HIDUPKATOLIK.COM – PADA Jumat, 22 Maret 2024, beredar viral dua video penyiksaan warga Papua yang diduga dilakukan oleh oknum anggota TNI dengan cara yang sangat kejam. Dua video tersebut menambah panjang daftar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua. Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengutuk keras dugaan penyiksaan tersebut lewat Press Release 23 Maret 2024 yang ditandatangani Sekretaris KAJ Romo V. Adi Prasojo. KAJ mengutuk keras terjadinya penyiksaan tersebut karena jauh dari nilai-nilai moral dan ajaran cinta kasih dalam agama, melanggar prinsip kemanusiaa yanga dil dan beradab serta merendahkan harkat dan martabat manusia Indonesia yang dilindungi oleh konstitusi.
Media Seputar Papua tanggal 25 Maret 2024 mengabarkan bahwa Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Inf. Candra Kurniawan menyatakan telah menemukan bukti awal dugaan adanya prajurit TNI yang telah melakukan kekerasan di Distrik Gome Kab. Puncak pada tanggal 3 Februari 2024. Ada 8 orang anggota TNI dari Satgas Pengamanan Perbatasan Yonif Rider 330/Braja Wijaya yang sudah selesai tugas di Papua dan kini sudah ditahan Pomdam III/Siliwangi untuk menjalani pemeriksaan dan proses hukum.
Solusi bagi Keadilan dan Perdamaian
KAJ mendorong upaya investigasi yang menyeluruh demi keadilan dan hukum. KAJ juga mendorong upaya dialog damai sebagai jalan paling bermartabat untuk menyelesaikan soal kekerasan yang ada di Papua.
Meskipun pengalaman saya tentang Papua sangat terbatas, saya menulis dua buku tentang Papua yaitu Belajar Mencintai Papua: Menantikan Paskah (Jakarta: Pustaka KSP Kreatif, 2023) dan Membawa Keadilan dan Perdamaian ke Tanah Papua (Bandung: Unpar Press, 2024). Buku terakhir ditulis bersama Prof. Pius Suratman Kartasasmita dan berisi 21 tulisan yang ditulis sahabat-sahabat dari Papua dan yang mencintai Papua.
Motivasi saya menulis tentang Papua tumbuh karena perjumpaan saya dengan sahabat saya Octovianus Mote di Amerika Serika bulan Oktober 2021. Dialah yang mengantar saya masuk seminari tinggi. Sejak mahasiswa sampai sekarang dia masih aktif menulis dan menyuarakan soal perlunya keadilan dan perdamaian di Tanah Papua. Dia selalu menekankan bahwa perjuangan untuk Papua harus selalu melibatkan Tuhan.
Saya beruntung sempat beberapa kali berdiskusi dengan Mgr. Yanuarius You (Uskup Jayapura) tentang Papua. Mgr. Yan You selalu mengatakan kita harus menyerahkan masa depan Papua ke dalam tangan Tuhan. Mgr. You tidak mau terseret pada diksi “NKRI Harga Mati” maupun “Papua Merdeka Harga Mati” karena kedua sikap tersebut menutup ruang dialog untuk mencari solusi terbaik bagi Papua dan Indonesia yang paling sesuai kehendak Tuhan.
Masalah Papua bukan hanya masalah kita sebagai orang Katolik, melainkan masalah bagi Indonesia dan dunia. Indonesia adalah Anggota Dewan HAM PBB. Maka sangat penting bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi amanah Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Tujuh Presiden RI sudah mengunjungi Papua sebanyak 42 kali dalam 61 tahun terakhir. Ketujuh Presiden RI tersebut menggunakan berbagai pendekatan yaitu pendekatan keamanan maupun pendekatan pembangunan. Sudah lebih dari 1000 trilyun dikucurkan untuk pembangunan di Papua. Apakah dengan itu Papua menjadi lebih aman, adil, damai, serta sejahtera?
Indonesia sebenarnya sudah memiliki dua pengalaman berharga yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah Papua, yaitu Timor Leste dan Aceh. Berkat keterbukaan Presiden B.J. Habibie serta peran PBB sebagai fasilitator maka tanggal 5 Mei 1999 di New York dicapai kesepakatan antara Pemerintah RI dengan Portugal untuk melakukan referendum untuk menentukan masa depan Timor Leste. Referendum tersebut dilaksanakan 30 Agustus 1999 dengan hasil 78,50% memilih merdeka dan 21,50% memilih integrasi dengan Indonesia.
Konflik Aceh dapat diselesaikan berkat keterbukaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan peran Marti Ahtisaari yang menjadi fasilitator Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005 antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka yang menerima solusi Daerah Istimewa Aceh dengan berbagai keistimewaannya dengan tetap menjadi bagian Indonesia.
Kedua penyelesaian konflik Timor Leste dan Aceh tersebut menjadi model bagi Indonesia dan bahkan bagi dunia bahwa suatu konflik bisa diselesaikan secara damai dan adil oleh karena keterbukaan pemerintah dan peran fasilitator terpercaya dan imparsial yang dipercaya semua pihak yang terkait.
Apakah mudah menyelesaikan masalah dan berbagai konflik di Papua? Mungkin tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin karena masih ada harapan. Tanggal 9 November 2023 para tokoh bangsa termasuk Mgr.Siprianus Hormat yang mewakili KWI menandatangani seruan untuk perdamaian di tanah Papua. Para tokoh bangsa itu meminta agar pemerintah Indonesia dan para pihak yang berkonflik melanjutkan kembali proses penjajagan damai dengan difasilitasi oleh penengah yang terpercaya dan imparsial.
Dari analisis terhadap 21 tulisan dalam buku Membawa Keadilan dan Perdamaian ke Tanah Papua, tim editor mengidentifikasi 4 langkah harapan, yaitu penyelesaian masalah kekerasan dan pelanggaran HAM, melalui rekonsiliasi kebenaran, agar tercipta perdamaian di tanah Papua, sehingga dapat dilaksanakan dialog Papua-Jakarta untuk menuju Papua baru yang lebih adil dan damai.
Temuan tim editor serupa dan sejalan dengan temuan masalah dan solusi yang diusulkan LIPI tahun 2009 dengan Papua Road Map yang didukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah 12 kali berkunjung ke Papua sebagai Presiden RI. Sampai akhir 2023 Presiden Joko Widodo adalah Presiden RI yang paling banyak mengunjungi Papua yaitu sebanyak 18 kali.
Pada tanggal 15 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo sudah menunjuk tiga special envoy yaitu Menkopolhukam Wiranto, Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki, dan Koordinator Jaringan Damai Papua Romo Neles Tebay untuk melaksanakan dialog damai. Apakah kita masih bisa berharap bahwa Presiden Joko Widodo masih ingat akan niat dan komitmen beliau untuk menyelesaikan masalah Papua? Ataukah kita harus menunggu langkah Presiden RI yang baru?
Tak terbilang banyaknya uskup, imam, kaum religius, dan awam Katolik yang sejak misi Katolik masuk Papua tanggal 22 Mei 1894 atau 120 tahun yang lalu sudah memberikan pemikiran, tenaga, dana, bahkan seluruh hidup sampai mati demi Papua bersama umat beragama dan warga bangsa Indonesia lainnya.
Semoga kita tidak berhenti berharap dan berjuang untuk keadilan dan perdamaian di Tanah Papua karena saudara-saudara kita di Papua juga adalah bagian Tubuh Kristus yang tak terpisahkan. Kalau saudara kita di Papua menderita maka kita yang adalah anggota Tubuh Kristus yang sama juga ikut menderita.
Judul kecil buku Belajar Mencintai Papua: Menantikan Paskah adalah karena saudara-saudara kita di Papua masih mengalami situasi penderitaan dan jalan salib Jumat Agung. Semoga saudara-saudara kita di Papua bisa mengalami Paskah Papua yaitu kebangkitan dan kehidupan baru yang ditandai damai mandiri sejahtera berlandaskan kebenaran, keadilan, dan kasih. Bagi Tuhan dan bersama Tuhan tidak ada yang mustahil dalam perjuangan membawa keadilan dan perdamaian ke Tanah Papua.
Semoga kita tidak berhenti berharap dan berjuang untuk keadilan dan perdamaian di Tanah Papua.
Pastor Ferry Sutrisna Wijaya, Imam Keuskupan Bandung/Dosen Universitas Katolik Parahyangan, Bandung bersama Uskup Jayapura.
Majalah HIDUP, Edisi No. 13, Tahun Ke-78, Minggu, 31 Maret 2024