HIDUPKATOLIK.COM – Berita tentang bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, dan bencana lain lebih sering menghiasi lini massa sosial media dan media massa kita sejak tahun 2020 hingga hari ini, dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau. Berdampingan dengan berita-berita itu, kita membaca pulapula dengan berita peperangan, pengungsian, kasus kekerasan, perdagangan orang, dan kerusakan-kerusakan alam di berbagai tempat. Sebuah pertanda jelas bahwa di sekitar kita, telah terjadi krisis lingkungan yang diiringi dengan krisis sosial.
Dari sekitar 5000 kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2021, lebih dari 50% adalah bencana hidrometrologi, yang erat sekali kaitannya dengan pola hidup manusia. Pola hidup tersebut menyebabkan sungai-sungai tercemar dan kehilangan habitat asli penghuni sungai, hilangnya sebagian kekayaan keanekaragaman hayati khas Indonesia karena alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan lahan hunian, lahan-lahan pertanian yang juga rusak akibat penggunaan pestisida berlebihan, dan tempat pembuangan akhir sampah yang semakin lama semakin kehilangan daya tampung karena volume sampah yang semakin lama semakin meningkat.
Bumi yang tua mulai mengalami penurunan daya dukungnya untuk menjadi sumber kehidupan bagi seluruh ciptaan. Kita, manusia, telah menempatkan diri sebagai satu-satunya penguasa atas bumi, mengambil tanpa batas sumber daya bumi, sehingga mengambil hak ciptaan lain untuk hidup sejahtera. Perilaku kita sehari-hari yang meninggalkan jejak karbon tinggi mengakibatkan terus naiknya suhu bumi, atau kita kenal dengan istilah pemanasan global.
Fenomena ini telah memaksa orang-orang miskin yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya untuk mengungsi dari tempat tinggal mereka karena naiknya permukaan air laut, atau hilangnya sumber mata pencaharian mereka karena bencana. Orang-orang yang lemah, miskin dan tertindas pulalah yang paling dirugikan ketika sumber-sumber mata air bersih dikuasai oleh perusahaan air minum dalam kemasan sehingga mereka tidak dapat lagi mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Di mata penguasa, kemiskinan hanyalah sebatas angka dan persentase yang dapat diselesaikan dengan berbagai jenis bantuan sosial tanpa memperhatikan penyebab sesungguhnya dari kemiskinan tersebut.
Ensiklik Laudato Si’, yang diterbitkan Bapa Suci Paus Fransiskus pada bulan Juni 2015, mengajak kita untuk merenungkan kembali, kehidupan macam apa yang sedang kita jalani dan akan kita wariskan kepada anak cucu kita. Revolusi industri yang dimulai sejak pertengahan abad ke 18, telah mendorong kehidupan kita menjadi semakin cepat. Teknologi yang sedianya membawa kesejahteraan bagi seluruh ciptaan, sebaliknya justru menjadi sumber kecemasan dan menyebabkan kerugian besar bagi dunia dan menyebabkan kemerosotan kualitas hidup Sebagian besar manusia (ens. Laudato Si’, art. 18).
Pertumbuhan dan percepatan yang berlebihan mengakibatkan krisis sosial yang ditandai dengan krisis identitas, merebaknya budaya konsumerisme, semakin melebarnya kesenjangan ekonomi antara kelompok menengah ke atas dengan mereka yang lemah, miskin dan tertindas. Sehingga naiknya angka kriminalitas tidak dapat lagi dihindari. Arus informasi yang demikian cepat dan hadirnya dunia digital, menghalangi orang untuk belajar hidup dengan kebijaksanaan, berpikir secara mendalam, dan mencintai dengan murah hati (Ens. Laudato Si’, art. 47). Semakin gelisah dan cemas, semakin orang terdorong untuk memiliki berbagai macam benda yang dipandang dapat memberikan kebahagiaan dan perasaan utuh di dalam jiwa, menjebak kita dalam egoisme sempit. Kita, manusia modern, membutuhkan suatu cara hidup yang baru, yang lebih peka terhadap lingkungan dan sesama di sekitar kita, maupun dalam lingkup yang lebih luas.
Sebagai respons terhadap krisis bumi dan seruan Bapa Suci Paus Fransiskus, lahir sebuah gerakan akar rumput bernama Laudato Si Movement (LSM). Gerakan ini dibangun oleh orang-orang yang berkehendak baik dengan tujuan yang sama, menjadikan bumi sebagai rumah kita bersama seluruh ciptaan. Di Indonesia, Laudato Si’ Movement terbentuk sebagai sebuah chapter, dimulai pada tahun 2020. Bersama Laudato Si’ Movement global, Laudato Si’ Indonesia menyuarakan kampanye antikekerasan, bersama-sama memperjuangkan 3 tujuan utama Laudato Si’ yaitu transformasi spiritual, pertobatan ekologis dan advokasi kenabian.
Transformasi spiritual yang dimaksud adalah bahwa Laudato Si’ Movement Indonesia, sebagai sebuah komunitas pegiat lingkungan hidup berbeda dengan komunitas sejenis yang sudah ada. Setiap orang yang bergerak menyuarakan Laudato Si’ didasarkan pada rasa syukur kepada Allah karena cintaNya hingga Dia menganugerahkan bumi dan seluruh ciptaan kepada manusia untuk dipelihara. Tugas manusia bukanlah menguasai, melainkan memelihara bumi dan masuk dalam persekutuan bersama seluruh ciptaan. Oleh sebab itu sedapat mungkin tindakan kita haruslah mengarah pada kecintaan pada seluruh ciptaan, termasuk sesama kita yang lemah miskin dan menderita.
Laudato Si’ Movement Indonesia juga mendorong terwujudnya gaya hidup baru yang mengarah pada pertobatan ekologis, karena teknologi dan media massa telah mendorong gaya hidup kita yang konsumtif, dan mudah “membuang”. Segala sesuatu yang tidak lagi kita sukai, maka tidak lagi kita gunakan, dan akhirnya kita buang, dan digantikan dengan yang baru, yang lebih kita sukai. Ketika kita membuang, seringkali kita melupakan bahwa semua barang yang kita pakai dibuat melalui proses yang demikian panjang, menghabiskan begitu banyak sumber daya alam, melibatkan banyak buruh dalam pengerjaannya, dan jejak karbon yang dihasilkan dari transportasi dari pabrik hingga sampai ke tangan kita. Ensiklik Laudato Si’ mengajarkan kita untuk bersyukur dan menghargai setiap proses, hal-hal kecil dan sederhana, dan mampu menikmati sukacita secara mendalam tanpa terobsesi dengan konsumsi (ens. Laudato Si’, art. 222)
Kemampuan kita untuk bersyukur atas hal-hal yang kecil dan sederhana, akan membuka mata hati kita terhadap penderitaan mereka yang lemah dan tertindas, yang dalam titik tertentu akan membawa kita pada panggilan untuk memulihkan bumi dan seluruh ciptaan. Semakin kita mampu bersyukur dalam hal sederhana, telinga dan hati kita akan semakin terbuka terhadap jeritan bumi dan jeritan orang miskin. Setiap aksi nyata yang baik yang kita lakukan akan memberikan tekanan positif bagi lingkungan sekitar kita, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat mempengaruhi pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik.
Ensiklik Laudato Si’ menempatkan karya-karya pemulihan bumi sebagai sebuah gerakan pastoral, demikian pula apa yang dilakukan oleh Laudato Si’ Movement Indonesia. Selain sekelompok awam, komunitas ini juga dihidupi oleh pastor, biarawan dan biarawati Katolik yang menganut nilai-nilai yang sama dalam Laudato Si’, yaitu berdasar pada iman, melakukan pendekatan integral, saling peduli satu sama lain, bersifat profetik, berkomitmen pada transformasi spiritual, membangun persatuan dalam keberagaman, dan berada dalam Gereja dan dalam dunia.
Untuk memperbaiki situasi yang begitu kompleks yang dihadapi dunia saat ini, tidak cukup bahwa setiap individu memperbaiki diri. Individu sendirian dapat kehilangan kemampuan dan juga kebebasan mereka untuk mengatasi pola pikir utilitarian, dan akhirnya menyerah kepada konsumerisme tanpa etika dan tanpa kesadaran sosial atau ekologis. Masalah sosial harus diatasi oleh jaringan masyarakat dan tidak hanya oleh seluruh jumlah perbuatan baik individual (ens. Laudato Si’, art. 219)
Gerakan akar rumput yang dihidupi oleh ensiklik Laudato Si’ perlu terus berkembang, supaya dampak positif yang muncul semakin luas. Oleh sebab itu, kami hendak mengajak para pembaca sekalian untuk mulai turut ambil bagian dan berpartisipasi. Komunitas ini terbuka bagi setiap orang yang berkehendak baik. Jadi, mari bergabung dan memulai aksi yang paling mudah yang bisa lakukan untuk memulihkan bumi kita.
Salam Laudato Si’!!!
Disusun oleh Bernadete Eko R/Editor : Sr. Amelia Hendani, FSGM