web page hit counter
Selasa, 31 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (7): Kemiskinan, Bela Rasa, dan Teologi Pembebasan

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – GEREJA miskin untuk dan tentang orang miskin. Berbela rasa dengan yang miskin dan tersingkir.  Begitu keinginan Paus Fransiskus yang dia sampaikan dalam konferensi pers pertama setelah terpilih. Santo Fransiskus dari Assisi datang dari semangat miskin, promotor perdamaian yang mencintai dan menghargai ciptaan. Dia tambahkan, memang ada beberapa usulan dari rekan-rekan kardinal. Di antaranya, nama Adrianus karena Paus Adrianus VI adalah Paus pembaharu. Ada yang sambil berseloroh menyebut,  Klemens karena Paus Klemens XV — seorang Fransiskan — yang pada tahun 1773 membekukan Serikat Jesus (SJ).

Jati diri Gereja dan perutusannya adalah pembebasan terhadap kaum miskin. Lewat Ensiklik Sollicituto Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial) tanggal 30 Desember 1987, Paus Yohanes Paulus II menguraikan masalah keadilan sosial dan penegasan option for the poor sebagai inti  Ajaran Sosial Gereja pasca-Konsili Vatikan II. Bersamaan waktu Konsili Vatikan II, di Amerika Latin berkembang teologi pembebasan; paham teologi yang berangkat dari kondisi aktual masyarakat. Memperkenalkan cara berteologi yang berangkat dari bawah, melakukan refleksi atas praksis dalam terang iman, berbeda berteologi dengan mempraksiskan iman dalam masyarakat.

Para perintis teologi pembebasan menyebut diri sebagai teologi Timur, di pihak lain teologi yang lahir dan berkembang di Eropa mereka sebut teologi Barat. Teologi pembebasan menggunakan metode analisis perjuangan kelas (pertentangan kelas) marxisme tetapi pembebasan dilakukan tanpa kekerasan. Baik teologi Barat maupun Timur  berbicara tentang hal yang sama, yakni citra Allah, dosa, kristologi, eklesiologi, dan eskatologi. Ada yang menyebutnya sekadar berbeda metodologi/cara. Namun dalam praktik ditemukan banyak kesulitan. Beberapa kasus terjadi para gembala umat (pastor) penganut teologi pembebasan turun langsung dan menjadi korban kekerasan/pembunuhan.

Leonardo Boff, salah satu tokohnya, menyebut teologi pembebasan merupakan cermin keadaan nyata, pengesahan gerakan sosial yang muncul awal tahun 1960, jauh sebelum munculnya tulisan-tulisan tentang teologi pembebasan. Gerakan ini tidak hanya muncul di kalangan Katolik tetapi juga Protestan. Vatikan dan hierarki Gereja tertinggi di Amerika Latin – CELAM (Konferensi Para Uskup Amerika Latin) VII yang dipimpin Uskup Kolumbia, Mgr. Alfonso Lopez Trujilo, menentang keras.

Baca Juga:  Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara Tolak Rencana Pemerintah Menaikkan PPn Menjadi 12 Persen Mulai Januari 2025

Sejak tahun 70-an, terbit beberapa buku karya para teolog pembebasan seperti Gustavo Guttierez dari Peru, Jon Sobrino (El Salvador), Juan-Luis Segundo (Uruguay), Juan Carlos Scannone (Argentina) – sekadar menyebut beberapa tokoh. Meskipun ada beberapa perbedaan, karya mereka satu napas, membuat pergeseran radikal ajaran tradisional mapan Katolik dan Protestan (Michael Lowy, Liberation Theology). Menurut Gustavo Guttierez, pastor Ordo Dominikan dari Peru — disebut-sebut sebagai perintis –dengan gerakan dan bukunya tentang teologi pembebasan (terbit 1971), ada beberapa gugatan moral dan sosial yang disampaikan, penggunaan analisis marxisme sebagai alat, masalah kemiskinan dan kesetiakawanan perjuangan menuntut kebebasan.

Konservatif  dan Pembaharu

Paus Fransiskus bukan penganut teologi pembebasan. Komitmen pelayanan imamatnya mengacu pada hal-hal esensial lewat kesaksian hidup berupa kesederhanaan, integritas personal, akuntabilitas dan semangat penggembalaan. Dalam konteks itu ia termasuk konservatif tetapi dalam banyak masalah teologis lainnya dia pembaharu, seperti Paus Yohanes XIII yang secara simbolis membuka pintu keterbukaan Gereja dengan Konsili Vatikan II (Austen Ivereigh, The Great Reformer. Francis and the Making of a Radical Pope, Henry Holt Company, 2014).

Ketika cerobong putih di atas Kapel Sistina mengeluarkan asap putih, di saat yang sama lewat layar lebar di lapangan depan Katedral Buenos Aires, orang berseru “kita punya Paus orang miskin”. Dengan ucapan dan tindakan yang serba di luar tradisi berabad-abad, Paus baru Fransiskus menunjukkan  pembaruan-pembaruan yang akan dilakukan. Tidak hanya membereskan berbagai masalah besar yang menyangkut Gereja, tetapi juga dalam magisterium kegembalaan. Penegasan awal tentang Gereja kaum miskin, membawa angin segar baru pelayanan dan teladan Yesus Kristus.

Baca Juga:  Merajut Panggilan Tuhan: Kisah Inspiratif dari Paguyuban Orang Tua Terpanggil

Ujaran, sikap dan tindakan Paus Fransiskus membangkitkan harapan para pejuang kemanusiaan, termasuk di kalangan para teolog pembebasan. Di antaranya masalah tertundanya proses beatifikasi Mgr. Oscar Arnulfo Romero, Uskup Agung San Salvador yang dibunuh karena kegigihannya menentang pemiskinan dan penindasan di El Salvador. Ia ditembak mati sewaktu mempersembahkan misa di tahun 1980. Dia adalah martir ketika di negara itu terjadi konflik berdarah (1980-1992) yang memakan korban meninggal 75.000 jiwa dan sekitar 8.000 hilang dan cacat. Mgr. Romero dikenal sebagai uskup konservatif, sebelumnya menolak teologi pembebaan, tetapi melihat kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan terhadap buruh, ia terbuka pada teologi pembebasan. Kotbahnya ditunggu rakyat, apalagi dengan seruan-seruannya agar pemerintah menghentikan penganiayaan.

Negara Brasil tempat kelahiran teologi pembebasan sebelum menyebar ke berbagai negara di Amerika Latin. Gereja Brasil memiliki jumlah umat Katolik terbesar di Amerika Latin. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan perjuangan tumbuh subur melawan penindasan. Padahal sebelumnya komunisme ditentang. Gereja mendukungnya dan lahir sejumlah teolog pembebasan, yang kemudian juga menyebar di negara-negara miskin di kawasan Amerika Latin.

Berdasar metodologi berteologi pembebasan Guttierez, titik tolak refleksi teologisnya adalah praksis dalam realitas kemiskinan Amerika Latin. Realitas itu dia analisis yang kemudian tampak sebagai kemiskinan struktural bukan hanya masalah sosial tetapi juga teologis, dalam arti tidak hanya masalah ketidakadilan sosial tetapi juga teleologis (tujuan akhir kehidupan). Perlu dilakukan pembebasan. Memungut metodologi Marx dengan pertentangan kelas, dalam cara pembebasan kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan, dalam teologi pembebasan tidak mengenal cara kekerasan tetapi penyadaran diri lewat kelompok basis.

Di Argentina — tempat lahir Paus Fransiskus — sebuah negara berbentuk republik dengan luas wilayah 2.780.400 km2, terluas kedua setelah Brasil, terkena imbas perkembangan teologi pembebasan. Sebagai pastor, dosen dan dalam berbagai tugas pelayanan sebagai Provinsial SJ Provinsi Argentina dan kemudian Uskup Agung Buenos Aires, Kardinal Jorge Mario Bergoglio berkarya di tengah berkembangnya teologi pembebasan, di masa ketika Vatikan belum bisa menerima kehadiran teologi pembebasan dan cengkeraman junta militer di Argentina.

Baca Juga:  Tingalkan 2024, Sambut 2025: Tetap Menaruh Harapan

Ujaran, sikap dan tindakan Kardinal Jorge mencerminkan kedekatan dengan orang miskin. Begitu juga dalam surat-surat kegembalaannya sebagai uskup. Kedekatan pada orang miskin, dalam arti luas ke kelompok terpinggirkan, korban penindasan dan pengucilan seperti LGBTQ menunjukkan jati diri pelayanannya bagi kelompok ini sebagai prioritas. Namun ada juga yang menilai, ketika sebagai provinsial dia dituduh membiarkan dua pastor anggotanya dipenjara oleh rezim diktator junta militer Jenderal Virela. Tuduhan itu salah. Dia sudah terus melakukan pendekatan ke pemerintah, dan akhirnya kedua pastor Yesuit itu bebas. Sementara dia sendiri terimbas gelombang teologi pembebasan, diberhentikan sebagai rektor sebelum masa tugasnya berakhir dan tidak boleh tinggal di rumah komunitas SJ sampai diangkat sebagai Uskup Auksilier Buenos Aires.

Kepada wartawan Andrea Tornielli yang diterbitkan Insider Vatikan, Februari 2012 (Fransiskus Paus dari Dunia Baru, terj. RF Bhanu Viktorahadi, Pr, Gramedia, 2013), Kardinal Jorge — saat itu belum Paus — menyampaikan “perlunya dihindari penyakit spiritual Gereja yang hanya memikirkan dirinya sendiri. “…Dengan menutup diri Gereja akan menjadi sangat picik dan ketinggalan zaman. …Daripada menjadi sebuah Gereja yang menerima, kami mencoba menjadi Gereja yang keluar dari diri sendiri dan pergi mengunjungi….”.

Kepada penulis Austen Ivereigh, Paus Fransiskus bercerita, kalau Gereja bicara opsi keberpihakan kepada kaum miskin, berarti perlu dicamkan dalam pikiran bagaimana setiap keputusan yang dibuat berdampak bagi kaum miskin (Fransiskus dalam Percakapan dengan Austen Ivereigh. Mari Bermimpi Jalan Menuju Masa Depan Lebih Baik, terj. Y.D. Anugrahbayu, Gramedia, 2021).

St. Sularto
Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles