web page hit counter
Senin, 25 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (11): Sang Reformer

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – THE Great Reformer, judul buku yang ditulis penulis Inggris, Austen Ivereigh, terbit 2014. Semoga terjemahan Sang Reformer Agung atau Sang Pembaharu Agung bagi Paus Fransiskus tepat. Dengan membaca biografinya — ada beberapa biografi tentang Paus Fransiskus lainnya — Ivereigh secara kronologis mulai dari kelahiran sampai terpilih sebagai Paus, menguraikan detail tentang apa-siapa Jorge Mario Bergoglio berikut latar belakang proses pilihan ponfitikalnya: Gereja orang miskin dan cinta perdamaian. Dari isi buku ini, rasanya sebutan Sang Reformer Agung (the Great Reformer) bisa diterima untuk judul buku Austen Ivereigh dengan subjudul Francis and the Making of a Radical Pope itu

Selain nomenklatur Reformer, sebutan Radical Pope pun perlu dimengerti dengan mengacu pada pemerian Paus Fransiskus sendiri. Paus Fransiskus menjelaskan tentang arti radikal dalam konteks mengomentari pernyataan seorang wartawan dari koran Barcelona, La Vanguardia, 11 Juni 2014. “Beberapa orang mengatakan Anda seorang revolusioner,” kata sang wartawan. Komentar Paus, revolusi dalam konteks ini berarti pergi ke akar, mengenalinya dan melihat apakah akar bicara tentang masa sekarang. Tidak ada kontradiksi antara revolusioner dan pergi ke akar.

Seseorang yang pergi ke akar berarti seorang radikal (radix = akar). Radikalisme menurut Paus Fransiskus lahir dari identifikasi luar biasa dengan Yesus setelah pendalaman Injil dan doa mistis (melihat dari yang tidak tampak). Identifikasi membawa kepemimpinan apostoliknya pada menyederhanakan dan fokus pada tumbuhnya kesempatan Tuhan berkarya. Ivereigh menyebutnya kepemimpinan Paus Fransiskus sejak sebagai Kardinal Jorge Bergoglio sebagai postheroic discerning leadership. Radikalisme Paus Fransiskus tidak ada hubungan dengan doktrin atau ideologi progresif. Melainkan mengakar pada karya kepausan yang berpihak pada orang miskin dan terpinggir. Ia tidak ingin menggunakan karya apostoliknya untuk melawan pertikaian politik dan budaya, karena itu radikalisme tidak ada hubungan dengan ideologi atau perjuangan politik.

Baca Juga:  Keuskupan Tanjungkarang Memperoleh Tiga Imam Baru: Imam Tanda Kehadiran Allah

Radikalisme Paus Fransiskus bersumber dari keinginan mengupas Injil (Kabar Gembira) dilandasi kekuatan intelegensi, minat politik, dan kecanggihan teologisnya. Iman kepercayaannya primitif, demikian Ivereigh: Tuhan yang Mahakuasa berkarya di tengah aktivitas setan, sehingga manusia harus membedakan dan memilih. Setan itu adalah “ratu” yang bisa berupa apa saja, antara lain kekuasaan. Karena manusia tidak bisa berdialog dengan setan, maka manusia melakukan pilihan-pilihan.

Mengenai perubahan dan tanpa memakai kata radikalisme, menurut Mario Escobar – penulis biografi lainnya — para Paus sebelumnya bukan inovator (Mario Escobar, Fransiskus Manusia Pendoa, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Gramedia, 2013). Santo Yohanes Paulus II memiliki kharisma khusus, tetapi ia tidak mendatangkan perubahan atau reformasi yang signifikan. Struktur Gereja tidak berubah selama berabad-abad, upaya Konsili Vatikan II terwujud sebagian, sementara perubahan terbesar terjadi dalam hal liturgi dan peran awam.

Kesederhanaan

Paus Yohanes Paulus I (1912-1978), salah satu Paus pendahulu, disebut-sebut cukup melakukan perubahan. Meskipun masa kepausannya hanya 30 hari (1978) — meninggal karena serangan jantung — ia melakukan banyak perubahan besar. Cara hidupnya sederhana dan rendah hati. Dalam hal doktrin ia tradisional-konservatif, sangat keras melawan perceraian. Programnya doa, disiplin dalam Gereja, dan kesetiaan pada Konsili Vatikan II. Dalam hal kesederhanaan dan kerendahan hati, seperti Paus Yohanes Paulus I, Paus Fransiskus  menghilangkan citra Paus sebagai “raja Gereja” yang telah berlaku sejak Abad Pertengahan. Mereka berdua dikenal meninggalkan warisan inspiratif kepausan modern.

Dalam hal doktrin, Paus Fransiskus tidak melakukan perubahan mengenai beberapa masalah. Ada beberapa masalah yang dihadapi — sebagian sudah ditangani Paus Benediktus XVI –yakni pedofilia, transparansi urusan Vatikan seperti kasus Vatileks, pendirian/sikap Gereja untuk masalah pernikahan sejenis, aborsi, hukuman mati, euthanasia, serta penurunan jumlah anggota Gereja di seluruh dunia. Ada yang menambahkan dialog antarkeyakinan.

Baca Juga:  Renungan Harian 23 November 2024 “Lepas Bebas”

Dalam hal pedofilia, meneruskan yang sudah ditangani Paus Benediktus XVI, Paus Fransiskus tegas dan terbuka. Menyangkut kasus pedofilia oleh kaum klerus pada anak-anak di AS dan Irlandia, Gereja membuka aibnya ke publik, memberi sanksi hukuman, dan yang menyangkut pidana ditangani pengadilan bagi pelakunya. Mengenai penyebab pelecehan, menurut Paus Fransiskus tidak ada hubungan dengan selibat. Tentang selibat yang diberlakukan sejak tahun 1100 sebagai  kewajiban bagi rohaniwan dan biarawan, Paus Fransiskus berkata teguh tidak berubah. Paus Fransiskus setuju dengan para Paus sebelumnya, begitu juga soal euthanasia, hukuman mati, aborsi. Dalam hal pelayanan terhadap kaum LGBTQ, Paus Fransiskus memberi penekanan  pada pelayanan pastoral kepada semua orang, menegaskannya dengan seruan apostolik Amoris Laetitia (Sukacita Kasih) .

Mario Ecobar, penulis Francis, Man of Prayer (2013) sependapat dengan Austen Ivereigh, bahwa Paus Fransiskus bukan penganut teologi pembebasan. Ia menjalankan formasi Jesuitnya, yakni tidak tunduk pada kekuatan politik. Setia tunduk pada Paus. Ia tidak percaya agama dan politik harus seiring dan sejalan. Ia tidak sepaham dengan komunisme — paham yang dilawan semasa kepausan Yohanes Paulus II bahkan sering disebut-sebut pecah berkeping-kepingnya Uni Soviet sebagiannya karena peran Paus Yohanes Paulus II. Sementara masa kepausan Benediktus XVI dihadapkan pada masalah sekularisme, relativisme iman, dan kapitalisme. Paus Fransiskus berpendirian, Gereja harus memiliki visi kenabian yang menolak ketidakadilan dari mana pun asalnya.

Baca Juga:  Rekoleksi Pasutri TNI-POLRI: Siap Menikah, Siap Menderita

Paus Zaman Ini

Mario Escobar menyebut Paus Fransiskus sebagai Paus zaman ini. Berbeda dengan Paus Benediktus XVI, sosok intelektual yang memusatkan perhatian pada buku-buku, Paus Fransiskus keluar menemui orang dengan berbagai persoalannya. Kebiasaan ini sudah dia jalani sejak sebagai Uskup Agung, yang tidak tinggal di Istana Keuskupan, yang biasa naik kendaraan umum termasuk naik kereta bawah tanah, yang suka mengunjungi tempat-tempat kaum miskin. Tempat pertama yang dia kunjungi sebagai Paus adalah Pulau Lampedusa di Italia Selatan, tempat pengungsi dari Afrika untuk masuk ke Eropa. Penampilannya yang pertama tanggal 13 Maret 2013 di depan umat sedunia dan peziarah di Lapangan St. Petrus, Vatikan,  sangat mengesankan.

Paus Fransiskus — sulung dari lima saudara, insinyur teknik kimia dan pernah bekerja di laboratorium, baru berkeinginan jadi imam –mengambil kata-kata Santo Beda (672-745), miserando atque eligendo (dengan belas kasih jadi/dan dengan memilih) sebagai motto sebagai Uskup kemudian sebagai Paus. Homili tentang kutipan Injil Mateus 9:9-13 itu didengar kembali oleh remaja Jorge. Kata-kata panggilan Mateus, “Ikutlah Aku”, memantiknya untuk menjadi imam.

Belas kasih – berbela rasa dalam karya pelayanan/penggembalaan sebagai Uskup Agung maupun sebagai Paus, menyatu dalam diri Paus Fransiskus. Dalam hal ini ia seorang radikal, bersumber dan terus mencari ke akar. Kepemimpinannya adalah buah kepemimpinanan sosial transformatif, disertai refleksi dalam terang iman-Injili dan pertobatan, karena itu dalam hal tertentu bersikap tegas. Di antaranya pada 5 Juli 2024, Paus Fransiskus mengekskomunikasi Mgr. Carlo Vigano dalam kasus skisma (perpecahan) yang menolak kepemimpinan Paus dan seluruh hasil Konsili Vatikan II.

  St. Sularto, Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles