HIDUPKATOLIK.COM – Negara sangat prihatin dengan maraknya perdagangan orang. Ada yang menduga, korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) lebih dari 10.000 korban.
Tak heran, pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah KTT Asean memasukkan topik ini untuk dibahas. Karena memang korban umumnya dibawa ke negara tetangga, seperti Malaysia, Kamboja, dan Singapura.
Banyak kasus di mana mereka dijebak dengan janji-janji manis mendapat gaji tinggi dengan bekerja di luar negeri, namun pada kenyataannya mereka tak dibayar bahkan diperlakukan seperti budak.
Tak jarang terdengar perlakuan biadab yang harus mereka terima. Gereja pun sungguh menaruh perhatian akan kasus perdagangan orang ini. Beberapa rohaniwan dan suster, serta para awam yang tergerak telah banyak membantu. Ada yang berusaha mencegah, ada pula yang menangani korban setelah pulang. Namun upaya mereka tidak selalu mulus, banyak menemui rintangan.
Keprihatinan Gereja terhadap hal ini sesungguhnya sudah ada sejak lama. Bahkan ada sosok kudus yang dijuluki Rasul Para Budak. Ia adalah Santo Petrus Claver, seorang Yesuit yang selama lebih dari 40 tahun berkarya di kota pelabuhan Cartagena, Amerika Selatan (saat ini masuk negara Kolumbia) di tengah para budak yang datang dari Afrika. Petrus Claver hidup pada abad 16 masa di mana perdagangan budak masih legal.
Bangsa Eropa dan Amerika yang sudah maju, pergi berlayar ke seantero dunia tidak sekedar untuk berdagang hasil bumi, namun juga berdagang orang. Salah satu bangsa yang menjadi korban adalah bangsa Afrika.
Mereka dibawa dengan menggunakan kapal. Ketika tiba, mereka yang relatif sehat dan berbadan besar, tentu cepat laku dan diminati. Namun jauh lebih banyak yang sakit dan hampir mati, karena selama dalam perjalanan dari Afrika ke Cartagena, mereka mendapat perlakuan sangat tidak layak.
Dikurung di dek bawah, berdesak-desakan, dapat jatah makan yang sangat terbatas, sehingga wajar bila lebih banyak yang jatuh sakit. Di pelabuhan tujuan, mereka yang sakit dan lemah, hanya akan ditelantarkan, bahkan kemudian dibuang.
Kondisi inilah yang membuat Petrus Claver, saat masih menjalani masa novisiat Yesuit di negara asalnya Spanyol, memohon agar diberi kesempatan melayani para budak ini. Ia selalu tampil paling depan saat kapal berlabuh, menanti para budak yang diturunkan.
Budak yang sakit dan lemah, diberinya makan dan perawatan. Sekaligus ia mewartakan kabar Injil. Ia membaptis mereka yang bertobat dan bersedia menerima Yesus. Ia juga memberikan Sakramen Perminyakan kepada mereka yang menderita dan sekarat. Konon selama 40 tahun pelayanan tak kenal lelah, ada 300 ribu orang telah dibaptis.
Petrus Claver nyaris bekerja sendirian, karena tak ada yang sanggup membantu pelayanan di tengah para korban yang sungguh mengenaskan ini. Terlebih udara panas pelabuhan Cartagena yang menyiksa siapapun yang beraktifitas di sana.
Namun Petrus Claver tidak pernah menyerah, ia terus memberi uluran tangan dan kasihnya tanpa menunjukkan rasa lelah. Termasuk juga saat ia dicemooh dan banyak orang beranggapan upayanya menawarkan iman akan Kristus bakal sia-sia. Tak jarang ia ditentang, terlebih oleh para pedagang budak dan tuan-tuan kaya yang membeli budak.
Kepada tuan para budak, Petrus Claver memang selalu berpesan agar mereka memperlakukan para budak dengan lebih manusiawi. Setidaknya para budak memperoleh tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup, dan waktu istirahat yang wajar. Pesan yang lebih sering bernasib seperti angin lalu.
Petrus Claver lahir di Verdu, Catalonia, Spanyol pada tahun 1580. Ia sempat kuliah di Universitas Barcelona. Selesai studi di Barcelona, ia yang mengenal imam-imam Yesuit saat kuliah, lalu tertarik dengan spritualitas Yesuit, memutuskan masuk Novisiat Serikat Jesus di Taragona pada tahun 1601. Lalu ia dikirim ke kolose Montesione, Palma Mayorca.
Di sinilah ia berkenalan dan mendapat bimbingan Bruder Alphonsus Rodriques. Terutama tentang cara hidup penyangkalan diri serta penyerahan diri hanya kepada Tuhan. Bruder jugalah yang mendorong Petrus untuk melayani para budak Afrika di Amerika Selatan. Sehingga pada tahun 1610, walau sebenarnya ia masih belum ditahbiskan, ia meminta diutus ke Cartagena. Di kota pelabuhan inilah, di tengah pelayanannya terhadap para budak Afrika, pada tahun 1616 ia ditahbiskan menjadi imam. Atas permintaannya sendiri, ia tak pernah berpindah tugas.
Empat tahun terakhir masa hidupnya, Petrus sakit keras dan hanya bisa terbaring di kamarnya. Hingga suatu saat, tepatnya pada tanggal 8 September 1654 lonceng gereja berdentang berulang-ulang tanda seseorang telah berpulang ke pangkuan Tuhan.
Ternyata yang berpulang adalah Petrus Claver, ia telah dibebaskan dari rasa sakitnya, sebagaimana ia telah banyak membebaskan penderitaan orang-orang Afrika yang bernasib malang. Dentang lonceng kematian ini, seketika menyadarkan seluruh penduduk kota, bahwa mereka telah kehilangan seorang kudus yang selama ini tinggal bersama mereka.
Pada tahun 1888, Paus Leo XIII memberi gelar Santo kepada Petrus Claver. Ia diangkat menjadi pelindung karya misi di Afrika.
Semoga dengan terus mengenang karya dan pelayanan St Petrus Claver, kita pun terdorong memperhatikan dan mendukung karya-karya Gereja dalam mengatasi TPPO.
Fidensius Gunawan (Kontributor, Tangerang Selatan)