HIDUPKATOLIK.COM – RASA takut membangunkan aku dari tidur yang baru sejenak. Serta-merta aku tepekur di bibir ranjang. Seraya menggosok-gosok pelupuk mata, aku berupaya menata ulang alur mimpi yang menghampiri. Seketika bulu kudukku meremang.
Seorang perempuan yang masih sangat belia mematung di hadapanku. Sosoknya bagai dibingkai oleh kepekatan malam. Parasnya yang ayu terkesan kaku dan dingin. Tatapannya memendam duka yang curam. Sorot matanya yang tajam terasa menghunjam ulu hatiku.
“Aaah… jenazahnya kumandikan tadi siang,” kataku mengingat-ingat.
“Mungkin ada persoalan berat hingga ia mendatangi aku lewat mimpi. Bisa jadi, ia ingin minta tolong sesuatu padaku,” lanjutku mereka-reka.
Nama perempuan itu, Besti Mumpuni. Ia masih terlalu muda untuk menghadap Sang Khalik. Usianya, 30 tahun. Anaknya baru berusia satu tahun. Sesungguhnya, aku sedih saat merias jenazahnya. Barangkali perasaan itu larut hingga terbawa ke alam bawah sadarku, lantas menyembul dalam mimpi pada malam harinya.
Peristiwa itu mengerak di lumbung ingatanku. Hari itu, aku tengah terlilit urusan rumah tangga tatkala sebuah teks menyelonong di ponselku.
“Bu Maria, tugas menanti. Ada wanita muda tewas akibat kecelakaan lalu lintas,” pesan Willy, ketua seksi kematian di parokiku. Tak lupa, ia men-share loc alamat keluarga yang tengah dilabrak duka itu. Lalu, aku menyambangi rumah itu. Kubawa seperangkat alat mandi dan make-up untuk merapikan jasad orang yang berpulang secara mendadak itu.
Begitu berada di dekat jenazah Besti, kengerian membekapku. Baru kali ini aku mendapat tugas merapikan jasad korban kecelakaan lalu lintas. Alkisah, perempuan malang itu terpental dari boncengan motor yang dikendarai suaminya. Ditengarai, perseteruan tengah meruncing di antara keduanya.
Tubuh Besti masih bersimbah darah. Ekspresi wajahnya menahan sakit. Kerutan-kerutan berjejak di dahinya. Tangannya terkepal kaku. Dan, bau anyir sontak menyengat hidung…
Yang membuatku prihatin, anak Besti yang masih balita amat rewel. Rengekannya menyayat hati. Sementara sang ayah hanya membujuk sekadarnya. Hingga tangisan bocah itu pecah berulang.
“Ia terkontak dengan ibunya yang hendak meninggalkannya,” pikirku. Rasa sedih menggelayut di hatiku, bahkan hingga aku beranjak dari rumah duka itu.
***
Sudah lima tahun aku menjadi pemulasara. Bermula dari pengalaman mendadani jenazah tanteku yang berpulang dalam usia relatif muda, 40 tahun. Ternyata, pengalaman pertama merias jenazah itu menorehkan kesan mendalam di benakku.
Ketika di parokiku dibentuk seksi pelayanan kematian, tanpa lama menakar nalar, aku langsung berhimpun. Aku memilih tugas merias jenazah. Tugas ini memang kurang diminati.
“Mungkin ini panggilan Tuhan ya,” pikirku. Ketika anak-anakku beranjak dewasa, kesibukanku mulai longgar maka aku memilih pelayanan ini. Terlebih, tidak setiap hari ada warga paroki yang meninggal. Artinya, aktivitas ini tidak merampas waktuku.
Makhluk hidup pasti akan mati. Entah datangnya cepat atau lambat, entah karena sakit atau tidak. Tiada yang kuasa menolak ajal. Terkadang kematian seperti ada musimnya. Kalau sudah begini, sehari bisa dua-tiga orang yang meninggal dalam lingkup paroki, bahkan lebih. Toh tidak semuanya menjadi tugasku. Ada rekan sepelayanan yang juga bertugas merias jenazah.
Seiring waktu bergulir, tak terhitung lagi jenazah yang pernah aku rapikan. Senantiasa ada perasaan bahagia setiap kali aku usai merapikan jenazah. “Aku bahagia bisa mengantar jenazah yang sudah rapi dan layak untuk berangkat menuju keabadian,” simpulku.
Memang ada beberapa arwah yang datang dalam mimpiku setelah jenazahnya kurapikan. “Seakan mereka mau berterima kasih kepadaku lewat mimpi.” Namun, dari sekian banyak jenazah yang aku rias, sosok Besti yang mengguratkan jejak paling mendalam di hatiku.
Kudengar, hanya berselang enam bulan setelah kepergian Besti, sang suami menikah lagi dengan rekan kerjanya. “Dia butuh pendamping yang bisa menjadi ibu buat Rendra, anaknya yang masih kecil,” ujar temanku nyinyir dibarengi sesabit senyum. Sempat pula terendus kisah yang kurang elok antara Andre dan istri barunya. Namun, aku enggan membahasnya. “Kasihan, Besti,” batinku.
Pikiran negatif sempat menelusuk hatiku tentang Andre. Sementara angin senja yang berembus di teras rumahku bagai bersyair tentang duka. Apakah semudah itu cinta yang semula menggebu menjadi sirna? Bahkan keindahannya beringsut menjadi petaka…
“Halah… bisa saja berdalih. Dasar gatal…!” gerutuku.
Entah mengapa, serta-merta bayangan Besti dalam mimpiku tempo hari, kembali melintas di benakku. Parasnya tetap sedih dan muram, seakan ia ingin menuangkan kisah duka padaku.
***
Tiga tahun terlintasi. Aku masih berkanjang dengan pemulasaraan jenazah. Perlahan, kenangan merias jenazah Besti telah memudar dari benakku. Nyatanya, pengalaman yang menyeramkan itu tak kuasa meredupkan niatku untuk melayani di seksi kematian. Aku terlanjur mencintai pelayanan ini. Terlebih, tak mudah mencari pengganti yang mau terlibat dengan urusan mayat.
Sementara itu, pengalaman yang terkait dengan jenazah telah membuatku terbiasa dan nyaman. Tak ada lagi rasa seram dan mencekam setiap kali aku merias jenazah. Selain pengalaman tentang Besti, pernah sekali aku memperoleh pengalaman yang juga menyeramkan.
Suatu siang, aku mendapat tugas memandikan jenazah gadis berusia 25 tahun.
“Apakah adik ini meninggal karena sakit?” tanyaku pada salah satu keluarganya. Tak seperti lazimnya, tepercik keingintahuanku lebih dalam.
“Tidak ada penyakit, Bu. Tadi siang, anak ini masih bercanda,” beber tante Almarhumah. Rusuh di dada perempuan itu mencuat, membuat bibirnya agak bergetar.
“Lho kenapa ya anak muda bisa meninggal mendadak?” kejarku lebih lanjut karena dikulik penasaran.
“Sepertinya kena santet,” sahut perempuan itu dengan suara sehalus bisik.
Kuamati dengan saksama jenazah gadis ini. Tangannya seakan mencengkeram sesuatu, kaku dan sulit digerakkan. Wajahnya seperti menahan rasa sakit yang amat sangat. Sementara perutnya melembung, tak sepadan dengan postur tubuhnya yang ramping.
Tiba-tiba, aku teringat akan pengalaman merias jenazah Besti. Ekspresi penghabisan yang tertinggal di paras keduanya serupa; sama-sama membendung kesakitan. Syukurlah, Diana, gadis yang mati muda itu, tidak menyambangi aku lewat mimpi.
Hanya selang sehari setelah kematian yang tidak wajar itu, datang lagi berita kematian berikutnya.
“Alamak, bukankah ini Andre, suami Besti?” ujarku dengan suara separuh berteriak, saat membaca nama orang yang baru saja berpulang tersebut. Penyebab kematiannya sama; kecelakaan lalu lintas! Mobil yang dikendarainya diseruduk truk. Jenazahnya pun berlumuran darah, bahkan kondisinya lebih mengenaskan ketimbang jenazah Besti.
“Tragis sekali, suami-istri ini sama-sama meninggal di jalan; dengan cara yang sama tapi dalam waktu yang berbeda,” desisku dibarengi napas tersendat.
Aku termenung lama. Perasaanku campur aduk.
Kematian memang sebuah keniscayaan. Namun, datangnya kerap tak terduga. Masing-masing orang punya liku-liku ajalnya sendiri, sebagaimana ungkap Filsuf Jerman, Martin Heidegger (1880-1976), “Hidup adalah perjalanan menuju kematian.”
Oleh Maria Etty
Majalah HIDUP, Edisi No. 32, Tahun Ke-77, Minggu, 6 Agustus 2023