HIDUPKATOLIK.COM – Kesempatannya bermusik datang saat Perang Dunia II 1944 di Jerman.
MEMASUKI Kampus ISI Yogyakarta menuju Gedung Concert Hall, terasa seperti menikmati perjalanan panjang yang berujung keindahan. Ada deretan karangan bunga memeriahkan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan kepada dua orang sosok istimewa. Satu di antara mereka adalah Pastor Karl Edmund Prier, SJ dan secara khusus HIDUP menjumpainya di ruang tamu PML Yogyakarta.
Awal Kecintaan
Sejak kecil Prier didorong ibunya untuk bermusik meskipun kondisi keluarga tidak memungkinkan. “Ibu selalu bilang saya mau belajar musik tapi tidak sempat karena kami keluarga miskin. Kesempatan bermusik datang saat Perang Dunia II 1944 di Jerman. Papa saya menjadi tentara Ibu sendiri di rumah. Tiba-tiba datang keluarga di Mannheim yang mengetuk pintu apakah boleh nitip piano di rumah karena takut akan dibom. Kebetulan saudaranya guru piano yang amat pintar mengajar anak-anak main piano. Ia membuat kami tidak tersiksa dengan latihan jari, tetapi musik jadi mainan yang menarik,” paparnya.
Saat diutus ke Indonesia tahun 1964 sebenarnya bukan untuk musik. Prier lalu belajar Bahasa Jawa di Girisonta, lalu diutus ke Wonosari, Yogyakarta. Ada gamelan di samping pastoran yang kalau malam dibunyikan. Ia mulai tertarik, lalu bergabung bersama mereka. Itu pengalaman pertama kenal dengan musik gamelan, yang asing tetapi menarik hatinya.
Sejak 1967 saat belajar teologi di Kentungan inilah yang jadi titik pangkal sesungguhnya. Konsili Vatikan II menyarankan inkulturasi musik liturgi. Ia punya banyak waktu kosong, yang memberinya kesempatan berjumpa praktisi musik. Harso Subroto-lah yang mengisahkan tentang aktivitas membuat lagu pelog untuk menggantikan lagu-lagu gregorian.
Prier kemudian belajar teori tentang gamelan, tangga nada, yang makin menariknya untuk mencintai musik Indonesia. Paul Widyawan juga orang yang sangat penting dalam bermusiknya.
Prier mendiskusikan dengan Paul Widyawan untuk membuat lagu khas Indonesia sesuai rekomendasi Konsili. Lagu daerah yang sungguh menyentuh hati orang setempat. Selanjutnya, mereka berpikir tentang bengkel musik, yang akhirnya menjadi PML.
“Paul punya paduan suara, saya mengiringi maka kami kerja sama. Waktu itu kami belum tahu membuat lokakarya di daerah. Kami juga melatih kor di paroki, sebagai upaya mengenal lagu Indonesia yang belum ada. Saya menekuninya karena Gereja pada tahun 1956 pun sudah mendirikan Panitia Inkulturasi Musik Gereja,” ujarnya.
Musik dan PML
Prier ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1969. Selama 1967-1969 dan sampai akhir 1970 dengan izin Pater Provinsial Serikat Yesus (SJ) saat itu, Antonius Sunaryo SJ, SJ melakukan eksperimen tentang musik liturgi. Provinsial juga memberi ruang mengembangkan musik begitu lebar dengan mengizinkannya mengajar sejarah musik di ISI melanjutkan Romo Smith van Baesberghe SJ.
Kondisi ini kemudian menjadi awal perkembangan berbagai mata kuliah yang diampunya, serta buku dan diktat yang dituliskannya. Prier sungguh mewujudkan harapan konsili untuk membawa orang pergi ke gereja dan berliturgi dengan dukungan musik khas Indonesia yang dimengerti bahasanya, dan irama lagunya menyentuh banyak orang.
Pendirian Pusat Musik Liturgi (PML) disambut dengan antusias. Tahun 1973 ada Kongres Liturgi di Jakarta, PML diundang . Dalam Kongres Liturgi di Yogyakarta (1975), PML menampilkan lagu-lagu liturgi yang didukung dan diapresiasi. Kongres juga memutuskan untuk membuat lagu liturgi dari kekayaan budaya lokal se-Indonesia. Hasilnya adalah buku Madah Bakti (MB, terbit 1980).
Karena ada beberapa undangan untuk mengenal musik daerah, maka Romo Prier pun berkeliling Indonesia, mulai ke Kalimantan, Sumatra, Indonesia Timur sampai tempat terpencil di Nias, Mentawai, Kepulauan Aru, Sumba, dan sebagainya.
“Kami memberikan perhatian dan membicarakan musik mereka. Kami juga belajar mengenai musik mereka, belajar untuk menciptakan lagu baru yang diperbaiki dan dipublikasikan ke seluruh Indonesia,” katanya.
Perjalanan itu amat mengesan. “Tahun 1981 kami pergi ke Kalimantan karena undangan teman yang berkarya di ujung Kapuas. Di sana ada dunia yang lain, musik Dayak yang damai, mengalir lambat. Musik mereka mencerminkan kedamaian,” tuturnya.
Tiga tahun kemudian, Romo Hufang, MSF (pastor di hulu Barito, Kalimantan Tengah) menghubunginya. “Saya mengalami masyarakat di sana punya lagu bagus, tetapi mereka buta huruf, tidak tahu not. Apakah kamu mau ke sana, mencoba bernyanyi bersama mereka, barangkali bisa dibuatkan lagu yang khas Dayak dan situasinya berbeda total dengan Jawa.”
Akhirnya, Romo Prier berangkat dengan Paul. “Kami berangkat, lalu minta mereka menyanyi, mengganti syair dengan Tuhan kasihanilah kami, atau lagu lain. Mereka shocked tetapi mencoba dan terus saja mencoba hingga akhirnya bisa. Kami merekam, mencari notnya lalu sore hari dikenalkan dalam kelompok pleno dan mereka bangga bukan main karena bisa membuat lagu yang bagus. Ini bisikan Roh Kudus, tidak ada teori menulis not, tetapi menciptakan musik secara lisan, melihat syair, melagukan syairnya tanpa memikirkan notnya, dan dilakukan sampai puas. Ini proses komposisi yang sama sekali lain dan tidak melihat peraturan teoretis,” papar Romo Prier.
Sejak itu setiap dipanggil untuk lokakarya mereka menggunakan cara ini. Orang dikumpulkan dan diminta menyanyi, lalu direkam. Ada 57 lokakarya yang sudah dijalani hingga saat ini. terlaksana dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Total lagu yang dihasilkan sekitar 1800 judul dan itu semua harus diseleksi untuk direkomendasikan sebagai lagu liturgi.
Romo Prier selalu memegang hal ini. “Hendaknya musik mereka dihargai, dipelajari, dan kalau memang pantas, dikembangkan masuk ke gereja. Konsili membuat 2 langkah, jangan hanya memikirkan inkulturasi, soal musik yang bagus tetapi juga menghargai menjadi satu kesatuan.”
Memang tidak semua lagu diterbitkan, tetapi ditinjau lagi untuk memilih yang baik. Ada yang menjadi bahan dokumentasi saja, ada juga yang bisa diperbanyak/dibeli.
Saat ini PML sedang dalam proses membuat MB edisi baru yang memperbarui dan menukar lagu lama, memasukkan lagu daerah lain yang belum ada misalnya dari Toraja, Aru, dan lainnya. Edisi ini direncanakan terbit 2025 bersamaan dengan 100 tahun Kolsani.
Hidup untuk Musik
Kalimat “Hidup untuk musik” yang digunakannya sebagai judul pidato ilmiahnya saat menerima gelar, mengandung dua makna besar. Ia ingin menunjukkan bahwa selama ini hidupnya sunggu didedikasikan untuk musik. Hal ini tampak antara lain selama 33 tahun (1971-2004) mengajar beberapa mata kuliah di Jurusan Musik, ISI Yogyakarta. Saat para mantan mahasiswa menunjukkan ketertarikan pada musik lokal, misalnya di ISI Padangpanjang, Sumbar, dengan luar biasa mendemonstrasikan musik gerejani padahal dia Muslim. Itu menunjukkan bahwa melalui musik kita bisa berkomunikasi antaragama. Para anggota senat ISI pun beberapa merupakan mantan mahasiswanya. Kondisi inilah yang membangun kebanggaannya karena ada kelanjutan karyanya. Artinya, ia juga mengajak banyak orang untuk mencintai dan menghidupi musik dengan total sepertinya.
Romo Prier berharap, “Gereja membuka mata terhadap kekayaan musik sendiri. Misalnya, musik mampu menyembuhkan orang sakit dari Mentawai. Musik yang membawa damai dari Dayak. Musik yang menggugah semangat dari Nias, terkombinasi dengan rasa halus ada banyak nilai yang belum dilihat. Saya akui tugas sosial lebih penting daripada inkulturasi. Tetapi semangat mencintai orang miskin dapat diwujudkan dengan sentuhan lagu liturgi, nyanyian, dan doa.”
Kepada permintah, ia menyamapikan harapan. “Nilai musik yang tersembunyi supaya disoroti sebagai kekayaan bukan hanya turisme. Yang dalam waktu panjang bisa hilang jika tak didukung atau diangkat. Semoga pemerintah punya visi yang melihat situasi dan melangkah untuk membuat sesuatu. Ada banyak daerah di Aceh, Sumbar, Sulteng, Maluku Utara yang merupakan kawasan Islam. Kami tidak ada undangan tetapi pasti ada kekayaan lokal yang kami tak tahu. Pemerintah perlu sadar ada peluang yang dilupakan.”
Mengakhiri percakapan dengan HIDUP, ia membagikan impian terakhirnya: membuat catatan perjalanan ke daerah. Ada 57 perjalanan dan itu observasi, pembicaraan dengan orang, penjelasan dari mereka, seperti diarium. Hal itu sedang dibuat lebih rapi. Itu akan menarik misalnya membandingkan Nias tahun 1981 dan perkembangan saat ini.
Veronika Naning (Yogyakarta)
Pastor Karl-Edmund Prier, SJ
Lahir : 18 September 1937 di Weinheim, Jerman
Pendidikan
1959 – 1962 : Studi Filsafat di München, Jerman
1967 – 1970 : Studi Teologi di Institut Filsafat dan Teologi (FTW) Yogyakarta
Pekerjaan
Pimpinan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta
Hasil karya
12 judul buku
Foto: HIDUP/Veronika Naning
Saya kagum…romo Prier,SJ, pribadi yang luar biasa. Menginspirasi bahwa melalui musik komunikasi antar agama bisa terjadi dengan baik.
Selalu mengagumi karya2 pastoral , dimana budaya / musik menjadi fundamental indah & penting mengAgungkan Nama Tuhan