web page hit counter
Sabtu, 23 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Tepuk Tangan Saat Misa Adalah Produk Kebosanan dalam Misa

5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM“Applause is a product of boredom during Mass, noting that it reduces the Liturgy to a source of entertainment rather than a spiritual encounter with Christ.” (Archbishop Socrates Villegas of Lingayen-Dagupan-Philippines)

“Tepuk tangan adalah produk kebosanan selama Misa, jelas bahwa hal itu mengubah Liturgi menjadi sumber hiburan daripada perjumpaan spiritual dengan Kristus.”

Pesan yang bijak dan sangat mendalam. Mungkin sebagian di antara kita menganggap tepuk tangan ketika imam selesai berkhotbah atau ketika ucapan terima kasih diberikan kepada petugas liturgi maupun kepada para penderma adalah hal yang wajar, sebuah penghargaan namun baiklah kita juga merenungkan nasehat bijak dari Paus Pius X dalam sebuah biografi yang ditulis oleh F.A. Forbes yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1918, dimana Paus Pius X tidak mengijinkan tepuk tangan di halaman Basilika Santo Petrus;

“It is not fitting that the servant should be applauded in his Master’s house.” (Tidak pantas seorang hamba mendapatkan tepuk tangan dirumah Tuan atau Gurunya.)

Baca Juga:  Perlu Peningkatan Kapasitas, Unio Regio Makassar-Amboina-Manado Adakan Pelatihan Motivasi dan Kepemimpinan kepada Para Imam

Dari sini kita bisa melihat bahwa ajakan untuk tidak bertepuk tangan dalam misa dengan alasan apapun sudah sejak lama bahkan sebelum Konsili Vatikan II tidak diizinkan.

Paus Benedictus XVI dalam tulisannya tentang Semangat Liturgi menegaskan demikian, “Di mana pun tepuk tangan bergemuruh dalam Liturgi karena beberapa pencapaian manusia, itu adalah sebuah yang jelas bahwa esensi liturgi sudah dihilangkan secara total dan digantikan oleh semacam hiburan religius.”

Ajakan dari para Paus dan Uskup kita untuk tidak bertepuk tangan dalam misa sejatinya mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa merayakan Ekaristi bukan untuk memenuhi keinginan dan rasa perasaan kita pribadi melainkan memuji dan memuliakan Tuhan. Dalam nyanyian dan doa-doa yang dipersembahkan untuk memuji dan memuliakan Tuhan sejatinya juga menjadi ungkapan syukur dan terimakasih bagi kita yang memuji dan memuliakan Dia melalui nyanyian dan doa.

Kita menghadiri perayaan Ekaristi sebagai satu Gereja dan bukan sebagai kelompok entah itu kelompok koor, pemazmur, lektor, pembawa persembahan dan lainnya. Maka ketika memberikan tepukan tangan pada satu kelompok karena pelayanan mereka, sejatinya kita sedang membuat perbedaan antar sesama umat dengan mengagumi yang satu karena pelayanan dan yang lainnya tidak.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga dari Sinode ke Sinode, Terus Bertumbuh dan Berakar

Demikian juga dengan ucapan terimakasih kepada para penderma dan donatur. Yang dibutuhkan oleh para penderma atau donatur adalah inspirasi peneguhan dan penguatan dari kita melalui homili dan bukan dengan tepukan tangan karena kedermawanan mereka.

Kita menginspirasi mereka agar tetap fokus kepada Allah sebagai harta yang tidak ngengat dan tidak rusak. Maka ucapan terimakasih untuk mereka sama seperti petugas Liturgi lainnya bisa dilakukan secara personal entah melalui text ataupun sapaan dan kunjungan secara pribadi. Ucapan terima kasih secara personal lebih menyentuh dan meneguhkan mereka. Karena hanya Allah saja yang menjadi pusat dari Ekaristi dan segala kemuliaan hanya kepada-Nya saja diarahkan.

Uskup Agung Villegas menekankan sifat Misa Perayaan Syukur namun juga sebagai Peringatan Kalvari. Siapa yang akan bertepuk tangan di Kalvari? Apakah Bunda yang Terberkati dan Yohanes yang Terkasih ikut bertepuk tangan ketika di Kalvari tepat di kaki salib Yesus? Pemecahan Tubuh Kristus adalah peringatan akan kematian kejam yang dialami Tuhan. Siapa yang bertepuk tangan sementara yang lain kesakitan? Sakit dengan cinta; “ya, tapi tetap sakit.”

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

Para Paus dan Uskup kita telah memberikan ajakan yang baik dengan refleksi yang bijak dan mendalam untuk pertumbuhan iman kita saat kita menghadiri Perayaan Ekaristi. Semua kembali kepada kita sebagai umat beriman (para hamba); “menjadikan Ekaristi untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan kita atau perjumpaan spiritual dengan Tuhan.”

Semoga kita tidak menjadikan kejenuhan dan kebosanan kita sebagai alasan untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginan kita sendiri atau memprotes ajakan maupun pedoman yang tidak mewakili keinginan pribadi kita.

Manila, 25-Januari, 2023
Tuan Kopong, MSF

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles