HIDUPKATOLIK.COM – Paus kedua yang mengunjungi Indonesia adalah Yohanes Paulus II. Kunjungan tersebut selain berlangsung lebih lama, 9-13 Oktober 1989, namun juga mengunjungi beberapa daerah lain, selain Jakarta: Yogyakarta, Medan, Maumere dan Timor Timur, yang waktu itu masih merupakan bagian dari Indonesia. Ada kesatuan tema dari apa yang dikatakan Paus saat mengunjungi daerah-daerah tersebut, tentang bagaimana menjadi Gereja setempat, walau tentu saja ada kekhasan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks masing-masing.
Mengingat luasnya cakupan pembicaraan dan area kunjungan Paus ke Indonesia. Maka saya akan menuliskan kunjungan tersebut dalam dua tulisan. Yang pertama adalah tulisan yang lebih terkait dengan kehidupan Gereja, dan yang kedua adalah tulisan yang lebih bersifat umum, entah itu dari pertemuan dengan Presiden namun pula dengan kalangan luas di luar Gereja. Bagaimana pun setiap kunjungan Paus tidak saja merupakan kunjungan pastoral, namun pula kunjungan kenegaraan, karenanya ada muatan sosial-politik juga.
Paus menegaskan kembali, sama seperti saat Paulus VI berkunjung, yaitu peran dia sebagai pelayan iman dan kesatuan Gereja universal. Semua perjalanan kunjungan Paus senantiasa merupakan tanggapan dari perintah Yesus untuk menjadi saksi-Nya ke seluruh dunia (lih Kis 1:8). Daya misioner Gereja dalam kesetiaannya akan pewartaan Injil tidak hanya telah membangun kehidupan Gereja sejak awal, terutama sejak kedatangan Santo Fransiskus Xaverius hingga kini, namun hendaknya tetap selalu menjadi ciri dasar kehidupan menggereja. Itulah yang diharapkan Yohanes Paulus II agar Gereja Indonesia tetap dinamis dan semakin menggapai hidup dalam kelimpahannya. Prinsip plantatio ecclesiae, disinggung Paus dalam homili misa di Yogyakarta. Gereja yang semakin tertanam berkat inspirasi dari misteri penjelmaan Allah Putera, merupakan motif dasar kehidupan misioner Gereja. Inkarnasi senantiasa merupakan pengkait antara Gereja dengan aneka budaya umat manusia. Kekayaan kharisma yang diwujudnyatakan merupakan tanda akan kesetiaan pada misteri tersebut.
Tentu untuk itu Gereja perlu terus-menerus mempersiapkan tanah yang subut, agar benih sabda yang ditaburkan dalam hidup dan menghasilkan buah yang berlimpah. Paus menyebut dua tokoh besar: Albertus Soegijapranata, uskup pribumi pertama dan Ignatius Kasimo, tokoh awam Katolik. Kedua tokoh tersebut membantu Gereja dalam menerjemahkan iman Katolik ke dalam upaya pembangunan masyarakat, demi kebaikan semua. Imam dan awam merupakan dua tonggak penyokong kehidupan menggereja, maka keterlibatan aktif umat awam ditegaskan Paus. Syaratnya adalah menumbuhkan kasih yang tidak berpusat pada diri, namun dalam pemberian diri kepada Allah dan sesama. Di depan para tokoh Gereja, Yohanes Paulus II menyebutkan tantangan pewartaan Injil yang perlu mendapatkan perhatian: membentuk suara hati yang sehat dan interiorisasi iman.
Di Maumere, Flores, Paus mengajak untuk itu bercermin pada Maria, yang senantiasa menemani perjalanan iman kita. Maria senantiasa mewartakan hal-hal besar yang dikerjakan Allah. Pewartaan tersebut tidak sekedar menjadi pujian personal darinya, namun juga dinyatakannya dengan perjumpaan, bergerak keluar untuk pergi mengunjungi sesama yang membutuhkan. Itulah panggilan untuk menjadi garam dan terang, sebagaimana ditegaskan Yohanes Paulus II di Dili. Menjadi garam dan terang di tengah kenyataan yang ditandai dengan hati yang dingin dan suasana yang kelam tentu menjadi sesuatu yang berarti bagi panggilan kesaksian profetis Gereja. Panggilan tersebut diwujudkan dalam keberagaman bentuk-bentuk pelayanan.
Di Medan Paus menempatkan ini dalam pertanyaan tentang siapakah sesama manusia itu, sebagaimana ternyatakan dalam kisah tentang orang Samaria yang murah hati (lih Luk 10:25-37). Kasih akan Allah senantiasa menemukan bentuk dan pewujudannya dalam kasih kepada sesama. Setiap orang yang memiliki belarasa tidak akan pernah bisa menolak sesama. Oleh karena itu solidaritas perlu terus-menerus dikobarkan. Allah mencintai keadilan dan kedamaian. Demikian ditegaskan Yohanes Paulus II. Pembangunan manusia yang utuh dan sejati perlu terus-menerus diupayakan, tanpa mengabaikan karakter religius yang termuat pula dalam tradisi yang telah lama hidup. Pembangunan sosial dan ekonomi perlu diberi jiwa, agar hati yang ditandai dengan belaskasihan, sebagaimana orang Samaria, bisa semakin tumbuh serta mewujud. Solidaritas dan subsidiaritas ditekankan lagi oleh Paus saat bertemu dengan para Uskup. Kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang fundamental dalam membangun kehidupan bersama.
Paus mengutip ungkapan dari Mazmur, “Biarlah banyak pulau bersukacita” (Mzm 97:1). Kutipan ini bisa mewakili gambaran kenyataan serta harapan akan Gereja Katolik di Indonesia, yang merupakan negara kepulauan. Tentu Paus mengharapkan agar kehadiran Gereja di Indonesia menumbuhkan dan menghidupkan sukacita. Sukacita tersebut tentu pertama-tama adalah sukacita iman, yang berangkat dari kabar suka cita Injil. Maka Gereja Katolik di Indonesia didorong Paus agar terus melibatkan diri dalam kehidupan berbangsa, memberikan sumbangannya bagi kehidupan bersama. Itulah tanda kesaksian iman yang diharapkan. Kesaksian iman berarti bagaimana kita menghayati hidup iman secara sungguh di tengah kenyataan sebagai kawanan minoritas kecil dalam masyarakat.
Saat bertemu secara khusus dengan para Uskup, Yohanes Paulus II meminta agar para Uskup Indonesia agar jangan takut serta ragu untuk mendorong supaya umat Katolik semakin berani memberikan kesaksian akan kebenaran serta nilai-nilai iman mereka, sesuai dengan kondisi tempat dan situasi masyarakat setempat. Pewujudan iman lebih daripada sekedar menjalankan kewajiban religius secara privat dan devosional belaka. Paus mengingatkan pesan dari Konsili Vatikan II bahwa Injil perlu menyentuh pula setiap aspek kehidupan umat manusia – budaya, ekonomi, sosial dan politik, agar dunia kehidupan dapat semakin manusiawi.
T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, tinggal di Girisonta, Jawa Tengah