HIDUPKATOLIK.COM – Pesan telepon dari seberang, “Ada titipan dari Romo Magnis untuk Anda. Silakan datang ambil.”
Saya termasuk beruntung pernah mengikuti kuliah-kuliah Romo Magnis lengkapnya Pastor Franz Magnis-Suseno, SJ. Sudah jadi kebiasaannya apabila selesai memaparkan topik kuliah, pada lima belas menit terakhir ia membentangkan tangannya, “Ada pertanyaan?” siap menerima gempuran. Bila datang pertanyaan yang sulit dan tajam, justru itu yang amat disukai dan dipujinya.
“Ini pertanyaan menarik!” Begitu selalu reaksi awalnya Kemudian memaparkan jawabannya. Bisa jadi pertanyaan kritis mahasiswa itu merupakan sumber inspirasinya menulis artikel atau bab sebuah bukunya. Ini antara lain yang membuatnya tidak pernah berhenti menulis. Karena keterbukaan untuk diserang dengan antitesis merupakan tanda tetap hidupnya langkah kemajuan ilmu pengetahuan untuk maju lebih jauh dengan sintesis baru.
Teladannya sebagai guru tidak semua muridnya mengikuti, yaitu hidup yang tertib dan displin keras tehadap diri sendiri, tetapi tapi toleran pada orang lain yang tidak disiplin. Ia mencintai orang lain seperti diri sendiri yang dijaga dengan jogging 3 kali seminggu, sehingga selalu bugar dan gesit, tak pernah sakit hingga mencapai jusia 80. Pasca 80 baru terdengar ia kena serangan jantung dan operasi lutut.
Demokrasi
Romo Magnis, memang sejak dulu mengharap Indonesia makin lama makin demokratis. Ada sebuah peristiwa kecil menandai hal itu di tahun 1994, 30 tahun silam di era Orde Baru. Suatu hari, Mochtar Lubis pemimpin di Yayasan Obor Indonesia memilih dari sebuah buku besar yang baru diperoleh izin terjemahannya, belasan teks-teks (tidak semua) bertema demokrasi, mulai dari Plato, Aristoteles, John Locke, Rousseau, Tocquecille, hingga Martin Luther King. Maka jadilah buku yang diberinya judul, “Demokrasi: Klasik dan Modern”
Kepada saya, editornya, dia datang dan berkata, “Coba rancang kovernya yang warna merah dan orang yang lagi kepal tinju ya, biar nanti buku ini dilarang oleh Orde Baru, hahaha.”
“Apa tidak takut, bila kover yang provokatif nanti dibreidel seperti dulu koran Indonesia Raya yang Pak Mochtar pimpin?”
“Ada dua alasan. Bila dibreidel, itulah yang kita mau. Rakyat nanti akan menoleh, dan mencarinya di pasar gelap, dan buku ini pasti akan dicari, difotokopi dan beredar dari tangan ke tangan. Diseminasi pikiran-pikiran tentang demokrasi akan terbantu penyebarannya. Kedua, soal dibreidel koran lain dengan buku. Bila koran, kapalanya ditenggelamkan seluruhnya, bila buku, hanya buku itu yang ditenggelamkan, penerbitnya tidak. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan”. Buku itu tidak pernah dibreidel, atau penerbit diberi peringatan.
“Soeharto pinter juga, dia tahu maksud-maksud kita”, kata Mochtar sambil tertawa.
Hubungannya dengan Romo Magnis ini. Beberapa waktu setelah terbit buku itu, ia sebagai ahli filsafat merasa perlu perlunya menulis resensi buku itu di harian Kompas. Ini tentu menjadi kejutan bagi kami penerbit. Dalam tempo dua tahun buku itu yang dicetak 3000 habis. Pada edisi kedua, pengantar Romo Magnis kami sertakan sebagai Pengantar II. Kritik yang disampaikan, ada beberapa tokoh demokrasi lain yang lewat, tidak masuk. Sumber dari mana diperoleh perlu disebut. Terjemahan lumayanlah bisa dipahami,
Masih ada dua buku berat yang kemudian Romo Magnis diminta memberikan pengantarnya, Asal Usul Totalitarisme, Jilid 3 oleh Hannah Arendt, dan epilog 150 tahun Darwin, Origin of Species.
Etika
Dalam etika, saya memilih jalan lain, mendalami etika bapaknya Utilitarianisme, yaitu Jeremy Bentham, lawan dari filsafat Kantian yang Romo Magnis anut. Tapi tak apa, sebab tokoh filsafat Utilitarian ia ajarkan kepada mahasiswa juga untuk melihat panorama konstelasi perdebatan filosofis. Tilsafat itu tidak lain adalah “pertengkaran tanpa akhir berbagai pemikiran-pemikiran yang pernah muncul dalam peradaban manusia, yang untuk kepentingan tertib sistematisasi ditaruh dalam beberapa kamar besar: ontologi/metafisika, epistemologi, etika, estetika.
Etika Utilitarian yang teleologis adalah musuh terbesar etika Kant yang deontologis. Katanya, “Etika Utilitarian, adalah etika paling primitif, karena mengajarkan, bahwa perilaku setiap orang dapat diterangkan sebagai “carilah nikmat dan hindari sakit”, prinsip seek pleasure and avoid pain”, yang menurutnya adalah sejenis “pig ethics”.
Namun ada satu sekoci penyelamat sisi normatifnya yaitu melalui Etika Utilitarisme Peraturan, yang berkata: “Buatlah keputusan yang membahagiakan dan memberi manfaat kepada sebanyak mungkin orang” (The Greatest Happiness of the Greatest Number”). Itulah yang membuat saya, banyak setuju dengan posisinya saat menjadi saksi di MK. Bahwa lembaga negara, DPR wajib hukumnya untuk bersikap sebagai negarawan yang adil bijaksana, sehingga harus melahirkan aturan aturan perundang-undangan yang berguna bagi rakyat banyal (meski tidak bisa memuaskan semua).
Di Mahkamah Konstitusi
Maka terhadap kebijakan politik negara, Etika Kant tetap dibawanya terus. Karena secara telanjang tidak sejalan dengan suara hati, meski itu datang dari pucuk pimipin negara, secara moral dilawan seperlunya, bahwa negara ini sedang terancam untuk dikelola seperti cara mengelola “mafia” dan perilaku pejabat negara mirip seperti “pencuri oleh penjaga toko sendiri”.
Begitu pun terhadap putusan MK, baik No 90 maupun putusan selanjutnya yang memenangkan Prabowo-Gibran, meski dikalahkan oleh utusan MK, Romo Magnis tetap pada pendiriannya. “Penetapan seseorang sebagai cawares yang dimungkinkan secara hukum, dengan suatu pelanggaran etika,berat, merupakan pelanggaran etika berat,” tegasnya.
Drama yang terjadi di MK dari sudut filsafat sebenarnya menghadirkan kembali suatu perdebatan abadi antara penganut hukum kodrat versus penganut positivisme hukum.
Romo Magnis dapat dikatakan menganut hukum kodrat yang akar-akarnya datang dari mulut St. Agustinus yang di era modern disuarakan kembali oleh Martin Luther King, Jr, bahwa “hukum peraturan yang tidak adil itu bukanlah hukum, maka perlu pembangkangan sipil untuk mengoreksinya”.
Sementara kaum positivistik, yang dianut rata rata hakim dan pengacara era sekarang lain lagi posisinya, “mau adil tidak adil, apa yngg tertulis itulah hukum yang berlaku, dan kita harus patuhi sebagai aturan main hidup bersama, itulah jaminan kepastian hukum agar negara ini tidak jatuh dalam chaos dan anarki”. Itulah tesis dan anti tesis yang sengit.
Hakim hakim MK sebagai pihak ketiga yang imparsial wajib membuat sintesis. Sintesis para hakim MK itu, oleh sebagian masyarakat masih dianggap keliru, meski tetap diberlakukan sebagai final and binding (terakhir dan mengikat).
Tanda Mata
Suatu hari di tahun 2009, waktu masih kuliah S-2 di STF Driyarkara, kami membaca buku Romo Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Di bagian kesimpulan suatu bab, kami terkesan dan berhenti agak lama. Kami perhatikan, pesannya lumayan menghentak, bahasanya berirama dan kalau ditulis secara patah-patah mirip puisi.
Maka terbit ide menyuratinya, meminta untuk sudi menuliskannya kembali dengan tangan. Tidak untuk apa-apa. Hanya sebagai tanda mata. Sebab pastilah akan sangat bernilai bagi generasi penerus 20 atau 30 tahun lagi.
Surat permintaan, kami taruh di kotak surat pintu kamarnya. Ia ada di dalam, tetapi kami terus berlalu, tak ingin mengganggu sosok penuh disiplin itu, dengan memberi pengantar lisan surat itu sudah mengantarkan dirinya sendiri. Bila dirasa penting pastilah ia akan menjawabnya.
Tiga bulan kemudian kami ditelepon sekretariat dengan pesan, “Ada titipan dari Romo Magnis untuk Anda. Silakan datang ambil”.
Kami datang, diberi map berisi dua lembar tulisan. Satu dengan tinta lembut, satu dengan tinta biru. Di sini kami pilihkan yang biru. Bersebab isinya persis sama. Kami menerimanya dengan rasa haru. Semoga suatu hari menginspirasi generasi muda bangsa. Hari ini waktunya telah tiba untuk menyingkapkannya.
Th Bambang Murtianto, Alumni S-1 STF 1991
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 21, Tahun Ke-78, Minggu, 21 Mei 2024