HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 24 Maret 2024 Hari Minggu Palma Yes.50:4-7; Mzm.22:8-9, 17-18a, 19-20, 23-24; Flp.2:6-11; Mrk.14:1-15, 47 (panjang) atau Mrk.15:1-39.
PERAYAAN Minggu Palma ditandai dengan ciri khasnya yang langsung nampak yaitu Perarakan dengan membawa daun Palma. Diawali dengan Pemberkatan daun Palma, dilanjutkan dengan liturgi selanjutnya yaitu Perarakan oleh seluruh umat. Namun, Minggu Palma tidak hanya mengenang peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem yang disambut dengan lambaian daun palma, melainkan juga mengenang kesengsaraan Yesus. Oleh karena itu, Minggu Palma juga disebut sebagai Minggu Sengsara, sekaligus menjadi momen penting untuk merenungkan makna kesengaraan itu.
Kesan bahwa perarakan Yesus masuk ke kota Yerusalem, dielu-elukan oleh segenap rakyat ibarat raja, menjadi berbeda ketika yang disambut itu bukan menaiki kuda yang gagah perkasa, melainkan menunggang seekor keledai yang biasanya lebih dikaitkan dengan binatang yang diberi beban berat; bahkan cenderung lemah dan kurang berdaya. Namun yang menjadi pertanyaan yang tak mudah dijawab adalah: bagaimana mungkin sorak sorai penyambutan itu bisa cepat berubah menjadi tuntutan: “salibkan Dia, salibkan Dia”. Inilah misteri karya keselamatan Allah yang melalui penderitaan dan wafat-Nya akhirnya memuncak pada kebangkitan Yesus Kristus.
Mengenangkan Sengsara Tuhan Yesus seperti dikisahkan dalam Injil Mrk. 14:1-15:47 merupakan versi yang panjang, yang dimulai dengan cerita bahwa pemimpin orang Yahudi menangkap Yesus. Lalu rakyat menuntut agar Mahkamah Agama menghukum Yesus dengan hukuman paling berat dan hina, yaitu mati di kayu salib. Kesalahan yang dituduhkan memang menyangkut masalah yang sangat sensitif dari segi agama, yaitu “menghujat Allah”. Dengan dosa yang seberat ini apa pun yang pernah dibuat oleh Yesus seperti sirna terhapus, tak diperhitungkan lagi. Yesus yang telah menyembuhkan banyak orang sakit, mengusir roh jahat, membangkitkan Lazarus, seperti tidak lagi diingat, apalagi diperhitungkan sebagai tindakan Juruselamat. Rakyat dan para Pemimpin Agama Yahudi larut dalam rencana dan tekad yang tak terbendung lagi untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Yesus.
Kisah Sengsara Yesus memang sudah dinubuatkan oleh para nabi. Dalam Yes. 50: 4-7, dilukiskan tentang ketaatan Hamba Tuhan, yang tidak memberontak, ketika disiksa untuk akhirnya dibunuh. Dan, Yes. 52:13-53:12, melukiskan Hamba Tuhan yang menderita. Yes. 53:1-5 memberikan gambaran demikian:
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina,… Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungny , dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita , dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan.”
Melalui nubuat Yesaya ini menjadi jelas bahwa bahwa penderitaan itu sebenarnya diakibatkan oleh dosa-dosa kita dan pada akhirnya juga mendatangkan keselamatan. Inilah misteri yang tidak mudah dimengerti dari awalnya, namun pewahyuan Yesus melalui peristiwa kesengsaraan dan penderitaan-Nya menjadi nyata. Itulah sebabnya sengsara dan penderitaan Salib Yesus itu dianggap kebodohan bagi orang Yunani dan skandal yang memalukan bagi orang Yahudi. Hanya iman akan Yesus Kristuslah yang memungkinkan salib dimengerti sebagai karya dan sarana keselamatan dari Allah.
Dari pokok penertian dasar itu, St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat Filipi (2:6-11) memberikan penjelasan bahwa Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik-Nya, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, menjadi hamba, yang taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Maka Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! Iman seperti disampaikan oleh St. Paulus itu mencerahkan pemahaman kita akan keutamaan Salib. Karena itulah kita layak bersyukur atas karya penyelamatan Allah itu, dan penuh kebanggaan menjadikan Salib sebagai identitas iman kita.
“Bagaimana mungkin sorak sorai penyambutan itu bisa cepat berubah menjadi tuntutan: Salibkan Dia, salibkan Dia!?”
Majalah HIDUP, Edisi No.12, Tahun Ke-78, Minggu, 24 Maret 2024