HIDUPKATOLIK.COM—Keluarganya merasa kebingungan mengapa bisa anaknya tertular HIV dan mengapa seorang biarawati mau menolong bahkan memeluk anaknya yang mengidap HIV?
TAK kenal maka tak sayang. Ini adalah ungkapan yang kerap kita dengar. Untuk sayang butuh kenal. Namun pepatah tua itu tidak berlaku bagi seorang biarawati Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus (CB). Biarawati berjubah putih itu sedari pagi telah bersiap di sebuah klinik kecil tepat di belakang lobi utama Rumah Sakit Sint Carolus. Tempat itu dikenal dengan nama Ruang Carlo. Di sanalah para pengidap HIV/AIDS mencari pertolongan baik dalam ranah medis maupun dukungan emosional. Di ruang itulah Suster Vency, CB berkarya dan menyambut semua orang sebagai Kristus sendiri.
Pelayanan Holistik
Suatu hari seorang pria dengan wajah pucat pasi, mata cekung, dengan perawakan tubuh yang kurus datang menghampirinya. Tubuhnya begitu lunglai dan matanya nanar. Ia datang ke ruang Carlo untuk melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing). Ini adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui status HIV dan dilakukan secara sukarela serta melalui proses konseling terlebih dahulu.
Konseling HIV bersifat rahasia yang terjadi antara pasien dan konselor. Konseling ini dilakukan sesudah tes HIV. Di mana dalam konseling itu diberikan informasi lengkap tentang HIV/AIDS serta penyakit menular seksual lainnya yang bisa menjadi gerbang penularan virus HIV.
Di situ juga hasil tes dibuka bersama-sama. Apa, kemana, dan bagaimana yang harus dilakukan seandainya hasil positif HIV atau negatif dengan segala konsekuensinya. Inilah yang menjadi bagian tugas pelayanan Suster Vency dalam mendukung dan menemani para pasien yang datang ke Ruang Carlo untuk menemukan harapan mereka kembali.
Pria yang telah terkonfirmasi HIV itu pun disarankan mengambil tes lanjutan untuk melihat kekuatan antibodinya. Saran itu kian membuat air mukanya loyo sembari merogoh dompetnya dengan sedih. Ia pun disarankan untuk mengurus BPJS.
Sepuluh hari kemudian ia datang kembali untuk mengambil obat antiretroviral (ARV). Naas, ia datang dalam kondisi sesak napas dengan suhu tubuh yang tinggi. Suster Vency bahkan menyebutnya sebagai “Lazarus” saat menghubungi Unit Gawat Darurat (UGD). Ini berarti kondisinya antara hidup dan mati. Orang-orang sampai heran mengapa sang suster mau menolongnya meskipun pria itu bukanlah keluarga.
Tanpa pikir panjang, Suster Vency dengan rela mengurus pengaktivan BPJS pasien itu. Dalam hatinya ia terus berdoa agar prosesnya lancar dan ia dapat tertangani dengan baik dan maksimal.
“Saya doa, novena, doa lagi selama mengurus itu,” akunya. Akhirnya, Tuhan pun memberikan kemudahan dan BPJS pria tersebut dapat digunakan. Suster pun menghubungi pihak keluarga. Tentu saja keluarganya merasa kebingungan mengapa bisa anaknya tertular HIV dan mengapa seorang biarawati mau menolong bahkan memeluk anaknya yang mengidap HIV.
“Mereka muslim dan dalam pikrian mereka pasti susah untuk berobat di RS Carolus, namun ternyata tidak,” imbuhnya. Syukurlah, dalam kurun waktu satu minggu ia menunjukkan kemajuan yang baik. Suster Vency juga mencarikan tempat dari rekan LSM yang bisa mengunjungi dan menghantarkannya obat. Ini adalah sekelumit kisah yang pernah dilayani kelahiran Ende, Flores Tengah ini.
Kerasulan Keluarga
Di samping menemani hingga tuntas, pelayanan Suster Vency terutama dalam memberikan telinga dan hatinya. Mendengarkan dengan hati-penuh perhatian tanpa prasangka. Telah 1001 kisah pilu ia dengar, resapi, dan doakan. “Dokter Emon katakan kita bukan mempersoalkan perilaku mereka tetapi lebih bagaimana menghormati harkat dan martabat mereka sebagai manusia,” kenangnya.
“Apalagi banyak dari mereka terpapar HIV karena aksi laki sex laki (LSL). Jika ditelisik lebih jauh, Suster Vency melihat semua masalah ini berakar dari keluarga. “Kebanyakan dari mereka tidak mendapat sentuhan kasih dari ayah ibu mereka di saat kecil sehingga mereka mencari kekosongan itu dengan cara demikian,” tuturnya.
Di samping itu, hal ini terjadi akibat trauma kekerasan seksual (sodomi) yang mereka terima dari kerabat dekat atau orang yang mereka percayai. “Sungguh jiwa mereka begitu hancur. Hati saya tersayat mendengarnya,”sebutnya.
Itulah sebabnya Suster Vency sangat peduli kepada pasangan muda Katolik yang akan menikah agar mereka betul-betul menghayati Sakramen Perkawinan dan hadir sepenuhnya bagi sang anak kelak. “Jangan sampai mengutamakan masa depan anak tetapi mengabaikan masa sekarangnya anak,” tegasnya lagi.
Merangkul kehidupan
Untuk itu, Suster Vency senantiasa menyerahkan pelayanannya ini kedalam pangkuan Kristus. Dengan kekuatannya sendiri ia tidak mampu menanggung semua kisah pilu yang ia dengar. Pertama-tama, ia menghayati semua orang yang datang kepadanya ialah Kristus sendiri yang hadir di dalamnya. “Mereka bukan lagi pasien tetapi ini adalah Tuhan yang hadir,” bebernya. Dengan demikian, ketika berada bersama mereka segala prasangka telah ditanggalkan.
Dengan pasiennya, ia senantiasa mengapresiasi mereka karena berkenan membuka pengalaman pahit hidup mereka kepadanya. Selama sesi ada yang menangis, meraung, hingga terdiam karena tercekat derita. Di dalam ruangannya, ia juga menyediakan salib hingga sajadah jikalau dari antara mereka ingin meluapkan kemasygulannya pada Sang Pencipta.
“Suster tidak pernah memberikan batas waktu saat konseling. Mereka semua bisa berada di sini sebanyak yang mereka mau,” terangnya lagi. Di tengah kemelut hati mereka, Suster Vency mengajak mereka untuk melihat pemaknaan baru dari hidupnya.
Ia senantiasa berpesan kepada pasiennya, “Mari dengan hatimu yang terbuka, rangkul dan terimalah HIV ini sebagai bagian dari hidupmu. Aku sadar aku berisiko dan inilah konsekuensi yang harus aku tanggung sebab Tuhan telah memberi kesempatan untuk menata ulang dan meraih kembali hidup yang lebih baik. Aku sehat walaupun aku positif.”
Dalam proses menemani mereka, Suster Vency sadar betul untuk lepas dari gaya hidup lama sungguh sulit namun bukan berarti tidak mungkin. Setiap kali mereka mengaku bahwa mereka jatuh lagi, jatuh lagi, ia selalu dengan tangan terbuka menerima mereka. Menantang mereka memperkuat kehendak dan melihat pemaknaan baru dari hidup.
Diproses Tuhan
Ia senantiasa menyadari keberadaanya bersama Ruang Carlo adalah kesempatan yang diberikan Tuhan melalui perutusan Kongregasi. “Dengan menyakini ini bukan sekadar perutusan tetapi panggilan membawa hati suster kepada penyerahan diri yang total,” terangnya.
Dengan tempaan Tuhan menjawab panggilan menjadi biarawati, Suster Vency bersyukur dengannya. Butuh proses dan pengorbanan yang panjang baginya untuk menjawab, “Ya Tuhan, ini aku.”
Panggilan itu sudah ia rasakan sejak dulu tetapi karena keluarga membutuhkannya, ia pun mengurungkan niatnya dan pergi bekerja. Apalagi ibunya sakit keras dan harus bolak balik Ende-Jakarta untuk memperoleh pengobatan yang layak. Ia juga sempat akan bertunangan, tetapi suara lembut yang senantiasa memanggilnya kian bergema, hingga akhirnya di umur 30 tahun ia menjawab panggilan itu untuk menjalani hidup bakti. Kenyamanan dan kemapanan ia tinggalkan demi memberikan diri kepada Kristus secara total. Tanggal 21 Agustus 2011 kaul kekal pun ia ucapkan dengan mantap. Hanya kata syukur yang terucap di bibirnya hingga kini, “Tuhan terima kasih bahwa Engkau memberikan aku waktu, kesempatan untuk bisa hadir bersama mereka.”
Felicia Permata Hanggu/ Karina Chrisyantia
Terbit di Majalah HIDUP Edisi 32 Tahun 2022
Begitulah jika Tuhan sudah berkehendak apapun semuanya bisa terjadi, apa yg tidak mungkin bagi manusia tp bagi Tuhan bisa terjadi, sebab Tuhan sewaktu hidup dibumi mengajarkan “kasih”, jangankan kepada orang yg percaya kepada musuh pun Tuhan itu Maha Pengampun,amin.
Begitulah jika Tuhan sudah berkehendak apapun semuanya bisa terjadi, apa yg tidak mungkin bagi manusia tp bagi Tuhan bisa terjadi, sebab Tuhan sewaktu hidup dibumi mengajarkan “kasih”, jangankan kepada orang yg percaya kepada musuh pun Tuhan itu Maha Pengampun,amin.