web page hit counter
Senin, 25 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Kami Berjalan Bersama-Nya Penuh Sukacita

5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – PAGI yang cerah menyambut rencana perjalanan wisata saya bersama teman-teman keluarga dari KPKS Santo Paulus Tangerang. Kami berencana akan melakukan perjalanan bersama-Nya menyusuri dan mengunjungi permukiman perbukitan suku tradisional,  wisata di Perkampungan Suku Baduy luar yang terletak di daerah Banten.

Perjalanan pagi ini kami mulai dengan menggunakan bus kecil yang berisikan kursi untuk duapuluh tujuh orang dengan ditemani seorang bapak supir. Selama 3 jam lamanya perjalanan bus ini menghantarkan kami dengan penuh sukacita dan canda. Perjalanan bus ini membuat saya agak sedikit khawatir selama tigapuluh menit lebih karena bus sempat terhenti mendadak untuk menahan jalanan yang menanjak cukup tinggi. “Tuhan Yesus lindungilah kami,” ucapku dalam hati. Karena memang tidak mudah untuk melewati jalanan yang sempit dan ada yang berlubang untuk sampai ke tempat tujuan kami.

Ketika sampai ditempat titik awal dan parkir bus, saya menjumpai banyak orang yang telah bersiap-siap untuk berwisata menyusuri perkampungan Suku Baduy luar ini. Dengan hati sukacita dan semangat berwisata kami juga bersiap-siap untuk back to nature. Tapi sebelum melakukan perjalanan, kami harus setoran dulu menuju toilet umum karena dalam perjalanan ke atas sana pasti akan jarang ditemukan tempat penting ini.

Menjaga semangat kebersamaan dalam perjalanan. (HIDUP/Eviantine Evi Susanto)

Baru beberapa menit perjalanan saya dan teman-teman melewati tempat pendaftaran masuk pintu wisata ini, tiba-tiba hp saya berbunyi dan ada suara telpon dari seorang teman peserta wisata ini. Teman ini menginfokan bahwa mereka bertujuh tertinggal rombongan kami, dibawah, ditempat titik awal karena mereka rupanya memakai lokasi toilet yang berbeda. Saya bersama anak saya dan Pak Dharma, pemandu kami dengan cepat akhirnya memutuskan untuk turun kembali menjemput teman-teman yang tertinggal. Sehingga perjalanan saya ini menjadi rombongan yang terakhir yang berjalan naik untuk menyusuri jalan setapak yang menanjak, menurun dan berbatuan di tempat wisata ini.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Baru beberapa menit kami berjalan, saya menemukan seorang teman dari rombongan sebelumnya yang naik lebih dahulu. Teman saya ini sedang duduk di atas batang bambu kecil sendirian di pinggir jalan menahan keletihan tubuhnya. Tubuhnya berkeringat dan napasnya terlihat tak teratur karena kecapaian. Kami berhenti sejenak dan saya berusaha untuk menenangkan serta memberi semangat kepada teman ini agar mau melanjutkan perjalanan. Jujur, sebenarnya saya tidak tahu medan yang akan dilalui tetapi saya percaya bahwa berjalan bersama-Nya tidak ada yang mustahil. Akhirnya teman saya ini mendapat kekuatan untuk mau melanjutkan perjalanan kembali bersama rombongan kami.

Perjalanan kami lanjutkan kembali dengan medan yang cukup berat, ada yang menanjak dan menurun dengan tajam sehingga membuat napas mulai ngos-ngos-an. Dengan bantuan tongkat para wisatawan bisa menyusuri jalan-jalan berbatu dan tanah merah ini dengan lebih mudah. Ada pula beberapa titik yang bisa digunakan untuk berhenti serta beristirahat hingga bisa sampai  ke tempat yang di tuju. Ketika saya akhirnya sampai di rumah pemandu kami, di sana telah disediakan duren Baduy dan makan siang yang sederhana. Nasi dengan ayam, tahu, tempe goreng, sayur asem dan sambel terasa nikmat untuk meredakan kelelahan perjalanan kami hari ini.

Baca Juga:  Buah-buah Sinode III Keuskupan Sibolga Harus Menjadi Milik Seluruh Umat

Setelah beristirahat makan siang kami kembali berjalan menyusuri perkampungan Suku Baduy luar ini.  Rumah panggung yang sederhana dengan bahan seperti bambu dan kayu yang bahannya di dapat dari hasil hutan di sekitarnya. Mereka bergotong royong membangun rumah dan jalan berbatu yang ditutupi tanah merah ini, kata pak Dharma. Pemandangan yang unik bagi saya selama menyusuri perkampungan ini adalah rumah-rumah panggung ini di bangun dengan tidak memiliki jendela dan hanya mempunyai pintu saja yang terletak di dua sisi. Mungkin maksudnya bila ingin bertemu, menyapa dan melihat keluar bisa langsung melalui pintu saja. Mereka juga masih menggunakan tungku batu dengan bahan bakar kayu untuk memasak. Lantai dan dinding yang di buat dengan berbahan seperti bambu, rumah yang asri, sederhana dan nyaman. Hampir di setiap beranda rumah dijajakan hasil karya para pemilik rumah Suku Baduy ini berupa kain hasil tenunan tradisional, madu hutan dan gula aren.

Perjalanan sederhana menyusuri perkampungan Suku Baduy luar ini kami tutup dengan menyeberangi dan berfoto di jembatan bambu.  Jembatan bambu ini bisa digunakan untuk menyusuri perkampungan suku Baduy dalam dengan jarak tempuh 1-2 jam perjalanan lagi.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Perjalanan wisata hari ini memberikan saya beberapa belajaran hidup yang sangat mendalam.

Pertama, saya akan selalu mempercayakan perjalanan hidup ini melalui doa hanya kepada kasih dan penyertaan serta perlindungan-Nya. Belajar dari kesederhanaan, kerendahan hati dan mau menerima kehendak-Nya.

Kedua, berjalan bersama-Nya akan selalu mendatangkan sukacita walaupun tidak mudah, yang sebelumnya harus dilalui dengan hal-hal yang mengkhawatirkan, ketidakberdayaan, kesusahan dan kesedihan.

Ketiga, Tuhan akan selalu membantu, melindungi serta menyertai bila saya mempercayakan perjalanan hidup ini hanya kepada-Nya melalui segala usaha, karya, talenta, kerja dan pelayan sehingga akan mendapatkan kekuatan yang besar untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi.

Pengalaman dan perjalanan yang saya lalui setiap hari melalui pertemuan, persahabatan dengan siapa pun akan memberikan suatu pelajaran kehidupan yang kadang kala tidak mudah untuk dipahami dan dilalui. Tetapi saya percaya berjalan bersama-Nya penuh dengan sukacita yang membuat saya tidak akan pernah berhenti untuk bersyukur dan memuji nama-Nya.

Mari kita berjalan bersama-Nya dan temukanlah sukacita yang mendalam di kehidupan ini. Terpujilah Allah yang hidup selama-lamanya.

Eviantine Evi Susanto, Kontributor, Ibu Rumah Tangga, Alumna KPKS St. Paulus Tangerang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles