web page hit counter
Rabu, 18 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Benvenuto Padre Francesco (5): Gereja, Manusia, dan Dunianya

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “IMAN-Persaudaraan-Bela Rasa” (FaithFraternityCompassion), tema kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia awal September 2024. Tema ini sejalan misi negara Kota Vatikan (Vatikan), yakni  mengembangkan hidup keagamaan, kemanusiaan, perdamaian, dialog agama,  dan kesejahteraan.

Vatikan, negara terkecil di dunia terbentuk berdasarkan Perjanjian Lateran, 11 Februari 1929 antara Wakil Kepala Pemerintah Takhta Suci, Kardinal Pierro Gaspari dan PM Kerajaan Italia Benito Mussolini. Seorang Paus adalah Kepala Negara Kota Vatikan, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik sedunia, Uskup Roma. Oleh karena itu, dalam setiap kunjungan ke berbagai negara, ketiga kekuasaan atau tugas pelayanan yang diemban melekat dalam diri seorang paus. Tetapi  kunjungan apostoliknya ke berbagai negara dan kelompok masyarakat di luar Vatikan, lebih diwarnai kunjungan kepada umat Katolik daripada kunjungan sebagai kepala negara apalagi sebagai Uskup Roma.

Vatikan memang negara terkecil dalam arti keluasan wilayah dan populasi — berada di tengah kota Roma — tetapi besar dan penting dalam arti pengaruh internasional. Seruan, anjuran, pernyataan, tindakan seorang Paus mendapat perhatian serius dunia termasuk pemimpin pemerintahan, berdampak dan berpengaruh luas. Dengan 1,3 miliar umat Katolik (Roma) sedunia, Vatikan jadi acuan, panutan, ketentuan hukum dan aturan peribadatan umat.

Dengan posisinya yang tidak berpolitik praktis, tetapi untuk kemaslahatan bersama umat manusia, berdasar hati nurani, kedamaian dan berbela rasa, Vatikan diakui netral dalam berbagai konflik, pertikaian dan perang yang terjadi di dunia, termasuk konflik Timur Tengah yang tidak pernah reda. Gereja tidak berpolitik praktis, seperti Yesus, tetapi seruan dan pesan-pesan apostoliknya berdampak politis.

Dengan wilayah 44 hektar (kurang lebih satu RW di DKI Jakarta) dan penduduk 525 jiwa, data Mei 2024 dengan tingkat pertumbuhan 1,332% tiap tahun, negara ini berbentuk monarki-sacerdotal yang dipimpin Uskup Roma (Paus). Para pejabat tertingginya adalah klerus dari berbagai negara. Sampai saat ini ada 176 negara sudah memiliki hubungan diplomatic — satu di antaranya dengan Indonesia sejak 25 Mei 1950 — dan organisasi-organisasi internasional. Sementara di Roma ada 80 lembaga perwakilan diplomatik yang mewakili negara atau lembaga internasional, termasuk Palestina dan Israel.

Baca Juga:  RS Brayat Minulya Surakarta Bertekad Menjadi Sarana Kehadiran Cinta dan Kuasa Allah

Merunut kehadiran negara Vatikan sejak Santo Petrus sebagai Paus I (64-67) sampai Fransiskus sebagai Paus yang ke-266 (2013 – sekarang), zaman Gereja Purba sampai zaman Modern (abad XVI – sekarang) terentang kisah yang amat luas dan rumit, sehingga menarik banyak sejarawan dan teolog. Dalam rentangan panjang berabad-abad itu dikisahkan berbagai  peristiwa sisi positif maupun dekadensi-negatif kepausan, taruh contoh kolusi pemerintahan dunia (sipil) dan klerus (Gereja), keluarga atau raja bisa mendudukkan anggota keluarganya atau siapa pun sebagai paus. Pilihan seorang paus pun dalam suatu penggalan sejarah Gereja.

Mengutip Pastor Eddy Kristiyanto OFM, ahli sejarah Gereja dalam bukunya, Gagasan yang Menjadi Peristiwa. Sketsa Sejarah Gereja Abad IXV, Kanisius, 2002), semua merupakan bagian utuh dari jatuh bangun pergulatan kehidupan Gereja yang lahir dan hidup-berkembang tidak dalam dunia yang vakum. Tetapi dengan demikian memperkaya eksistensi Negara Vatikan bersama dengan negara-negara sipil lainnya secara otonom.  Gereja adalah bagian dari peristiwa manusia dengan dunianya. Gereja berada di dalamnya, bagian utuh dari dunia. Gereja itu menyejarah.

Masing-masing Otonom

Pada abad pertengahan sulit dibedakan antara Gereja dan masyarakat politik/sipil. Kehadiran dan kuasa Gereja sangat dirasakan oleh masyarakat. Prinsip kekuasaan politik Gereja digali dari Kitab Suci, para Bapa Gereja dan tradisi. Ada tiga pilar kekuasaan politik: 1. Allah sebagai sumber dan landasan tatanan politik; 2. Hukum untuk mengontrol serta mencegah ketidakadilan; 3. Kebebasan. Ketiganya menjadi landasan utama mengatur kekuasaan raja (Peter C. Aman, OFM, “Gereja dan Otoritas Sipil” dalam Mempertanyakan Magisterium,…., RD Riki M. Baruwarso- editor, OBOR, 2015). Termasuk juga adanya tiga paus bersamaan waktu bertakhta atau “paus tandingan” di Avignon selama beberapa abad yang dikatakan sebagai “Pembuangan Babilonia Kepausan” di mana Paus sebagai kapelan raja Perancis, dan baru mulai 1377/78 kedudukan Paus kembali ke Vatikan.

Baca Juga:  75 Tahun RSBM: Akan Terus Setia Melayani

Konsili Vatikan II yang diinisiasi Paus Yohanes XXIII (1958-1963), mendinginkan berbagai dispute dan permasalahan dekadensi internal, sekaligus mendobrak sikap otoritarif Gereja yang membuka diri terhadap dunia. Konstitusi pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), salah satu hasil penting Konsili Vatikan II tahun 1963-1965, mengungkapkan solidaritas Gereja dengan umat manusia. Gereja mau berbicara sebagai sesama kepada manusia dan tentang manusia. Apa yang ditegaskan dalam konstitusi ini merupakan refleksi yang berpangkal pada pengalaman riil manusiawi dalam terang Injil.

Gereja mengakui otonomi dunia. Mau berdialog dengan dunia. Solider dengan dunia, dan bekerja sama membangun dunia dan kemanusiaan. Gereja memang bukan lembaga yang menjalankan karya demi kemajuan sosial politik, tetapi dari tugas keagamaannya ada kewajiban sosial ekonomi politik (Gaudium et Spes, No. 42). Beberapa butir penting disampaikan, di antaranya penegasan Gereja dan negara bersifat otonom. Keduanya dipadukan dalam urusan manusia, sebab manusia tidak terikat hanya pada dunia, tetapi juga kehidupan kekal (Gaudium et Spes, No. 76). Tidak ada pemisahan tetapi pembedaan sesuai dengan wewenang dan otoritas masing-masing.

Baca Juga:  Namanya Suster Francesco Marianti, OSU

Teologi pembebasan yang berangkat dari situasi aktual kemiskinan dan ketidakadilan di Amerika Latin, muncul dari analisis konkret, dan tidak berangkat dari Tradisi atau Kitab Suci. Konstitusi pastoral Gaudium et Spes, menurut para tokoh teologi pembebasan di antaranya Gustavo Guttierez kurang lengkap mendeskripsikan situasi kemiskinan dan ketidakadilan dunia. Dengan analisis praksis, dalam hal ini mengenai cara mendeskripsikan situasi konkret yang mengambil cara marxistis, dalam melakukan perubahan teologi pembebasan tidak memakai kekerasan. Sekadar menyarankan, mendesakkan dan mengingatkan dalam konteks kenabian belum cukup, tetapi harus ditindaklanjuti dalam praksis. Namun pada ujung praksisnya, teologi pembebasan menemukan kesulitan banyak kesulitan.

Merumuskan profesi kenabian Gereja terhadap persoalan dunia di sini lebih sekadar menyederhanakan persoalan. Bahwa Gereja tidak bisa dan tidak berhak campur tangan dalam urusan otonomi dunia. Campur tangannya sebatas mengingatkan, menyadarkan, dan menyarankan. Karena itu besarnya empati, kerinduan damai dan dialog agama-agama yang disuarakan Vatikan, taruh contoh gencatan senjata permanen di Gaza maupun di Ukraina, toh perang terus berlangsung.

Seruan damai dan dialog agama tidak kurang-kurang disampaikan, bahkan Paus Fransiskus sendiri menginisiasi pertemuan damai, dalam saat yang sama konflik terus terjadi, terorisme-fanatisme terus ada, kemiskinan, ketidakadilan, dan kelalaian merawat alam. Alih-alih dengan Kuasa Mengajar yang melekat dalam jabatan paus, ia menyampaikannya lewat seruan apostolik, ensiklik, homili, dan berbagai kunjungan apostolik sekaligus kunjungan kenegaraannya.  Gereja terus menyuarakan iman-persaudaraan-belarasa.

(Bagaimana Paus Fransiskus, Paus Benediktus XVI dan Paus Yohanes Paulus II menjalani tugas apostolik dengan pesan-pesan kenabiannya, baca edisi minggu depan).    

St.Sularto
Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles