HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 21 Juli 2024 Minggu Biasa XVI. Yer.23:1-6; Mzm.23:1-3a, 3b-4,5,6; Ef.2:13-18; Mrk.6:30-34
DALAM sebuah homili pada Misa Krisma di Basilika Santo Petrus di Roma (28 Maret 2013), Paus Fransiskus berkata dengan tegas, “Imam yang jarang keluar dari dirinya sendiri… kehilangan yang terbaik dari umat kita, kehilangan apa yang dapat menggugah kedalaman hati imamatnya. … Inilah alasan mengapa beberapa imam menjadi tidak puas, putus asa, dan menjadi kolektor barang antik atau barang baru – alih-alih menjadi gembala yang hidup dengan ‘bau domba’. Inilah yang saya minta dari Anda – jadilah gembala-gembala yang memiliki ‘bau domba’.”
Himbauan Paus ini mengingatkan agar para gembala gereja perlu mengenal secara mendalam mendalam dan merasakan dengan hati penuh belas kasih segala macam pergulatan dan penderitaan umat yang dipercayakan kepada mereka. Tidak mengenal, bahkan menjauhkan diri dari mereka yang digembalakan berarti menghilangkan identitas sejati seorang gembala. Yesus Kristus adalah Sang Gembala Sejati bagi para pengikut-Nya. Dialah juga yang menjadi panutan, pemandu dan pengarah para gembala yang dipilih-Nya.
Injil Markus menampilkan sekilas tetapi cukup mendalam tentang sosok Yesus sebagai gembala. Sebagai gembala, Dia siap mengalahkan rasa lelah demi mereka yang mengikuti-Nya. Dikisahkan, ketika Yesus dan para murid-Nya merasa lelah dan tidak sempat makan karena melayani banyak orang, Ia mengajak untuk istirahat sejenak di tempat sunyi. Namun, belum sampai niatnya terpenuhi, orang banyak sudah datang untuk meminta pertolongan dan mendengarkan pengajaran-Nya. Yesus tidak menolak mereka yang datang, melainkan melayani mereka. Sebab, Ia tergerak oleh belas kasihan “karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Mrk. 6:34)
Di sinilah terlihat jiwa sejati seorang gembala, yaitu perhatian dan kepedulian kepada mereka yang digembalakannya. Sebagai salah satu profesi paling tua di dunia, seorang gembala memiliki keterikatan batin mendalam dengan kawanan yang digembalakannya. Jika ada domba yang tersesat, ia akan mati-matian mencarinya supaya ia tidak mati. Sebab, domba adalah binatang yang lemah dan akan mudah menjadi mangsa serigala jika tidak segera dilindungi. Seorang gembala sering harus bertempur dan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan kawanan dombanya dengan melawan hewan buas dan berbahaya. Pada dasarnya relasi antara gembala dan domba itu sangat terjalin erat sebab mereka selalu hidup bersama.
Dalam Perjanjian Lama, Allah sering digambarkan sebagai seorang Gembala. Dalam sebuah nubuatnya, Nabi Yeremia menyerukan kritikan keras kepada para gembala bangsa Israel, yang tak lain adalah para pemimpin bangsa, yaitu raja, para elit dan para imam kerajaan. Alasannya, mereka tidak bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban mereka, lebih mementingkan diri sendiri dan membuat umat Allah yang dipercayakan kepadanya “terserak dan tercerai-berai” (Yer. 23:1-6).
Melalui mulut Yeremia, Allah mengancam akan menghukum para gembala yang tidak bertanggung jawab ini. Dia bahkan akan turun langsung sebagai Gembala bagi umat-Nya yang tidak diperhatikan oleh para pemimpin bangsa Israel dan kemudian mengangkat gembala yang baru. Intinya, Allah tidak akan tutup mata terhadap penderitaan yang dialami umat-Nya karena kelalaian dan kesalahan para gembala.
Menjadi gembala, bukan hanya tugas para uskup dan para imam dipercayakan secara resmi sebuah tugas kegembalaan terhadap umat. Ini adalah tugas semua orang yang sudah dibaptis. Jiwa seorang gembala adalah jiwa setiap pengikut Kristus. Sebab, kita semua adalah gembala bagi orang lain, meski dalam konteks yang berbeda. Ayah adalah gembala bagi keluarganya. Guru adalah gembala bagi para murid-Nya. Pengusaha adalah gembala bagi karyawannya. Sahabat adalah gembala bagi sahabatnya.
Apakah kita adalah seorang gembala yang baik atau tidak, bermutu atau tidak, itu akan terlihat dalam bagaimana kita peduli, perhatian dan bertanggung jawab atas tugas kegembalaan kita dan nasib yang dialami oleh mereka yang menjadi tanggung jawab kita. Sebagai pengikut Kristus, semoga dalam karya dan pelayanan di tengah Gereja dan masyarakat, kita dapat menjadi gembala yang bertanggung jawab.
“Imam yang jarang keluar dari dirinya sendiri… kehilangan yang terbaik dari umat kita…”
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.29, Minggu, 21 Juli 2024.