian serius sebab Geraja kodrat panggilannya untuk memenuhi hak anak, menjadi pelindung mereka. Gereja adalah ibu sekaligus bapa bagi anak. Jadi, Gereja Katolik Ramah Anak itu bukan sesuatu yang asing sebetulnya dan tidak berangkat pertama-tama dari kasus tetapi terutama untuk semakin menegaskan komitmen gereja. Untuk semakin serius mengerjakan panggilan dasar Gereja untuk mencintai, melindungi, dan merawat anak.
Jika demikian, perlukah Misa Anak ditambahkan frekuensinya?
Saya pikir tidak perlu ada Misa khusus anak, kecuali peristiwa tertentu. Sebab yang namanya Misa itu kan tidak segmentasi karena kita adalah keluarga umat Allah yang terdiri dari anak-anak sampai lansia. Hanya memang, edukasi liturgi itu yang perlu dikuatkan untu anak. Apalagi kita selalu mengajarkan bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup kristiani.
Lalu persiapan apa yang harus dilakukan orang tua agar anak mengikuti Ekaristi dengan baik?
Persiapannya tentu dari yang paling keliatan secara fisik, yakni penampilan. Anak diajarkan untuk berpakaian pantas dan sopan untuk berjumpa dengan Tuhan yang dihormati dan dikasihi. Kemudian sikap. Orang tua harus mempersiapkan dengan mengajarkan anak mengenai sikap doa yang akan dipraktikkan saat Misa. Ketiga, persiapkan batin anak dengan mengajak berdoa sebelum Misa di rumah dan syukur jika orang tua bisa membacakan Sabda Tuhan yang nanti akan didengarkan saat Misa agar anak lebih mengerti. Lalu mengedukasi juga kapan dan di mana anak bisa makan atau minum. Nah, ini harus dibiasakan sejak di rumah.
Jika ada keluarga muda yang baru punya bayi, jangan takut ke Gereja. Umat juga perlu diedukasi agar ramah kepada mereka yang punya bayi dan difabel. Jangan gampang menghakimi orang apabila ada suara tangisan atau berisik anak. Paus Fransiskus sendiri pernah berkata saat di Kapel Vatikan ketika membaptis anak-anak dan mereka ribut. Ia berkata, “Suara tangisan dan ramenya mereka adalah kor yang paling indah di antara kor yang lainnya.”
Felicia Permata Hanggu
Telah terbit di Majalah HIDUP edisi 24 tanggal 16 Juni 2024