HIDUPKATOLIK.COM – “ORANG yang menabur banyak akan menuai banyak juga.” Ayat Kitab Suci (2 Kor. 9:6) ini begitu melekat di hati Florentini Deliana Winki. Bahkan ia menjadikannya sebagai landasan untuk terus berkarya melayani anak didik dengan penuh ketulusan hati. Satu keyakinannya, jika ia menabur benih yang baik, ia akan menuai hasil yang baik pula.
Sejak hampir sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tanggal 9 September 2014, ia dan salah seorang kakaknya, Florentina Dessy Elma Thyana, mendirikan Sekolah Adat Arus Kualan, sebuah pendidikan non-formal yang sarat dengan budaya Dayak. “Kami melihat ada suatu permasalahan di kampung kami, Tahak. Banyak anak yang menempuh pendidikan di kota sepertinya malu untuk mengakui identitas mereka sebagai orang Dayak. Misalnya, mereka malu menggunakan bahasa ibu, mereka tidak menonjolkan budaya mereka karena dianggap kolot dan kuno,” ujarnya.
Justru sebaliknya, bagi perempuan Suku Dayak ini, hal tersebut merupakan sebuah keunikan. Selain itu, ia juga melihat orang muda di kampungnya – yang berada di wilayah Desa Balai Pinang, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat – memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. Namun fasilitas masih sangat minim.
Meski berawal hanya dengan empat anak didik berumur empat hingga enam tahun, perempuan yang kini berusia 23 tahun ini tak pantang menyerah. Ia bersama sang kakak membuka kelas tari, musik tradisional, dan lagu daerah. Semua gratis, tanpa pungutan biaya apa pun. Bahkan ia menyediakan perpustakaan umum.
Alhasil, usahanya berbuah manis. Seiring berjalannya waktu, jumlah anak didik terus bertambah. Dan kini ada 138 anak didik berusia empat hingga 17 tahun. Mereka berada di bawah naungan 17 pengajar dan fasilitator, yang juga melayani secara sukarela. Ada sejumlah kelas yang ditawarkan Sekolah Adat Arus Kualan, yakni kelas tari tradisional, musik, permainan tradisional, meramu obat-obatan tradisional, menganyam, penanaman pohon, storytelling, memasak secara tradisional, bahasa asing – Inggris dan Mandarin, dan literasi.
Ketika bercerita tentang perjalanan awal hingga saat ini, Deli, sapaan akrabnya, mengaku menjumpai banyak suka dan duka. “Tapi saya selalu menganggap semua itu proses. Duka lebih pada beberapa orang tua yang menganggap sekolah adat ini ingin mengambil hasil. Padahal kami membangun sekolah ini secara gratis dan tidak memungut biaya. Malah setelah ada sekolah adat, anak-anak bisa sampai ke Jakarta. Bahkan bulan depan ada yang akan pergi ke Eropa untuk menampilkan budaya Dayak. Semua free, biaya kami. Sukanya banyak banget, lebih pada bagaimana kami bisa berdampak pada anak-anak di daerah kami dan kami bisa membangun kepercayaan diri mereka,” ungkap anak ketiga dari empat bersaudara ini.
Sejak beberapa tahun lalu, ia merangkul satu lagi kakak perempuan dan adiknya, masing-masing bernama Florentina Sry Dewi Wulandari dan Florentius Derssy Julian Pernndz, untuk bergabung bersama melayani anak didik. Sang adik, misalnya, mengajarkan anak didik tentang cara membuat film dokumenter.
Berkat keuletan mereka dan dukungan orang tua, Sekolah Adat Arus Kualan telah membuka tiga cabang di Kelipor, Banjar, dan Sungai Bansi. “Sekolah adat ini mengangkat tentang kearifan lokal. Dan kami selalu merasa bahwa walaupun budget kami pas-pasan, kami tetap bisa berjalan. Mungkin kalau kita menjalankannya dengan hati yang tulus, ada saja bantuan yang datang. Selama ini, Puji Tuhan, kami menjalankannya dengan ketulusan,” imbuhnya.
Katharina Reny Lestari
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 22, Tahun Ke-78, Minggu, 2 Juni 2024