HIDUPKATOLIK.COM – Sosiologi baginya menjadi sosiologi transformatif, berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat lewat keberpihakan mengatasi ketidakadilan sosial
NAMA lengkapnya Prof. Dra. Francisia Sika Ery Seda, MA, Ph.D. Ery Seda adalah sebutan dalam berbagai forum, ruang kuliah, makalah, buku maupun kehidupan sehari-hari. Dikenal sebagai sosiolog yang supersibuk, meskipun bergelar profesor sejak 6 Desember yang lalu, Ery tetap gesit, ceria, dan tidak pelit berbagi informasi.
Acara pengukuhan sebagai guru besar bidang studi pembangunan FISIP Universitas Indonesia (UI) di Balai Sidang UI, Depok berlangsung semarak. Kecuali Prof. Ery, dalam acara yang sama juga dikukuhkan sebagai guru besar Prof. Dr. Donna Asteria. Ery menyampaikan pidato berjudul “Kemiskinan, Eksklusi Sosial, dan Social Well-being Perspektif Studi Pembangunan”. Dalam acara yang dipimpin Rektor UI Prof. Ari Kuncoro ini, hadir Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dan Uskup Maumere Mgr. Ewaldus Martinus Sedu.
Masalah Mendasar
Di suatu pagi, dari sekian perjumpaan dalam berbagai kegiatan, kami bertemu di Kantor Yayasan Atmajaya, Semanggi, satu minggu sebelum promosi. Ery berkisah tentang proses perjuangannya menuju gelar guru besar yang selalu berganti-ganti peraturan, materi masalah kelompok marginal utamanya kemiskinan sebagai komitmen studi penelitiannya selama ini sebagai sosiolog. Cita-cita awalnya, begitu lulus SMA, ingin belajar bahasa Perancis. “Saya bermimpi menjadi penerjemah di markas PBB, New York. Maka saya ambil pilihan masuk jurusan bahasa Perancis,” kata Ery. “Sama seperti Nessa, adik saya yang belajar bahasa Cina dan dosen sinologi.”
Bapaknya, Frans Seda, bertanya, “ngapain belajar bahasa?” Ia lantas memberi anak sulungnya itu buku Pengantar Sosiologi dalam bahasa Belanda, tulisan P. J. Bouman, salah seorang dosennya di Universitas Tillburg. “Saya baca habis buku itu, apalagi dalam bahasa asli, Belanda,” kata Ery. Ketika mengikuti tes masuk ke UI, Ery majukan dua pilihan. Pilihan pertama sosiologi dan kedua bahasa Perancis. Keduanya lolos, dia pilih sosiologi.
“Dua tahun kuliah, saya tetap tidak ngerti kegunaan sosiologi untuk mengkaji masyarakat. Baru pada tahun ketiga, mulai ambil fokus sosiologi masalah ketidakadilan sosial, terutama kemiskinan.”
Mengapa kemiskinan? “Saya yakin kemiskinan itu ada di mana-mana dan di negara mana pun. Kemiskinan merupakan masalah mendasar dan universal.” Bapaknya mendorong dan menguatkan motivasi Ery. Diingatnya pesan, “Jangan pernah mulai belajar tentang masyarakat kalau tidak peduli dan tidak berpihak pada mereka yang mengalami ketidakadilan sosial.”
Ada peristiwa mengesan dan menguatkan niatnya mendalami masalah kemiskinan. Di bulan Februari 1989, pertama kali menginjakkan kaki di New York yang saat itu berselimut salju, lelah, jet–lag dari penerbangan panjang, belum sempat berganti baju, Ery diajak bapaknya langsung pergi. Ke permukiman kumuh yang tidak dia bayangkan sebelumnya. “Selamat datang di Harlem, New York,” bisik bapaknya.
Pengalaman yang berkesan itu menguatkan dan semakin memotivasi Ery. Ia semakin yakin pilihan fokus akademisnya. Bahwa sosiologi tidak sekadar ilmu mengkaji kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga menuntutnya mengambil positioning keberpihakan yang diawali oleh kepekaan, pada komunitas-komunitas marginal, kelompok masyarakat yang rentan terpinggirkan dan terekskusikan. Merekalah kelompok masyarakat yang mengalami ketidakadilan sosial. Sosiologi baginya menjadi sosiologi transformatif, berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat lewat keberpihakan mengatasi ketidakadilan sosial.
Ery kurang setuju pendapat bahwa sosiologi hanya bisa membuat eksplanasi kondisi sosial masyarakat dan tidak mampu menyampaikan solusi atau jalan keluar. Melainkan sosiologi juga mampu membuat dan menawarkan solusi. “Di sini pentingnya menempatkan kemiskinan sebagai eksklusi sosial yang dilanjutkan dalam kebijakan sosial inklusif untuk melakukan social bargaining dalam kebijakan pemerintahan. “Sayang dalam wacana menjelang pilihan pemilu ini, ramai dibicarakan tentang demokrasi tetapi tidak ada pasangan capres-cawapres yang menyampaikan visi mereka tentang kesejahteraan/kebaikan umum, bonum commune”.
Pernyataan Ery ditegaskan dalam pidato pengukuhan. “Keberpihakan dalam suatu penelitian ilmiah tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah. Pendekatan metode ilmiah memang harus sesuai kaidah ilmiah, tetapi positioning peneliti dalam suatu penelitian adalah signifikan dan relevan.” Mengenai studi perspektif pembangunan, Ery menegaskan tentang perspektif pembangunan alternatif dengan penekanan dinamika Relasi Triangulasi negara, pasar, masyarakat. Dia berharap studi dalam konteks perspektif ini, dapat berkontribusi dalam pemberian solusi yang nyata terhadap permasalahan sosial.
Keberpihakan pada Korban
Dalam konteks kehidupan iman Katolik, Ery menemukan titik temu antara sosiologi dan Ajaran Sosial Gereja. Berbela rasa dan keberpihakan. Ajaran Sosial Gereja, terutama setelah Konsili Vatikan II, ditegaskan dengan ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis (Keprihatinan akan Masalah Sosial), tahun 1987. Solidaritas adalah tekad kuat untuk memperjuangkan kesejahteraan umum. Dalam penutup ensiklik, Paus menegaskan kembali sikap mengutamakan kaum miskin: optio atau amor praeferentialis pro pauperibus. Selama bertahun-tahun penegasan ini menjadi magnet sikap preferensial Gereja, yang kemudian diperluas dalam bingkai ketidakadilan sosial, juga terhadap lingkungan hidup masalah yang disegarkan kembali dan dipertegas dalam ensiklik Laudato S’ (Terpujilah Engkau) tahun 2015 dan Fratelli Tutti (Semua Saudara) tahun 2020 oleh Paus Fransiskus.
Ery menyadari sosiologi dan ajakan keberpihakan pada kelompok korban ketidakadilan, baik karena struktur maupun karena kondisi sosial ekonomi. Konkretnya, “kesalehan pribadi, perlu disertai atau dilanjutkan dengan kesalehan sosial.” Berdoa dan bekerja, ora et labora, harus dipadukan, sehingga bekerja adalah ibadah. Sebagai sosiolog dan akademisi, dengan mengajar, meneliti, menulis dan menjalani pengabdian masyarakat, tridarma Perguruan Tinggi, ia melakukan kajian akademis sebagai bagian dari upaya ikut serta mewarnai, memupuk, dan menyampaikan bahan untuk kebijakan yang berorientasi pada peningkatan penghargaan bagi korban ketidakadilan sosial.
Menjalani kehidupan sehari-hari dengan kesibukan luar biasa, Ery terus-menerus menjaganya dengan prinsip discernment (ketajaman memilah-milah dan memilih), sehingga menentukan mana prioritas, agak prioritas, dan tidak. Kebiasaan itu dia hidupi sejak kecil, terlatih berkat teladan orangtua, terutama dari bapaknya. “Sejak kecil, bapa memperlakukan kami berdua dengan penuh kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian,” kenang Ery tentang almarhum Frans Seda yang meninggal tahun 2009.
Tidak tertarik bidang politik, masuk partai misalnya? “Wuih, bapa dulu tertarik masuk politik, awalnya Partai Katolik karena kekaguman beliau pada Mgr. Djojoseputro, SJ; Mgr. Leo Soekoto, SJ; dan Pak Kasimo,” jawab Ery. Ia tidak menjawab langsung pertanyaan ketertarikan tidaknya ke bidang politik praktis. Tetapi dengan menyebut tiga tokoh yang dikagumi Frans Seda, Ery menunjuk sikap tegak lurus ketiga tokoh itu dalam sikap dan tindakan mereka. “Bapak saya juga bersikap tegak lurus, dengan tetap menjaga prinsip dasar dan kelenturan cara, bisa bekerja sama sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Megawati.”
Praksis pemerintahan saat ini, menurut Ery Seda, sangat pragmatis. Kesejahteraan umum dinomorsatukan, sehingga prinsip link and match dalam kebijakan pendidikan misalnya, diutamakan kegunaan lulusan untuk kebutuhan lapangan kerja. Pragmatis. Karena itu berbagai kebijakan pun diarahkan ke sana. Calon S1 sekarang bisa pilih tulis skripsi atau laporan proyek. Skripsi membuat calon sarjana bekerja ekstra, dan memang harus begitu, sebab S1 adalah tahap awal menuju S2 dan berikutnya S3. Perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan pekerja tetapi juga lembaga pengembangan ilmu pengetahuan.
Mengenai gelar profesor kehormatan sebagai penghargaan pada kegiatan politik, menurut Ery, di kalangan teman-teman sesama dosen, jadi pertanyaan. “Tidak pernah mengajar kok diberi gelar guru besar.” Indonesia saat ini satu-satunya yang menganugerahi gelar profesor kehormatan. Negara lain tidak ada, kecuali doktor kehormatan. Anehnya lagi dalam beberapa kasus gelar profesor kehormatan dicopot oleh kementerian, sementara gelarnya diberikan oleh lembaga pendidikan tinggi.
Francisia Saveria Sika Ery Seda
Lahir : Jakarta, 3 Desember 1962
Orangtua : Franciscus Xaverius Seda (+)
Johanna Maria Pattinaja Seda (+)
Adik Joanessa M. J. S. Seda
Pendidikan:
- S1 Sosiologi FISIP UI, 1987
- S2 Asian Studies Cornell Univesity, Ithaca 1989
- S3 Development Studies, University of Wisconsin-Madison, 2001
Pekerjaan :
- Pengajar di FISIP UI, sejak 1990
- Ketua Pascasarjana Sosiologi FISIP UI, 2005-2008
- Ketua Dewan Redaksi MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 2008-2016
- Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2017-2020
- Sebagai narasumber dalam berbagai pertemuan ilmiah sosiologi, aktif melakukan beragam penelitian, duduk dalam berbagai yayasan, seperti STF Driyarkara, Bhumiksara, dan Unika Atmajaya Jakarta, Bina Swadaya
Karya Publikasi:
- Petroleum Paradox: Natural Resources and Development in Indonesia 1967–1997, UI Press, 2014
- Perempuan: Perspektif Sosiologi Gender, UI Press 2016
St. Sularto