web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mengapa Alkitab Diterjemahkan Lagi

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Pastor Hertanto, saya baru baca di Majalah HIDUP pada Edisi No. 14/2 April 2023, minggu lalu,  ada terjemahan baru Alkitab hasil kerja sama Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dan Lembaga Biblika Indonesia (LBI0. LAI merupakan lembaga dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sedangkan LBI dari Konferensi Waligeraja Indonesia (KWI). Mengapa harus diterjemahkan ulang. Apakah memang ada yang salah dalam terjemahan yang selama ini dipakai umat?

Leopold, Bogor

Leopold yang baik, penerjemahan Kitab Suci adalah bagian dari usaha melayani baik Sabda Allah maupun umat-Nya.  Maklumlah, bahasa asli Kitab Suci, yaitu Ibrani, Aram, dan Yunani, tidak mudah dipahami oleh orang zaman sekarang. Beda bahasa, ditambah beda budaya itu bisa menimbulkan banyak salah pengertian.

Tugas penerjemah adalah menjembatani kesulitan itu dengan meneliti makna setepat mungkin, atau setidaknya sedekat mungkin dengan aslinya. Tentu tak mudah, bahkan terjemahan harafiahnya belum tentu bermakna sama.  Belum lagi, selain menyangkut kata dan kalimat, penerjemah juga  harus berusaha agar makna teologis dari teks tetap terjaga dan terungkap. Jelas penerjemahan Kitab Suci adalah pekerjaan besar yang memakan waktu dan bahkan tidak pernah benar-benar rampung seratus persen.

Baca Juga:  Renungan Harian 22 November 2024 “Suara Merdu vs Sumbang”

Jadi sebuah terjemahan bisa sungguh-sungguh maksimal, di satu pihak, karena dikerjakan oleh para ahlinya, tetapi juga tetap terbatas, karena selalu ada aspek jarak tertentu yang belum terseberangi.  Toh, keadaan itu bisa dipertanggung jawabkan dan hasilnya sungguh-sungguh bisa dipakai. Sama halnya dalam proses penerjemahan ke Bahasa Indonesia. Seperti dijelaskan Pdt. Anwar Tjen dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), sejarah penerjemahan itu memakan waktu hingga empat abad, terhitung sejak A.C Ruyl  menerjemahkan Injil Matius ke Bahasa Melayu tahun 1629, juga H.C Klinkert (1879) serta terjemahan Perjanjian Baru oleh W.A Bode (1938). Pernah tahun 1958 gabungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hasil dari Klinkert dan Bode diterbitkan secara darurat karena sudah sangat dibutuhkan, meskipun belum selesai benar, sehingga menuntut usaha lebih lanjut. Dalam Gereja Katolik Indonesia, terjemahan misalnya dibuat oleh Pastor J. Bouma SVD, Pastor Wahjosudibjo, OFM dan Pastor C. Groenen, OFM dan terutama berkat dorongan Konsili Vatikan II untuk menerjemahkan Kitab Suci ke bahasa setempat (DV 22 dst) dengan tetap harus berpatokan pada terjemahan kuno yaitu Septuaginta (Yunani) dan Vulgata (Latin). Usaha mereka ini kemudian diteruskan dalam kerja sama dengan LAI yang telah lebih dulu memulai usaha ini. Hasilnya adalah yang kita kenal dengan Kitab Suci Terjemahan Baru, terbit tahun 1974, yang kemudian dilengkapi Kitab Deuterokanonika (1976) dan dipakai sampai sekarang.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Nah, meskipun saat itu merupakan hasil yang maksimal dan baru, toh sekarang Kitab Suci Terjemahan baru Edisi 1974 itu sudah jadi ‘lama’ juga. Sudah terbit Kitab Suci Terjemahan Baru Edisi 2 seperti disajikan dalam Majalah HIDUP. Itu berarti usaha penerjemahan terus berlanjut, bukan karena terjemahan dulu salah, tetapi karena kerinduan untuk melayani Sabda Tuhan mendorong mereka mencari ungkapan yang lebih tepat. Butuh kerendahan hati untuk itu. Itu terjadi juga dalam beberapa terjemahan Kitab Suci di negara-negara lain.

Ada beberapa faktor. Faktor pertama, bahasa itu berkembang, sehingga ungkapan yang dipakai dahulu bisa usang dan kurang dapat dimengerti. Maka perlu penyesuaian, misalnya kata “khamir” dalam hubungannya dengan ragi (Gal. 5:9) atau ‘seiras’ (Kel. 25:19) dalam hubungannya dengan bangunan. Kata-kata itu diterjemahkan menjadi mengembang dan menyatu agar lebih mudah dipahami.

Baca Juga:  PESAN NATAL KWI DAN PGI: “MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM” (LUK 2:15)

Kedua, berkembang pula hasil penelitian terhadap teks dan sumber-sumber asli, sehingga apa yang tadinya masih samar-samar menjadi makin jelas. Misalnya pengertian penyakit kusta: apakah ini sama dengan penyakit Hansen, ataukah sesuatu yang lain, karena ternyata juga muncul pada pakaian, bahan kulit, dan tembok (Im. 13.47, 59; 14.44, 55).

Ketiga, ada juga perkembangan ilmu tafsir dan ilmu penerjemahan yang memungkinkan makna sebenarnya dari sebuah teks lebih dipahami.

Singkatnya, semua penerjemahan dimaksudkan untuk sungguh-sungguh melayani Sabda Allah dengan setia. Salah pengertian sedapat mungkin dikurangi sehingga makna teks Alkitab yang kaya dapat ditangkap dengan lebih jelas. Salut pada tim LAI dan LBI.

Pengasuh Romo Gregorius Hertanto, MSC

HIDUP, No. 17, Tahun ke-77, Minggu, 21 April 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles