Pastor, kita sebagai manusia terkadang “menyalahkan Tuhan” atas peristiwa sedih dan menyakitkan yang menimpa kita. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa hal ini terjadi pada saya?” “Apa salah saya?” “Mengapa bukan orang lain?” Mungkin iman kita kurang mendalam atau mungkin kita kurang bersyukur atas rahmat Tuhan. Tapi bagaimana caranya ya, Pastor, supaya kita bisa lebih menerima segala sesuatu yang terjadi pada kita dengan segala kerendahan hati dan ketulusan hati serta tetap mensyukuri segalanya?
Rani, Manado
HIDUP manusia senantiasa suatu perjalanan dan panggilan dari Allah sendiri. Manusia mengalami jatuh-bangun adalah suatu bentuk proses untuk “menjadi” semakin manusia, semakin serupa dengan Kristus. Bahkan terkadang hidup kita perlu melewati perjalanan yang tidak menyenangkan supaya kita bisa menjadi semakin baik dan bertumbuh lebih baik. Dan tidak semua hal yang menimpa kehidupan orang, yang menyakitkan adalah suatu yang buruk bagi manusia atau akibat dosa yang manusia lakukan, tetapi di balik itu ada saat-saat Tuhan memberikan kepada kita kesulitan supaya kita belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
Dalam Kitab Suci, kita bisa mempelajari arti penderitaan dari dua sisi. Pertama, penderitaan bisa terjadi karena dosa yang dilakukan manusia. Hal ini tampak ketika manusia pertama jatuh dalam dosa dan Allah mengusir mereka dari Taman Eden dengan beberapa catatan atas apa yang akan dialami oleh Adam dan Hawa (Lih. Kej. 3:14-24). Kedua, dosa itu bukan hanya karena dosa manusia tetapi karena Allah hendak mendidik manusia lebih kokoh imannya. Penderitaan model ini terjadi pada seorang yang bernama Ayub dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Ayub, dikatakan bahwa Ayub dianggap menderita karena dosa-dosanya oleh sahabat-sahabatnya padahal Ayub tidak berdosa. Di sini hendak disampaikan bahwa penderitaan itu bukan sekadar karena kesalahan dan dosa saja. Akan tetapi Tuhan mau mengajarkan supaya orang bisa hidup jauh lebih baik lagi; atau orang tersebut diundang untuk menjalani pertobatan yang membentuk manusia lebih tangguh sebagai pribadi yang rapuh dan mengandalkan hanya pada Allah semata.
Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh berhenti memahami penderitaan hanya dari kaca mata dosa dan bukan dosa saja tetapi kita perlu melihatnya dalam terang Kristus, Sang Guru, “jalan, kebenaran dan hidup” (Bdk Yoh. 14:6). Dalam Injil, dikatakan sangat jelas bahwa Yesus menderita bukan karena Dia berdosa tetapi karena Dia mengasihi manusia yang berdosa, anak-anak Allah dan sahabat-Nya. Yesus, Tuhan kita merupakan pusat hidup kita. Jika kita sedang mengalami penderitaan, kita perlu selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Dia sumber harapan sejati. Maka, Dia memilih jalan untuk memberikan teladan dan sekaligus pemahaman bahwa penderitaan bukan sekadar dosa tetapi juga pengorbanan agar orang lain mendapatkan penebusan sehingga Dia mengatakan: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Oleh sebab itu, jika kita mengalami penderitaan, kita tidak boleh langsung menyalahkan Tuhan. Atau kita kemudian menjauh daripada-Nya. Kita boleh kecewa kepada-Nya sebagai manusia apalagi kalau kita sudah melakukan kebaikan-kebaikan, tetapi tetap saja ada penderitaan menimpa kita. Namun kita perlu melihat segala yang terjadi dalam hidup kita dengan mencoba berefleksi lebih dalam daripada sekadar memandang peristiwa buruk terjadi. Kita hendaknya sampai kepada pemaknaan “Salib Kristus,” sebab “Salib Kristus melemparkan cahaya yang menyelamatkan, dengan cara yang amat menyentuh perasaan, pada hidup manusia dan secara khusus pada penderitaannya, karena dengan melalui iman, maka salib menjangkau manusia bersama dengan kebangkitan: misteri Kesengsaraan Kristus sekaligus juga merupakan saksi-saksi dari Kebangkitan” (Salvifici doloris, 21). Sehingga kita perlu yakin bahwa jika kita mengalami hal yang berat dalam hidup kita, Tuhan sesungguhnya mau mengajar kita untuk lebih baik daripada saat itu. Dia mau mendidik kita untuk bisa berhadapan dengan penderitaan dan supaya kita makin rendah hati karena Dia tidak akan pernah memberikan kesulitan atau penderitaan yang lebih dari kemampuan kita sebagai manusia.
Pengasuh: Pastor Yohanes Benny Suwito – Dosen di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Surabaya dan Universitas Widya Mandala Surabaya
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi 30, Tahun Ke-78, Minggu, 28 Juli 2024