HIDUPKATOLIK.COM – Minggu,14 Mei 2023 Minggu Paskah V Kis.8:5-8, 14-17; Mzm.66:1-3a, 4-5, 6-7a, 16, 20; 1Ptr.3:15-18; Yoh.14:15-21
KITA mengasihi karena sudah menjadi kodrat kita untuk mengasihi, dan ini adalah kodrat kita karena Roh Kudus telah menjadikannya sebagai kodrat kita. Perkataan John Henry Newman (1801-1890) ini menyiratkan bahwa manusia, tindakan mengasihi dan Roh Kudus adalah tritunggal yang tidak terpisahkan. Tanpa mengasihi, manusia tidak pernah mencapai jati dirinya yang sempurna. Sementara itu, mengasihi secara murni dan sempurna hanya mungkin terjadi jika Roh ilahi hadir dalam diri manusia. Para pengikut Kristus seyogyanya berada pada titik ini. Sebab, mengasihi adalah tindakan yang memperlihatkan secara jelas identitas Kristiani.
Injil Yohanes mencatat sejumlah ajaran Yesus tentang kasih kepada murid-murid-Nya sebelum Dia menyelesaikan hidup-Nya di dunia. Dalam sebuah perikop (Yoh. 14:15-21), Yesus berbicara kepada para murid-Nya tentang ikatan kasih yang tak terpisahkan antara diri-Nya dan Bapa, dan tentang kasih-Nya kepada para murid-Nya. Di dalam Yesus, secara nyata terlihat kepenuhan kasih Allah dan bagaimana kasih Allah mengarah kepada keselamatan manusia.
Mengapa kita perlu mengasihi? Jawaban atas pertanyaan ini pastilah banyak sekali. Salah satunya, sebab dengan mengasihi kita sungguh-sungguh menjadi manusia seutuhnya dan benar-benar seperti Allah. Mengasihi adalah jalan yang membawa kita pada tujuan hidup, yaitu bersatu dengan Allah dan menjadi serupa dengan-Nya. Namun penting diingat, bukan manusia, tetapi Allah-lah yang terlebih dahulu mengasihi, karena Allah bukan hanya sumber, tetapi kasih itu sendiri (1 Yoh. 4:16). Dan tanda nyata kita bersatu dengan Allah adalah ketika kita mampu menjadi saluran kasih Allah dengan cara mengasihi sesama kita.
Jika kita menjadi saluran kasih Allah, maka kasih kita seharusnya tanpa syarat, tidak mementingkan diri sendiri, abadi, dan sepenuhnya diarahkan untuk kebaikan bersama, baik diri kita maupun orang lain. Kasih Allah jelas menyatukan kita dalam sebuah ikatan kesetiaan, persahabatan, dan komunitas yang tak terpatahkan dengan orang lain.
Bagaimana kita tahu bahwa Allah mengasihi kita masing-masing? Jawabannya terletak pada salib. Di kayu salib, kita melihat bukti kasih Allah kepada kita dan harga yang luar biasa yang Allah rela bayar untuk menebus kita dari perbudakan dosa. Yesus menyerahkan nyawa-Nya agar kita dapat memiliki hidup yang berkelimpahan, penuh kasih, dan persatuan secara abadi bersama Allah. Melalui salib, Yesus membuka jalan akan sebuah relasi baru antara Allah dengan kita. Kita kemudian diangkat menjadi anak-anak Allah (Roma 8:14-17).
Kasih yang sejati lebih dari sekadar perkataan indah, perasaan dan niat yang baik, atau positive thinking. Sejatinya, kasih adalah sebuah tindakan. Yesus mengatakan, “Siapa yang memegang perintah-perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (Yoh. 14:21).
Berkata kepada Allah dalam doa, “Aku mencintai Engkau, ya Allah”, belum dapat dikategorikan mengasihi Allah secara penuh. Kasih harus dibuktikan dalam tindakan nyata kepada sesama dalam hidup sehari-hari. Sebab, kasih adalah sebuah ketaatan terhadap Allah dengan menjalankan apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus, Putera-Nya. Kasih sejati kepada Allah dinyatakan dalam ketaatan dan ketaatan nyata dalam kasih.
Selain itu, kasih adalah wujud nyata kehadiran Roh Kudus. Roh Kudus adalah hadiah terbaik yang diberikan Yesus kepada para pengikut-Nya. Ia adalah Penolong, yang membimbing dan menguatkan kita serta membawa kita melewati tantangan dan kesulitan yang harus kita hadapi dalam hidup ini.
Ia adalah Pemberi kehidupan — kehidupan berkelimpahan yang berasal dari Allah dan yang menopang kita selamanya. Ia adalah penuntun ke jalan kebenaran, kebijaksanaan, dan kebaikan. Lebih daripada itu, Roh Kudus adalah pendorong kita untuk tetap setia dan tekun dalam mengasihi sesama dan membawa sukacita dan penghiburan yang berlimpah bahkan di tengah-tengah ujian dan penderitaan kita. Karena itu, mintalah Roh Kudus supaya kita dapat berjalan dalam kasih dan ketaatan kepada Allah.
“Jika kita menjadi saluran kasih Allah, maka kasih kita seharusnya tanpa syarat, tidak mementingkan diri sendiri, abadi, dan sepenuhnya diarahkan untuk kebaikan bersama.”
HIDUP, Edisi No. 20, Tahun ke-77, Minggu, 14 Mei 2023