HIDUPKATOLIK.COM – TEPAT pada hari Rabu, 26 Juni 2024, Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) genap berusia seratus tahun alias seabad. Didirikan di Yogyakarta oleh R.A. Sulastri, organisasi kemayarakatan ini kini menjadi “pohon” yang rimbun, bertumbuh dan berbuah.
Tetapi, dalam refleksinya, Ketua Presidium Dewan Pimpinan Pusat (DPP) WKRI, Elly Kusumawati Handoko, masih banyak hal yang perlu dibenahi di tubuh ormas tertua di lingkungan Gereja Katolik Indonesia ini. Kepada HIDUP, ia juga menyampaikan alasan mengapa puncak perayaan digelar di gedung sekolah Marsudirini di Yogyakarta. Berikut petikan wawacara secara digital pada hari Jumat, 14/4/2024:
Sebagai pribadi, bagaimana Anda memaknai perayaan satu abad ini?
Saya melihat ini sebagai ungkapan rasa syukur dan satu hal yang membanggakan. Ternyata organisasi yang saya ada ikut terlibat di dalamnya, bisa terus ada sampai dengan satu abad ini; dengan pelbagai macam perjuangan dari masa ke masa, peran perempuan diperlukan, dibutuhkan, berarti, dan diminati perempuan-perempuan Katolik yang lain. Dalam kunjungan ke daerah, proses kaderisasi terus ada. Saya berjumpa dengan perempuan-perempuan Katolik yang yang usianya lebih muda dari saya. Rupanya mereka berminat. Pasti ada sesuatu yang membuat mereka tertarik; sesuatu yang membuat mereka kagum sehingga mereka ingin masuk menjadi anggota. Bahkan di daerah-daerah itu sudah ada yang usia sekitar 20-21 tahun.
Apa yang membuat Anda tartarik masuk di usia muda dulu?
Tentunya ada satu teladan yang dibuat oleh Ibu saya sendiri. Di tengah-tengah kesibukannya bekerja, suatu hari, waktu itu saya masih mudika, saya lihat sebagai WKRI Cabang sibuk pelayanan untuk peningkatan gizi balita. Saya lihat dia begitu sibuk memeprsiapkannya. Berbagi untuk masyarakat di sekitar gereja.
Waktu itu saya berpikir, suatu saat ingin menjadi anggota WKRI. Waktu itu malah kayak ada sesumbar, kelak aku mau menjadi ketua WKRI. Ketika sekarang menjadi Ketua Presidium, saya menjadi sadar bahwa kata-kata itu bisa menjadi sesuatu. Ucapan itu teryata adalah doa. Ucapan saya itu teringat saat saya terpilih menjadi Ketua DPD Keuskupan Purwokerto. Waktu di DPD saya tidap pernah terpikir untuk di tingkat nasional seperti sekarang ini. Saat terpilih pada Kongres tahun 2023, ucapan itu ingat kembali.
Itu tadi, makna untuk pribadi. Bagaimana anggota WKRI memaknai ini. Pas pada periode Anda ini, perayaan seabad terjadi? Taglinenya “Lahir Kembali, Semakin Berati?”
Selain seperti saya sampaikan tadi, WKRI ini sudah mampu berkarya di lingkup Gereja pun di NKRI ini bagi masyarakat, di tiap-tiap daerah khususnya. Itu yang pertama. Yang kedua, saya ingin mengajak teman-teman anggota merefleksikan nilai-nilai asali keberadaan WKRI. Kelihatannya sangat umum tapi ini, ini perlu kami lihat kembali sebagai penyegaran. Juga, saya harap, ini menjadi gerak bersama, di mana pun kami berada, untuk meningkatkan kualitas, mengembangkan karya. Selama ini, kami sudah memiliki atau melaksakan karya dengan baik. Tapi, dengan lahir kembali, harapannya, kami mempunyai suatu karya yang lebih baik lagi; sesuatu yang bisa dilakukan lebih banyak lagi kalau mungkin selama ini masih sedikit, atau lingkupnya masih kecil.
Berikutnya, kami ingin mempromosikan kembali WKRI untuk para remaja dan perempuan Katolik muda. Maskot kali ini namanya Tana (singkatan dari Santa Ana). Kami menyadari calon-calon anggota kami ini dari generasi Z. Dengan maskot itu, kami ingin menyampaikan bahwa meski WKRI sudah tua, tapi kami masih tetap update; mengikuti perkembangan zaman.
Jadi pemahaman lahir kembali itu bukan seperti pemahaman Nikodemus bahwa masuk lagi ke rahim lalu keluar lagi. Tetapi, sejauh mana kami sudah menghidupi prinsip-prinsip asali WKKRI itu, asih, asa, asuh. Pun, solidaritas dan subsidiaritas. Jangan sekadar manis di bibir.
Bolehkah Anda sebutkan salah satu contoh tonggak bahwa selama 100 tahun ini, WKRI sudah berbuat sesuatu.
Untuk karya kesehatan dan pendidikan, sebetulnya sudah banyak sekali yang sudah dibuat. Mungkin tidak secara langsung diwadahi organisasi. Kami memiliki Yayasan Dharma Ibu. Di beberapa daerah, kami memiliki sekolah-sekolah. Mulai dari PAUD hingga SMA. Sekolah-sekolah itu bukan hanya untuk warga Katolik. Banyak untuk masyarakat luas. Salah satu PAUD di Kutoarjo, semua anak-anak yang sekolah di situ, anak-anak tukang bangunan, tukang becak. Di daerah-daerah lain ada juga seperti di Jawa Timur, DIY, Jawa Barat, Jakarta. Bidang kesehatan, kerap kali kami melakukan pelatihan dan pemeriksaan kesehatan bagi kaum perempuan, masyarakat. Ini sering dilakukan oleh teman-reman WK di daerah. Biasanya ada kerja sama dengan rumah sakit setempat. Di beberapa daerah ada juga penanganan stunting. Kadang kami memberi bantuan walau tidak bisa secara kontinu. Ini yang teman-teman lakukan di daerah secara berkesinambungan dan merata. Mereka malakukan itu secara berjejaring dan pelbagi acara.
Kami juga pernah mendapat pengakuan dari Pemerintah. Pengakuan bahwa WKRI turut berperan dalam pembangunan setelah kemerdekaan. Di masa pandemi, perempuan-perempuan Katolik tergabung dalam “Dari Ibu untuk Indonesia” karena semua berperan. Pengadaan masker, asupan makan. Itu program-program yang menyangkut toleransi.
Dari pengalaman Anda selama bergabung dengan WKRI dan sekarang menjadi pucuk pimpinan WKRI, persoalan apa yang Anda lihat melilit kaum perempuan dan menjadi fokus perhatian WKRI?
Sekarang ini, isu kepedulian dan keprihatinan terhadap kaum perempuan, atau ibu dan anak. Dari waktu ke waktu sejak WKRI didirikan sampai sekarang masih terus-menerus bergulir dan diperjuangkan. Tampaknya ini akan terus menjadi perjuangan sampai akhir hayat dikandung badan. Apalagi dengan kemajuan teknologi ini. Bagaimana pengaruh negatif teknologi. Meskipun, kita tetap bisa mendorong kaum perempuan mengikuti perkembangan IT. Namun, mau tidak mau itu menimbulkan keprihatinan apabila teknologi disalahgunakan. Seperti isu-isu yang terjadi belakangan ini. Seorang ibu menjual dirinya dengan anaknya, dan lain sebagainya. Ini sungguh-sungguh menjadi keprihatinan dan diperjuangkan. Bagaimana memberikan edukasi, memberikan suatu pemahanan kepada mereka. Kekerasan seksual terhadap anak. Sekarang, di satu sisi sudah banyak perempuan menjadi pintar, menjadi lebih sehat, menjadi lebih baik, tapi di sisi lain, masih banyak keprihatinan lain yang harus diperjuangkan.
Ke depan, apa prioritas yang menjadi perhatian?
Pertama, kami akan tetap fokus pada pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan dimulai dari keluarga sebagaimana Bapa Paus juga berpesan demikian. Kedua, pendidikan karakter anak sejak dini. Pendidikan nilai-nilai dalam mengedapankan kasih dalam lingkungan yang lebih luas. Ketiga, peningkatan kesejateraan keluarga dengan memberikan pelatihan-pelatihan kaum perempuan supaya juga bisa membantu ekonomi keluarga. Berjejaring dengan pemerintah dan karya Gereja yang mengangkat UMKM.
Keempat, peningkatan pengetahuan tentang IT supaya makin bijaksana karena itu bisa jadi bumerang sendiri bagi ibu-ibu, atau hedonis. Padahal dengan IT itu bisa lebih banyak belajar lagi. Kelima, membangun kembali rumah aman (shelter) bagi perempuan korban kekerasan. Dalam hal ini, di tingkat nasional kami akan bekerja sama dengan Yayasan Dharma Ibu Pusat (YDIP). Itu dulu menjadi karya, namun untuk beberapa waktu tearakhir terhenti. Yayasan ini tetap melekat kepada organisasi di struktur yang sama. Harapannya, dengan Yayasan ini kami lebih bisa diterima masyarakat, berjejaring dengan banyak pihak dalam bidang pendidikan, kesehatan.
Itu berarti tidak lagi berkarya sekitar altar gereja ya?
Ranahnya WKRI adalah di pasar. Tidak lagi di seputar altar. Itu beberapa kali saya tegaskan dan menyampaikan di daerah. Di pasar kita bertemu dengan begitu banyak masyarakat dengan pelbagai macam golongan, suku, dan lain-lain.
Saya masih ingat, pernah dikatakan oleh Uskup kami, waktu saya masih di DPD di Keuskupan Purwokerto, Mgr. J. Sunarko, SJ. Ia mengatakan, WKRI menjadi wajah Gereja di tengah masyarakat. Bagi saya, itu sangat luas artinya. Tentunya, dengan ini bisa menginspirasi teman-teman di semua daerah. Ini yang menjadi karya kita sebenarnya. Karya kita ada di sana. Bahwa kita menjadi wanita atau perempuan Gereja Katolik, itu benar. Kita berkarya di sekitar altar, menjadi anggota komunitas basis, linkungan, paduan suara, dan kelompok lain. Namun, pada saat kita mengenakan seragam WKRI, harapannya kita berkarya di luar Gereja.
Tampaknya para anggota WKRI masih sulit melepaskan diri dari karya di sekitar altar itu. Apa pendapat Anda?
Harapan kami semua, sesudah 100 tahun ini, bisa membuka wawasan betul-betul terbuka. WKRI tidak perlu merasa kecewa atau marah kalau tidak diberi tugas di gereja. Itu memang tidak bisa dihintari. Namun, kami ingin membawa suatu pemahaman atau perubahan, kami ingin ke sana. Untuk bekerja dengan ormas perempuan agama lain sebetulnya sudah banyak dilakukan di daerah-daerah baik di tingkat provinsi, kebupaten, pun kecamatan. Beberapa daerah sudah malah sangat bagus.
Mengapa perayaan 100 tahun digelar di Marsudirini, Yogyakarta, tempat pertama kali WKRI didirikan oleh Ibu Sulastri?
Kami ingin merefleksikan apa yang diperjuangkan pendiri, Ibu R. A. Sulastri saat mendeklarasikan lahirnya organisasi ini. Bagaimana beliau menunjukkan suatu keprihatinan terhadap situasi atau perlakuan terhadap kaum perempuan saat itu. Apa yang dilakukan Ibu Sulastri itu ditujukan kepada masyarakat di luar Gereja. Semoga inspirasi awal ini juga menggugah kami semua.
Hasiholan Siagian
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.26, Tahun Ke-78, Minggu, 30 Juni 2024