web page hit counter
Kamis, 19 September 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pengakuan Dosa untuk Imam, Uskup, dan Paus

Rate this post

Pastor, apakah seorang imam atau uskup atau Paus diwajibkan mengaku dosa? Kepada siapa mereka mengaku dosa? Mohon penjelasannya ya, Pastor.

Seno, Yogyakarta

PADA tanggal 21 Juni lalu diberitakan bahwa Paus Fransiskus melayat karena wafatnya seorang imam Fransiskan, Manuel Blanco Rodriguez. Beliau adalah bapa pengakuan Paus Fransiskus, dan seorang imam biasa. Saat ada pengakuan dosa di Vatikan, saat Prapaskah maupun Adven, sebelum menerimakan Sakramen Pengakuan Dosa, Paus selalu tampak datang pada salah seorang imam untuk mengaku dosa. Paus sendiri dalam salah satu wawancara menyebutkan bahwa dia biasanya dua kali sebulan mengakukan dosa-dosanya. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengakuan dosa, sebagai sakramen, berlaku bagi siapa saja, betapa pun dia adalah Paus, uskup atau pun imam. 

Sakramen ini berlandaskan pada sabda Tuhan Yesus, “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh. 20:22-23). Pengampunan hanyalah berkat kuasa Allah, dalam Roh-Nya. Namun Allah berkenan melimpahkan kuasa kepada Gereja-Nya, sebagaimana dinyatakan Yesus kepada Petrus, yang diberi-Nya kunci Kerajaan Surga (lih. Mat. 16:19). Inisiatif datang dari Allah, dan menjadi pelayanan Gereja. Demikian dikatakan Yohanes Paulus II dalam Reconcilliatio et Paenitentia (1984). Kuasa ini secara khusus diberikan kepada mereka yang mendapatkan rahmat tahbisan. Seseorang dapat secara khusus memilih bapa pengakuan bagi dirinya. Hal ini berlaku pula bagi imam maupun Paus. Biasanya mereka memiliki bapa pengakuan yang tetap. Dalam ketentuan   disebutkan bahwa pelayan sah Sakramen Tobat adalah imam.

Hukum Kanonik menyebutkan bahwa setiap orang beriman wajib mengakukan semua dosa berat, dan dianjurkan pula untuk mengakukan dosa-dosa ringan. Istilah yang dipakai bisa Sakramen Pengakuan Dosa atau Sakramen Tobat, atau pula Sakramen Rekonsiliasi. Oleh karena itu, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa pusat dari sakramen ini bukanlah dosa-dosa kita, sebab kalau itu yang menjadi pusat maka pengampunan tergantung pada tindakan sesal kita. Pusatnya adalah kuasa Allah, rahmat serta belas kasihan-Nya. Setiap orang yang telah dibaptis sangat dianjurkan untuk mengaku dosa, sebab Gereja ini  kudus, namun kita semua anggotanya adalah pendosa. Maka Gereja pun senantiasa diundang untuk bertobat agar dapat semakin layak menerima rahmat penebusan-Nya, “Persiapkan jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan raya bagi-Nya..agar semua orang melihat keselamatan dari Allah” (Luk. 3:4-6).

Maka Sakramen Tobat lebih pada soal kemurahan hati dan pengampunan Allah. Maka imam yang menerima sakramen tersebut diharapkannya bertindak sebagai gembala yang baik, yang senantiasa terbuka untuk merangkul sehingga orang merasakan sukacita karena rahmat pengampunan. Maka nasihatnya, jangan takut mengaku dosa, sebab sakramen ini merupakan sarana dan jalan menuju pada kesucian. Kalau seseorang berlutut di hadapan Allah, mengakui kerapuhan dirinya dan memohon ampun kepada-Nya, pastilah Allah akan menganugerahi rahmat pengampunan. Sakramen ini membuahkan rekonsiliasi dengan Allah, sesama, Gereja, alam dan bahkan juga dengan dirinya sendiri. Jalan rekonsiliasi ini adalah jalan pemulihan: “Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap kerugian karena Kristus” (Fil. 3:7).

Kisah Anak yang Hilang dalam Kitab Suci (lih. Luk. 15:11-32) dipakai oleh Yohanes Paulus II sebagai titik awal refleksinya akan rekonsiliasi dan pengampunan. Paus Fransiskus pun memakai itu untuk menggambarkan belas kasihan Allah, sebagaimana saat Yubileum Kemurahan Hati (2016). Bapa akan senantiasa menyambut dengan tangan terbuka siapa saja yang kembali kepada-Nya. “Akan ada sukacita di Surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” (Luk. 15:7). Hati-hati dalam Kisah Anak yang Hilang, akan sikap anak sulung, yang merasa baik dan benar, dibandingkan adiknya, yang lalu tertutup. Kaum berjubah, karenanya perlu semakin setia dengan pengakuan dosa agar tidak terjebak dalam mentalitas anak sulung, sebab dirinya tetap bagaikan anak bungsu, yang kadang tersesat dan salah. Mereka pun perlu senantiasa diperdamaikan oleh Kristus.

Pengasuh: Pastor T. Krispurwana Cahyadi, SJ – Teolog

Majalah HIDUP, Edisi 32, Tahun Ke-78, Minggu, 11 Agustus 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles