HIDUPKATOLIK.COM – JIWANYA selalu meronta tatkala ia melihat banyak hal yang mengganggu pikirannya. Kelegaan pun terasa jauh dari lubuk hatinya manakala segala keresahannya belum tergores dalam rangkaian kata-kata indah. Puisi menjadi pilihannya. Baginya, puisi sudah mendarah daging. “Jika semua sudah mengalir di dalam nadimu, mengapa kamu ribut mencari ke mana,” ujarnya.
Ia adalah Julia Utami, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Santa Ursula Jakarta. Kelahiran 28 Mei 1972 ini telah lama menggeluti dunia sastra, khususnya puisi, dan telah menulis tujuh buku sejak tahun 2016.
Karya tunggal terbarunya, “Buku Kumpulan Puisi: Mata Ibu,” terbit pada tanggal 7 Februari 2024. Ada 104 puisi yang ia tulis dalam buku setebal 232 halaman ini. “Sebetulnya buku ini saya tulis setelah ibu saya meninggal pada tanggal 9 September 2022,” kenangnya. Ibunya meninggal pada usia 83 tahun saat menjalani operasi pasang ring kedua.
Di balik kedukaan ini, ada hikmah yang ia petik. Pasca kepergian abadi sang ayah, ibunya enggan meninggalkan kampung halaman di Lampung. Namun penyakit jantung akhirnya membawa ibunya ke Jakarta untuk menjalani pengobatan di sebuah rumah sakit.
Selama tinggal di kediamannya, ibunya banyak bercerita tentang masa gadisnya dan perjuangannya. “Semua yang saya dengar saya kisahkan dalam buku ini dengan tujuan untuk memberi tahu anak-cucu, ‘ini loh Ibu dan Eyang kalian yang begitu heroik,’” imbuhnya. Heroik menjadi kata pilihannya karena ia melihat sosok sang ibu sebagai pribadi yang bisa melakukan apa saja, mulai memasak hingga bertani.
Selain karya tunggal – baik puisi maupun novel, istri dari Daniel Boli Kotan ini juga telah menerbitkan 350 karya bersama yang diterbitkan oleh Aksi Swadaya Menulis dari Rumah. Salah satunya berjudul “Haiku dan Tanka.” Bekerja sama dengan pendiri rumah penerbitan indi – Kosa Kata Kita, Kurniawan Junaedhie, ia berperan sebagai editor dalam komunitas yang menaungi lebih dari 1.000 penulis ini.
Salah satu tokoh yang berperan penting dalam pengembangan ketrampilan sastranya adalah sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Sementara seorang tokoh lainnya, J.B. Kleden, menjulukinya “Penyair Kereta.” Julukan ini tak lepas dari kisah awal ketika ia menulis beberapa puisi selama perjalanan dari Citayam menuju tempat kerjanya di Jakarta dan kemudian mengunggahnya di media sosial. Ternyata banyak orang menyukai karyanya. “Hape senjata saya. Dalam perjalanan berangkat ke Jakarta saya bisa membuat tiga puisi. Pulang tiga puisi. Satu hari enam puisi. Yang di-upload dalam tiga bulan saja sudah berapa ratus puisi,” ungkapnya.
Meski demikian, sebagai seorang guru, ia tetap memperhatikan batasan. Tidak semua hal ia bisa tulis. Namun ia terus mendorong anak didiknya untuk berani menulis. Ia tidak melepas mereka begitu saja. Ia mendampingi mereka hingga mereka dapat menghasilkan karya dalam sebuah kolaborasi yang solid. “Saya menanamkan dalam diri anak-anak bahwa menulis adalah melukis keabadian,” ujarnya.
Ia terinspirasi oleh pernyataan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Ada memori tak terlupakan. Ibu dua anak ini membacakan puisi karya Presiden Soekarno berjudul “Aku Melihat Indonesia” di hadapan Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 Desember 2019. Selain itu, ia pernah mengikuti lawatan sastra ke Brunei Darussalam bersama beberapa guru.
Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 20 April 2024, ia membacakan sebuah puisi di hadapan para guru besar Universitas Indonesia dalam sebuah pertemuan daring.
“Budaya saya adalah buku-buku ini hadiah ulang tahun saya. Self-reward. Saya mempersiapkannya menjelang ulang tahun saya,” pungkasnya.
Katharina Reny Lestari
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 17, Tahun Ke-78, Minggu, 28 April 2024