HIDUPKATOLIK.COM – Kendati pemilihan umum secara serentak baru akan terlaksana pada Februari 2024, namun situasi perpolitikan di Indonesia sudah mulai hangat. Perbincangan tentang siapa yang akan menjadi pemimpin lima tahun ke depan tidak saja menjadi konsumsi media massa baik elektronik maupun cetak, tetapi juga sudah menjadi pokok perbincangan masyarakat, baik di warung kopi, cafe-cafe terkenal, hingga di grup-grup media sosial.
Seiring dengan diskursus politik yang mulai memanas itu, para tokoh politik, baik yang sudah secara formal diusung oleh partai politik maupun yang baru wacana akan menjadi calon pemimpin, ikut pula menambah eskalasi politik melalui safari mereka yang intens dari satu satu daerah ke daerah yang lain di negeri ini untuk mencari simpati dan dukungan massa.
Animo masyarakat untuk memperbincangkan calon-calon pemimpin dan politisi di masa depan dalam berbagai lini sosial tersebut patut disambut secara positif. Diskursus politik yang ramai itu menandakan adanya kepedulian masyarakat tentang masa depan bangsanya. Secara lain dapat dikatakan, diskusi politik yang hidup demikian menunjukkan tumbuhnya civic competence, di samping civic knowledge di kalangan masyarakat Indonesia dalam berbagai tingkatan.
Perlunya Kecerdasan Etis
Akan tetapi agar diskursus politik demikian memiliki bobot, dalam arti menyentuh substansi mendasar kehidupan masyarakat sekaligus untuk menyiapkan kesinambungan kepemimpinan, nampaknya ada satu hal yang sangat penting menjadi perhatian, yakni civic disposition, yang dalam hal ini paling utama adalah kecerdasan etis (ethical intelligence). Dalam memberikan bobot bagi kehidupan individu dan masyarakat, kecerdasan etis menjadi modal yang sangat penting.
Apa itu kecerdasan etis? Bruce Weinstein (2019) menegaskan bahwa kecerdasan etis merupakan kemampuan fundamental yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Kecerdasan etis terejawantah dalam pola pikir yang memberi pengakuan bagi nilai-nilai kehidupan.
Konkretnya, kecerdasan etis ditandai dengan orientasi dan komitmen yang kuat untuk berpihak pada humanitas dan prinsip-prinsip etis.
Nilai-nilai kehidupan dimaksudkan adalah penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, kepedulian pada hak-hak dasar setiap individu, komitmen pada nilai-nilai kebangsaan yang berbasis pada budaya nasional, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, sedangkan prinsip-prinsip etis adalah kejujuran dan keadilan.
Pemikiran Weinstein di atas menurut hemat penulis sangat urgen dan relevan untuk menciptakan habitus politik yang sehat bagi bangsa ini, dan menjadi conditio sine qua non atau persyaratan yang harus ada dalam membangun hidup bersama yang bermutu. Urgensi dan relevansi pentingnya kecerdasan etis itu dapat ditempatkan dalam dua subjek sebagai sasaran.
Pertama, terhadap diri sendiri. Ini berarti, setiap individu perlu merefleksikan dirinya dengan menjawab pertanyaan retoris: Apakah aku memberikan perhatian sangat besar pada nilai-nilai kehidupan atau tidak? Apakah menjalankan hidup jujur dan adil atau tidak? Ketika masyarakat menuntut nilai-nilai kehidupan dan prinsip-prinsip etis dari sang calon pemimpinnya, sementara dalam dirinya kesadaran dan pengakuan tentang hal itu minus, bahkan nihil, maka dalam hal ini terjadi ketimpangan. Karena itu kecerdasan etis pertama-tama perlu diarahkan pada pribadi.
Jika kecerdasan etis sudah mendarah daging dalam diri setiap individu, adalah fair, jika individu menuntut hal yang sama dari orang lain, yang dalam hal ini calon pemimpin. Karena itulah tepat prinsip the golden rules penginjil Mateus yang bertuliskan: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka (Mateus 7:12)” menjadi pijakan untuk mewujudkan kecerdasan etis personal.
Kedua, dari calon pemimpin. Mengingat peranan pemimpin memiliki andil besar dalam memberikan bobot bagi kehidupan bersama, maka kecerdasan etis juga menjadi persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.
Kecerdasan Etis Pemimpin
Jack Mackey dalam bukunya Conscious Business (2016), sangat tegas menyatakan bahwa salah satu kualitas pemimpin yang sangat diharapkan oleh masyarakat di era digital adalah berkesadaran etis, yang disebutnya ethically conscious leader.
Pemimpin demikian berbeda dengan pemimpin yang baik dan efektif. Pemimpin yang baik dan efektif hanya menjalankan hal-hal yang standar, sementara pemimpin yang berkesadaran etis justru melakukan terobosan baru yang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan.
Karena itu bagi Mackey, pemimpin etis ditandai dengan semangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan, berpihak pada prinsip-prinsip etis, bersedia melayani dan mau belajar dari masyarakatnya, serta memiliki berbagai kecerdasan lain seperti kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, di samping peduli pada lingkungan hidup.
Pemimpin yang baik dan efektif bisa jadi menjalankan manajemen yang sudah digariskan oleh pemimpin sebelumnya secara baik, namun pemimpin yang memiliki kecerdasan etis merasa tidak cukup hanya melakukan hal itu. Ia perlu melakukan hal-hal baru dan positif, bahkan menjalankan sesuatu yang tidak biasa dengan alasan dan dasar pertimbangan yang etis.
Bagi umat Katolik menurut hemat penulis, kecerdasan etis seyogianya dapat menjadi bahan refleksi diri dan menjadi titik berangkat memilih calon-calon pemimpin ke depan. Kehidupan tokoh-tokoh nasional dari kalangan Katolik seperti Frans Xaverius Seda, I.J Kasimo, Romo Y.B. Mangunwijaya, dan lain-lain yang berkomitmen membela kebenaran, hidup jujur dan penuh dengan kesederhanaan menjadi contoh dan teladan, sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya kecerdasan etis dihayati dalam keseharian. Kecerdasan etis yang kuat justru memberi warna cerah bagi penghargaan pada kehidupan. Dan menurut penulis dalam hal inilah identitas umat Katolik terletak. Semoga.
Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta