HIDUPKATOLK.COM – Romo Benny, saya ingin mengajukan pertanyaan yang sudah cukup lama saya simpan dalam hati terkiat dengan Sakramen Pembaptisan. Mengapa anak harus dibaptis saat masih bayi?Kenapa tidak sesudah dewasa saja agar anak bisa menentukan pilihan? Apa makna baptis bayi itu? Bayi kan belum mengerti apa-apa?
Crysantia, Jakarta
SERING orang berargumen bahwa pembaptisan yang dilakukan orang tua kepada anak-anaknya saat bayi adalah tindakan yang tidak benar karena seorang menentukan iman itu saat dewasa bukan ketika bayi. Pendapat ini dipertegas juga dengan pemahaman bahwa jika orang tua membaptis bayi artinya orang tua tidak menghargai bayi itu karena dia tidak tahu apa-apa. Benarkah argumen semacam itu?
Pembaptisan bayi dalam Gereja Katolik sudah dilakukan sejak zaman para rasul. Mereka kemudian meneruskan tradisi tersebut sebagai bentuk perutusan mereka oleh Sang Guru, Yesus Kristus: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Selain itu, dalam Kisah Para Rasul tercatat pula kisah pembaptisan yang dilakukan oleh satu keluarga karena mereka percaya akan Yesus (Bdk. Kis. 16:15; Kis. 16:33).
Atas keyakinan tersebut, dasar utama dari pembaptisan bayi yang dijalankan oleh Gereja Katolik adalah kepercayaan bahwa karya keselamatan itu diberikan kepada Allah bagi semua orang, termasuk bayi. Sehingga, Gereja Katolik meyakini bahwa pembaptisan bayi itu perlu diberikan kepada anak-anak karena anak adalah anugerah Allah yang diberikan kepada orang tua dan membutuhkan keselamatan dari Allah. Orang tua pantas untuk menyerahkan anak kepada Allah sebagai bukti rasa syukur yang diterima mereka. Bahkan, mereka tidak boleh menunda pembaptisan bagi anak-anak karena anak-anak pun secara natural mengarahkan diri kepada Allah.
Dalam Tradisi Gereja, pemahaman ini ditegaskan oleh Santo Siprianus dengan mengatakan, “Belas kasih dan rahmat Allah seharusnya tidak ditolak bagi setiap orang yang dilahirkan”.
Selain itu, Tuhan Yesus sendiri dalam Injil secara jelas menegaskan bahwa anak-anak punya hak untuk menjumpai Dia, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Markus 10: 14). Berdasarkan hal tersebut, orang tua memiliki kewajiban untuk membaptiskan bayinya sebagai ungkapan kasih sayang mereka kepada bayi yang dianugerahkan kepada mereka.
Selanjutnya, orang tua membaptiskan bayi mereka adalah sebagai wujud tanggung jawab mereka untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak mereka. Secara kodrati, setiap orang tidak bisa mengatakan dan mengandaikan bahwa anak bisa memilih sendiri setelah dewasa karena ketika masih bayi orang membutuhkan orang tua dalam segala hal. Bayi tidak mungkin bisa makan sendiri, berpakaian sendiri, minum obat sendiri jika sakit, atau melakukan aktivitas sendiri tanpa orang tua.
Dengan kata lain, orang tua tahu yang terbaik untuk bayinya, termasuk juga iman yang telah diyakini mereka. Pemahaman ini telah disampaikan dan diyakini oleh orang tua saat mereka menjawab kesediaan dalam menjalani hidup perkawinan oleh Imam sesaat sebelum mereka menyatakan janji perkawinan mereka, “Bersediakah kalian dengan penuh kasih sayang menerima anak-anak yang dianugerahkan Allah kepada kalian, dan mendidik mereka sesuai dengan hukum Kristus dan Gereja-Nya?”
Namun, di balik penyataan mempelai tersebut, ada pemahaman bahwa orang tua melakukan hal tersebut karena mereka memiliki iman dan keyakinan bahwa anak-anak mereka layak memahami kebenaran iman yang diyakini oleh orang tua.
Akhirnya, pembaptisan bayi dilakukan oleh orang tua dan tidak menunggu mereka dewasa karena anak-anak perlu dikuduskan sejak awal sebagaimana dikatakan oleh St. Gregorius Nazianze dalam Oration on the Holy Baptism: “Apakah kamu mempunyai seorang bayi? Jangan biarkan dosa mengambil kesempatan, melainkan biarlah bayi itu dikuduskan sejak kanak-kanak. Sejak usianya masih dini, biarlah ia dikonsekrasikan oleh Roh Kudus”.
Pengasuh: Romo Yohanes Benny Suwito, Dosen di Institut Teologi Yohanes Maria Vianney dan Universitas Katolik Widya Mandala, Suarabaya