Pastor, membuka arsip beberapa paroki di Indonesia, ternyata sekitar tahun 1950, bahkan sebelumnya, Komuni Pertama diberikan kepada anak Kelas I atau Kelas II SD. Sekarang di beberapa paroki, Komuni Pertama justru diberikan kepada seorang anak Kelas IV SD atau malah setelahnya. Apa yang menjadi alasan dan syarat penerimaan Komuni Pertama sekarang ini?
Ambrosius, Jakarta
AMBROSIUS yang baik, pertanyaanmu sering disampaikan di banyak kesempatan. Sebenarnya juga sudah dijawab di pelbagai media Katolik. Betul sekali, sekitar tahun 1950 dan sebelumnya, Komuni Pertama diberikan kepada anak usia enam atau tujuh tahun.
Perlu diingat, Sakramen Baptis, Penguatan, dan Ekaristi (dalam hal ini: Komuni Pertama) merupakan Sakramen Inisiasi. Dulu ada kebiasaan, beberapa hari setelah lahir, bayi langsung dibaptis dan diberi Komuni Pertama sebagai kesatuan Sakramen Inisiasi. Jadi anak yang dibaptis langsung saja menerima komuni. Yesus mencintai anak-anak. Yesus mengatakan: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah” (Mrk.10:14; selengkapnya lihat Mrk. 10:13, 14,16)). Ada beberapa tafsir atas teks Kitab Suci ini. Ada ahli yang menafsirkan bahwa ini menjawab masalah yang dihadapi Gereja awal berkaitan dengan “boleh tidaknya” bayi atau anak kecil dibaptis dalam Gereja. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Gereja Katolik boleh membaptis bayi atau anak kecil, dengan syarat-syarat tertentu, misalnya ada jaminan dari orang tua atau wali baptis bahwa bayi dan anak tersebut dididik secara Katolik. Selain penerimaan Komuni Pertama, anak-anak juga disiapkan terlebih dulu menerima Sakramen Tobat (Sakramen Perdamaian) Pertama.
Rupanya Paus Pius X (1835-1914) mendapat inspirasi dari Kitab Suci ini, sehingga ia menerbitkan Dokumen “Quam Singulari” (Betapa Istimewanya) pada tanggal 8 Agustus 1910. Maksud dan tujuannya adalah memberi kesempatan kepada anak-anak yang telah dibaptis untuk mengalami anugerah Sakramen Perdamaian dan Komuni Pertama pada usia akal budi, yakni ketika seorang anak berumur sekitar tujuh tahun. Dokumen ini tidak pernah dibatalkan oleh seorang paus pun setelah Paus Pius X. Dokumen ini menegaskan bahwa daya kekuatan Sakramen (Ekaristi dan Perdamaian) dalam hidup manusia melampaui kesadaran dan daya nalarnya. Dokumen ini menyadarkan kita bahwa daya kekuatan Allah juga berkarya dalam diri seorang anak, kendatipun ia kurang menyadarinya. Dikatakan, “Takut akan Tuhan ialah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7; bdk. Sir. 1:4). Boleh jadi, manusia zaman ini cenderung mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian rupa sehingga manusia kurang menyadari daya kekuatan (Rahmat) Allah yang menyelamatkan dalam hidupnya.
Perlu diingat lagi bahwa Konsili Lateran (1215) mewajibkan umat beriman menerima Sakramen Pengampunan, Tobat, Perdamaian dan Komuni Pertama setelah mencapai usia akal budi. Usia akal budi adalah ketika seseorang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang jahat, tentunya dalam batas tertentu. Anak berumur sekitar tujuh tahun berada pada masa yang peka terhadap misteri agung. Pengalaman rohani yang mendalam karena persatuan dengan Yesus dalam Komuni akan menentukan perkembangan hidup iman mereka selanjutnya. Tentunya pada usia akal budi tersebut, seorang anak sudah bisa membedakan Tubuh dan Darah Kristus yang berbeda secara eksistensial dengan roti dan anggur biasa.
Dalam sejarah, para misionaris memberi Komuni kepada umat buta huruf dengan sedikit penjelasan saja. Disadari bahwa pada dasarnya manusia beriman membuka diri bagi misteri, yang mendatanginya melalui Wahyu Allah, dan itulah pengertian sejati. Kendatipun manusia mencari kebenaran melalui akal budi, tetapi kebenaran sejati dan mendalam disinari oleh iman. Paus Yohanes Paulus II (dalam ensiklik Fides et Ratio, 14 September 1998, no. 16) mengatakan, “Iman mempertajam penglihatan batin, sambil membuka budi untuk menemukan dalam arus peristiwa-peristiwa karya Penyelenggaraan Ilahi. Di situlah kata-kata Kitab Amsal tepat sekali: Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya (Ams. 16:19).”
Komuni Pertama hendaknya menjadi perayaan keluarga. Orang tua adalah pendidik utama dan penanggung jawab utama pendidikan anak. Para katekis di paroki atau sekolah hanya membantu tetapi tidak menjadi hakim yang memutuskan lulus tes ujian masuk Komuni Pertama. Usia enam atau tujuh tahun boleh dinilai telah mencapai usia akal budi. Maka Komuni Pertama boleh dipertimbangkan dirayakan pada usia enam atau tujuh tahun. Kita perlu percaya bahwa daya kekuatan Sakramen Ekaristi dalam hidup manusia lebih dari kesadaran dan pengetahuannya
Pengasuh: Pastor Jacobus Tarigan – Alumnus Universitas Gregoriana, Roma, dan Dosen Liturgika STF Driyarkara, Jakarta
Majalah HIDUP, Edisi 25, Tahun Ke-78, Minggu, 23 Juni 2024