web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Terpilih Jayapura, Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai You: Tuhan “Merampas” Saya dari Keluarga

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – IA hampir menikah, hampir menolak ketika diminta jadi uskup. Terkadang tidak disukai karena selalu berbicara soal kebenaran. Ia menghadapi dua mimpi mamanya soal panggilan. Ia konsen pada dua isu utama dan sudah membaca peta pastoral Keuskupan Jayapura terkait peluang dan tantangan. Terkait semua ini, Uskup Terpilih, Jayapura,  Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai You berbicara kepada HIDUP, Minggu, 8/1/2023.

Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai You (Foto: Dok Keuskupan Jayapura)

Bagaimana cerita awal proses terpilih sebagai uskup?

Pada Senin, 17 Oktober 2022, saya mengikuti rapat yang juga dihadiri Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM di kantor Keuskupan Jayapura. Selesai rapat dan mau pulang ke STFT Fajar Timur, Uskup Leo memanggil saya ingin berbicara hal penting. Kami bertemu di ruangannya dan dia mengatakan saya dipanggil Nuncio, Mgr. Piero Pioppo di Jakarta dengan pesan secepatnya dan jangan ditunda. Akhirnya hari Rabu, 19 Oktober saya ke Jakarta dan esoknya bertemu Nuncio. Sambil berbicara banyak hal lalu Nuncio mengerucut pada tujuan saya dipanggil. Katanya, “Pastor Yanuaris, Anda dipilih jadi Uskup Jayapura.” Waktu itu saya kaget dan tidak menyangka bahwa pilihan ini mendadak. Saya belum siap. Dalam hati menolak pilihan ini karena ketidaklayakan saya. Melihat kecemasan ini, Nuncio meminta saya mencari jawaban dengan berdoa di kapel kedutaan dengan pesan hanya ada satu jawaban yaitu setuju. Karena hanya itu satu-satunya jawaban dan pesan Bapak Suci bahwa penunjukkan ini sudah final, tidak diperdebatkan lagi. Setelah 15 menit saya berdoa, saya berani mengatakan ya. Dalam doa, saya mohon bantuan Tuhan dan Bunda Maria. Saya pasrah, tetapi percaya Tuhan mengasihi saya: “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”

Sebelumnya apakah ada perasaan?

Secara pribadi tidak ada tetapi harapan menjadi imam dan uskup itu datang dari sebuah mimpi dari Mama. Waktu masih bujang, pada haid pertama sesuai tradisi Suku Mee, Paniai bagi seorang perempuan remaja yang beranjak dewasa, Mama bermimpi dua hal. Pertama, kelak ketika menikah akan ada satu anak lelaki jadi pastor. Kedua, ia melihat seorang seperti malaikat (“roh baik”) mendatanginya dan mengatakan Mama akan membawa tongkat seperti tongkat uskup ditancapkan di depan pastoran Paroki St. Fransiskus Asisi APO, paroki kami. Cerita ini berlalu begitu saja sampai ia menikah dan mendapatkan enam anak laki-laki. Kepada anak-anaknya, Mama menceritakan mimpi itu, dan saya mengatakan saya yang akan jadi pastor. Soal mimpi kedua, saya tidak gubris karena saya berpikir jadi pastor cukup. Tetapi beberapa tahun setelah jadi imam, Mama mengingatkan lagi, “Anak ingat mimpi kedua Mama itu akan tercapai. Anak lihat saja…” Bahkan pada perayaan Pesta Perak Imamat tahun 2016 di Katedral Jayapura, Mama yang hadir dalam Misa juga mengatakan hal yang sama. “Anak, ini Mama ikut Misa terakhir karena setelah itu Tuhan akan panggil Mama. Tapi, anak ingat mimpi Mama belum selesai dan akan terwujud dalam waktu dekat.” Ternyata mimpi itu betul. Saya dipilih jadi uskup. Meski Mama sudah meninggal, saya mau katakan terima kasih, karena kehendak Tuhan yang istimewa ini.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Sejak kapan sudah berkeinginan jadi imam?

          Sejak kelas 1 SD saya sudah ingin jadi pastor. Rumah kami seringkali tempat singgah para pastor, suster, dan bruder, tetapi ketika ke gereja saya melihat para pastor itu pelit. Mereka tidak bagi-bagi hosti kepada anak-anak seumuran saya. Akhirnya pada hari Minggu ketika orang tua ke gereja, saya berinisiatif mengumpulkan anak-anak dan buat “misa” dengan saya berperan sebagai pastor cilik dengan menggunakan daster Mama, lalu gorengan petatas sebagai hosti dan air teh sebagai anggur. Anak-anak selalu senang ikut “misa” yang saya buat karena mereka bisa makan gratis, daripada ikut Misa dari pastor di gereja. Itu berlangsung bukan sekali dua kali tetapi beberapa kali. Dari pengalaman kecil itu, banyak orang berpendapat saya berkeinginan kuat jadi pastor.

Bagaimana cerita soal rencana pernikahan?

          Saya pernah dijodohkan orang tua dengan seorang perempuan yang saya tidak kenal ketika saya selesai dari SPG. Waktu itu calon istri sudah masuk rumah, dan dalam tradisi suku kami pantang untuk menyuruhnya kembali. Pihak keluarga sudah mengatur pernikahan tinggal penyerahan mas kawin dan kami menikah. Saat hari itu tiba, saya masih sangat ingin jadi imam. Saya berdoa kepada Tuhan untuk memberi tanda dan kalimat seperti apa yang saya ucapkan supaya mereka tidak memukul atau memanah saya. Kalau mengatakan tidak mau itu berarti menurunkan martabat keluarga besar dan pasti perang, apalagi sebagai anak lelaki tertua. Tuhan dengar doa saya dan memberi alasan yang pada akhirnya diterima. Alasannya: sudah selesai pendidikan, tetapi belum mendapat SK tugas. Kalau begitu sudah pasti belum digaji, tidak dapat jatah beras, tidak punya rumah, tidak punya kebun, dan tidak punya semuanya. Lalu bagaimana saya menghidupi istri kelak? Alasan ini awalnya ditanggapi dengan perdebatan sengit dua pihak, tetapi akhirnya setuju dengan catatan dua minggu saya mengurus surat-surat itu. Kesempatan dua minggu itu saya melarikan diri ke Nabire lalu ke Jayapura dan mendaftar ke STFT Fajar Timur. Saya ikut pendidikan calon imam. Meski keluarga kecewa dan marah, tetapi ini jalan Tuhan. Dalam refleksi pribadi, saya merasa Tuhan “merampas” saya dari tengah keluarga.

Baca Juga:  Renungan Harian 20 November 2024 “Waspadai Iri Hati”
Mgr. Yanuaris Theofilus Matopai bersama para ibu di Papua.

 Setelah jadi uskup, isu apa saja yang menjadi perhatian nanti?

          Saya seorang yang memiliki konsen terhadap karya pendidikan dan kesehatan. Syukur bahwa pendahulu saya memiliki konsen dengan hadirnya berbagai sekolah seperti Sekolah Tinggi Teologi Katolik, Sekolah Pastoral Kateketik, Seminari Tinggi dan Menengah, SMAK dan Sekolah-sekolah dibawah YPPK, serta SMA Oikumene. Sementara karya kesehatan itu seperti RS Dian Harapan, RS. Provita; ada juga Pantai Asuhan Hawai dan Palomo; Balai Pengobatan Workwana Kerom, serta beberapa asrama putera dan puteri. Pendidikan dan kesehatan ini saya merasakan sangat penting karena cukup memperihatinkan. Tingkat partisipasi umat di pedalaman untuk bersekolah masih minim, apalagi daerah yang rawan konflik dengan akses sulit dijangkau. Belum lagi pola pikir orang tua bahwa tidak penting itu pendidikan. Sehingga di usia harusnya duduk di bangku sekolah, justru ada yang sudah menikah dan menggendong anak. Jadi ke depannya dua bidang ini akan menjadi prioritas di samping bidang lainnya.

Sejauh mana relasi dengan para pastor, suster, bruder, dan katekis di Jayapura?

Secara pribadi saya tidak ada masalah dengan mereka. Saya selalu mencoba hadir sebagai sahabat bagi mereka. Relasi internal sampai hubungan saling bekerja sama berjalan baik. Selama jadi pastor juga saya mencoba berkomunikasi baik dengan mereka. Tetapi satu hal yang mungkin pernah menyakiti hati mereka adalah soal prinsip kebenaran. Saya seorang yang tegas dalam hal prinsip dan nilai. Tidak pernah ada kompromi soal sebuah kesalahan. Salah itu harus ditegur dan diperbaiki, tidak boleh membiarkan kesalahan itu berlarut-larut. Mungkin karena nama saya “Matopai” (memegang teguh prinsip kebenaran), khususnya soal kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian. Meski terkadang mereka memberi kesan saya terlalu tegas dan kaku, tetapi itu nilai yang harus diperjuangkan.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Saat ini, apa peluang dan tantangan utama pastoral?

Saya sebutkan beberapa peluang pastoral seperti Gereja Jayapura masih dipercaya sebagai lembaga yang memegang teguh moralitas; Umatnya masih sangat terlibat dalam hidup menggereja; Gereja masih menekankan persekutuan dan relasi baik dengan pemerintah, Gereja lain, dan agama lain; serta dengan pemekaran kabupaten dan provinsi baru membuka isolasi bagi wilayah pastoral yang jauh. Sementara tantangan utama adalah dengan ada pemekaran maka di satu sisi butuh banyak katekis, tenaga medis, dan guru, tetapi di sisi lain mereka lebih ingin tugas di kota. Tantangan lain adalah perkembangan teknologi dengan perubahan fisik (infrastruktur) tetapi kesiapan mental manusia Papua belum. Bidang lain misal ekonomi, mayoritas umat Jayapura itu ada di pedalaman dengan rata-rata di bawah garis kemiskinan. Belum lagi konflik yang sering terjadi antara ideologi NKRI melawan ideologi Papua Merdeka. Isu lain adalah di Papua saat ini banyak sekali TNI sehingga memberi kesan Papua tidak aman, sudah siaga satu. Konsekwensinya banyak guru, tenaga medis, atau katekis dari luar Papua enggan bertugas di pedalaman karena merasa wilayah itu tidak aman.

Apa harapan untuk umat Papua?

          Saya anak asli Papua, tetapi tidak menjadi uskup khusus bagi orang Papua. Saya adalah uskup bagi Gereja universal: baik pribumi maupun pendatang yang bernaung di bawah Gereja Lokal Keuskupan Jayapura. Maka saya harus membuka diri bagi semua umat dan berharap bisa berjalan bersama-sama membangun Gereja yang mandiri dengan ciri khas misioner. Sebagai gembala yang suka di lapangan, berada di tengah umat dengan merasakan susah dan senangnya umat lewat pastoral kehadiran, maka tidak ada alasan untuk dekat hanya dengan satu suku saja. Ke depannya saya selalu berusaha menghindari pastorsentris, selalu memberi tanggung jawab dengan melibatkan umat di setiap pelayanan agar mereka bisa merasa dihargai dan dicintai oleh gembalanya.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 03, Tahun ke-77, Minggu, 15 Januari 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles