web page hit counter
Kamis, 19 September 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Ketua LBI, Pastor Abertus Purnomo, OFM: Ketaatan terhadap Hukum Allah

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 01 September 2024 Minggu Biasa XXII. Ul.4:1-2, 6-8; Mzm.15:2-3a, 3cd-4ab, 5; Yak.1:17-18, 21b-22, 27; Mrk.7:1-8, 14-15, 21-23

“KRISTUS mengatakan kepada para sahabat-Nya, yaitu para murid-Nya, untuk berhati-hati terhadap ragi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yaitu kepura-puraan mereka yang palsu. Kemunafikan sangat dibenci oleh Allah dan manusia. Ia tidak mendatangkan pahala dan sama sekali tidak berguna bagi keselamatan jiwa. Ia justru melahirkan kutukan.

Meskipun untuk sementara waktu terkadang luput dari pengamatan, tidak lama kemudian, kemunafikan pasti akan terbongkar dan mendatangkan aib bagi mereka.” Perkataan dari Santo Sirilus dari Alexandria (376-444) ini menegaskan, tidak ada orang yang menyukai kemunafikan kecuali orang munafik itu sendiri. Kemunafikan hanya akan membuat orang lain yang masih berakal sehat dan berhati bersih menjadi geram dan merasa tertipu.

Injil Markus juga mencatat ketidaksukaan Yesus terhadap kemunafikan para pemimpin agama Yahudi, dalam hal ini orang Farisi dan ahli Taurat (Mrk. 7:1-8). Secara terang-terangan, Yesus menyebut mereka “hai orang-orang munafik.” Mereka berpura-pura menjunjung tinggi hukum Taurat dengan menjalankan dengan teliti praktik kesalehan dalam hidup keagamaan.

Akan tetapi, di balik semuanya itu, dalam hati mereka, sebenarnya tersimpan sebuah keinginan dan niat jahat. Seperti kisah dalam Injil Markus, mereka menggunakan dalil-dalil tradisi agama untuk menyalahkan para murid Yesus yang tidak membasuh tangan ketika sedang makan, sebuah tindakan yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan secara serius.

Sebagai orang Yahudi, Yesus pasti menghormati dan menaati hukum Taurat. Yang dipersoalkan Yesus berkaitan dengan hukum Taurat adalah kebiasaan orang Farisi dan ahli Taurat yang kerap menambah banyak penafsiran atas hukum dan membuat banyak aturan yang malah melenceng dari tujuan hukum Taurat.

Selanjutnya, mereka lebih berfokus terhadap aturan buatan manusia itu dan menerapkannya untuk menjatuhkan orang lain. Seperti dalam kasus para murid Yesus, ritual pembasuhan tangan bukanlah tradisi yang buruk. Yesus tidak meminta agar ritual ini dihapuskan.

Dia hanya menyesalkan mengapa ritual ini justru dipakai untuk mencela orang lain. Terlebih lagi, ritual ini sebenarnya bukanlah hal esensial yang ditekankan dalam hukum Taurat. Sepertinya, ini hanyalah aturan pelengkap yang dibuat untuk menjelaskan hukum kenajisan dalam Kitab Imamat.

Dalam Kitab Ulangan (Ul. 4:1-8) sudah ada larangan untuk tidak menambah dan mengurangi perintah atau hukum yang ditetapkan oleh Musa. Kiranya ini termasuk menambahkan aturan tambahan lain yang dikaitan dengan hukum Taurat. Tampaknya, Musa menyadari kecenderungan dalam hati manusia, terlebih mereka yang memiliki otoritas dan kekuasaan di tengah bangsa Israel, untuk memanipulasi hukum demi kepentingannya sendiri.

Demi memuaskan ambisinya dan mengalahkan orang yang tidak disukainya, mereka akan menafsirkan hukum semau mereka sendiri. Padahal, hukum Taurat pertama-tama bertujuan untuk memelihara kesetiaan bangsa Israel terhadap Allah dan menjaga relasi antara Allah dan bangsa Israel supaya tetap harmonis.

Menghadapi tuduhan ahli Taurat dan orang Farisi terhadap para murid-Nya atas pelanggaran aturan tambahan hukum kenajisan itu, Yesus mengatakan, bahwa sumber segala kenajisan bukan pertama-tama hal-hal eksternal, tetapi hal internal, yaitu hati manusia itu sendiri. Yesus mengecam para pemimpin agama Yahudi yang terlalu sibuk untuk mengurusi kenajisan fisik, tetapi tidak peduli dengan kenajisan rohani, yaitu keinginan jahat yang berasal dari dalam diri seseorang, yang kemudian melahirkan dosa.

Sama halnya dengan Yesus dan para murid-Nya yang tidak lepas dari berbagai aturan dalam hukum Taurat, demikian pula kita sebagai para murid Kristus di zaman ini juga tidak bisa lepas dari aturan dan hukum gereja. Gereja menciptakan hukumnya untuk mengatur dan mendukung kehidupan beragama dan interaksi antar anggota gereja supaya lebih harmonis dan bermanfaat.

Sekalipun demikian, kita tetap perlu menyadari, hukum dalam gereja seharusnya membantu orang lebih beriman dalam sukacita, bukan justru menjadikan orang semakin legalis, yaitu lebih menghamba kepada hukum daripada kepada Allah.

 “Hukum dalam Gereja seharusnya membantu orang lebih beriman dalam sukacita, bukan justru menjadikan orang semakin legalis.”

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 36 Tahun Ke-78, Minggu, 1 September 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles