HIDUPKATOLIK.COM – Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” dan “Sumpah Pemuda” bergema di lantai dasar Graha Pemuda yang terletak di kompleks Paroki Katedral – Gereja St. Maria Diangkat ke Surga, Jakarta Pusat. Kamis (22/08/2024) pagi itu, belasan jurnalis dan influencer berkumpul di tempat ini untuk mengenal lebih dalam tentang situs-situs bersejarah yang menjadi simbol kerukunan antarumat beragama, khususnya Katolik dan Islam, yang ada di Kota Metropolitan.
Meski masih dalam tahap penyelesaian, Graha Pemuda yang berlantai empat dan beratap beton tampak megah. Sisi bagian depan lantai dasar, yang menghadap Gereja Katedral, berdinding kaca. Di salah satu sudutnya terdapat sebidang area berlantai kaca tebal. Di sinilah sebuah sejarah terukir.
“Dulu ini aula. Kami merenovasinya. Lalu kami tahu ternyata ditemukan pondasi gedung Katholieke Jongelingen Bond (KJB),” ujar Pastor Yohanes Deodatus, SJ.
KJB, atau Gedung Pemuda Katolik, merupakan tempat berlangsungnya Kongres Pemuda II Hari I pada tanggal 27 Oktober 1928.
“Zaman itu ada Jong Java dan sebagainya. Ada juga Pemuda Katolik. Waktu itu mereka kebingungan bagaimana mencari tempat untuk mengadakan pertemuan. Lalu Pemuda Katolik menyediakan tempat. Tempatnya di sini. Gedungnya memang sudah hancur. Mengapa? Kita tidak tahu. Hanya tersisa sebuah foto gedung lama sebelum ini menjadi aula,” imbuhnya.
Graha Pemuda merupakan salah satu tempat yang akan dikunjungi Paus Fransiskus dalam kunjungan apostoliknya selama empat hari ke Indonesia pada awal September mendatang. Gedung ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Ini sedang proses dihibahkan. Belum sepenuhnya dihibahkan kepada Gereja. Maka tidak bisa banyak mengubah,” ungkapnya.
Serah terima lahan untuk pembangunan Graha Pemuda kepada Kepala Balai Prasarana Pemukiman Jakarta Metropolitan Kementerian PUPR berlangsung pada tanggal 2 Februari 2023. Kemudian pemberkatan pembangunan berlangsung pada tanggal 8 Mei 2023, dipimpin oleh Kepala Paroki Katedral, Pastor Albertus Hani Rudi Hartoko, SJ.
Jas Merah
Di hadapan peserta program bertema “Berkat Paus Menyinari Tempat ini” tersebut, Pastor Yustinus Sulistiadi, Pr mengutip pernyataan sarat makna dari Presiden Soekarno.
“‘Jas Merah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.’ Mengapa ini penting untuk mengundang para wartawan? Nanti kalau pas Paus (Fransiskus) datang, konsentrasinya pada actuality, aktualitas yang lebih dalam ini kurang digali. Maka silakan melihat situs sejarahnya secara detil. Sukur-sukur difoto. Demi apa? Karena ini simbol,” ujarnya.
Selain Graha Pemuda, peserta juga mengunjungi Gereja Katedral dan Museum Katedral. Didampingi panitia penyelenggara – Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara dan kabar-baik.id dalam kolaborasi dengan Paroki Katedral, mereka melihat interior Gereja Katedral bergaya neo-gotik yang diresmikan pada tahun 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen, SJ.
Sejarah Gereja Katedral berawal dari kedatangan dua imam, yakni Pastor Yacobbus Nelissen dan Pastor Lambertus Prinsen. Mereka diutus ke Batavia dan sebuah gereja Protestan kecil di kawasan Senen. Namun gereja ini dianggap tidak layak sebagai pusat keagamaan. Akhirnya, sebagian tanah bekas kediaman wakil gubernur Hindia Belanda dijual murah kepada umat pada tahun 1828 dan menjadi lokasi berdirinya Gereja Katedral saat ini.
Gereja pertama yang dibangun di lahan tersebut ambruk pada tahun 1891, dan gereja bergaya neo-gotik mulai dibangun oleh Pastor Antonius Dijkmans, SJ – seorang ahli arsitektur gerejani. Seorang insinyur, Marius J. Hulswit, melanjutkan proses pembangunannya.
Nama gereja adalah De Kerkvan Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming, atau Gereja Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Sementara itu, dua kursi yang akan dipergunakan oleh Paus Fransiskus saat ini telah tersimpan rapi di Museum Katedral. Satu kursi berwarna putih bertuliskan motto kepausannya, “Miserando atque eligendo” (yang tidak terpandang namun terpilih). Satu kursi lagi terbuat dari rotan. Kedua kursi ini tampak sederhana, yang memperlihatkan kesederhanaan pemimpin Gereja Katolik Universal tersebut.
Jembatan, Bukan Benteng
Meski peserta tidak bisa melewati Terowongan Silaturahmi, namun Pastor Sulis, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa terowongan yang menghubungkan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal ini juga merupakan simbol kerukunan antarumat beragama.
“Ada yang tidak setuju, kok kesannya bawah tanah, terowongan. Simbol biasanya benteng atau jembatan. Jangan membentengi diri! Ketika orang takut dengan yang masif, sedikit berfilsafat kemanusiaan, orang membentengi diri. Eksklusivisme. Lawannya benteng adalah jembatan sebagai simbol,” tegasnya.
“Tapi karena pertimbangan-pertimbangan praktis dan juga diskusi akhirnya menjadi Terowongan Silaturahmi. Silaturahmi berasal dari kata rahim. Rahim itu membesarkan, tidak membenci dan sebagainya.”
Pembangunan Terowongan Silaturahmi mulai saat pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Saat ini, terowongan masih dalam tahap penyelesaian, termasuk pemasangan karya seni berbentuk tangan yang berjabatan tangan.
Akhirnya, peserta mengunjungi Masjid Istiqlal.
Menilik sejarahnya, seperti dikutip www.istiqlal.or.id, ide pembangunan masjid terbesar di Asia Tenggara ini muncul sejak tahun 1945. Menteri Agama saat itu, Wahid Hasyim, dan beberapa ulama mengusulkan pendirian masjid yang mampu menjadi simbol bagi Indonesia. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1953, ia – bersama Agus Salim, Anwar Tjokwoaminoto, dan Sofwan serta 200 tokoh Muslim – mengusulkan pendirian sebuah yayasan. Akhirnya Yayasan Masjid Istiqlal terbentuk pada tanggal 7 Desember 1954.
Tjokroaminoto menyampaikan rencana pembangunan masjid kepada Presiden Soekarno dan mendapat sambutan hangat. Dan Presiden Soekarno melakukan pemancangan tiang pertama pada tanggal 24 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Namun pembangunan masjid tersebut tidak berjalan lancar. Proyeknya tersendat sebagai akibat dari situasi politik yang kurang kondusif. Pada masa itu berlaku demokrasi parlementer, partai-partai politik saling bertikai untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Kondisi ini memuncak pada tahun 1965 saat meletus peristiwa Gerakan 30 September sehingga pembangunan masjid terhenti sama sekali.
Menteri Agama, Muhammad Dahlan, memelopori kembali pembangunan masjid tersebut pada tahun 1966. Tujuh belas tahun kemudian, Masjid Istiqlal selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978, yang ditandai dengan pemasangan prasasti di area tangga pintu As-Salam.
Memperkuat Toleransi
Menurut Ketua Panitia, Laurensius Candra, program tersebut berkaitan dengan kunjungan apostolik Paus Fransiskus.
“Sebagai negara pertama yang didatangi Paus Fransiskus dalam kunjungan apostolik di Asia-Pasifik, Indonesia turut berbangga dan bersyukur karena peristiwa ini tidak hanya menjadi momentum sejarah bagi Indonesia, khususnya umat Katolik, tetapi juga kerinduan untuk bertemu Gembala Agung, pimpinan umat Katolik sedunia,” ujarnya, seperti tertulis dalam buku panduan.
Kunjungan apostolik tersebut, katanya, dapat memperkuat hubungan Gereja Katolik dan bangsa Indonesia, terutama memperkuat pesan toleransi, persatuan, dan perdamaian dunia.
Katharina Reny Lestari