HIDUPKATOLIK.COM -“GAUDET mater – Bunda Gereja bersukacita, karena oleh satu karunia istimewa Penyelenggaraan Ilahi, hari yang sudah lama dinantikan itu akhirnya sampai juga.” Dengan kalimat ini pada tanggal 11 Oktober 1962 Paus Yohanes XXIII membuka Konsili Vatikan II, 60 tahun lalu.
Dalam alamat pembukaan itu Yohanes XXIII menggambarkan visinya mengenai Konsili yang secara meriah ia buka itu.
Ia ingin suatu Konsili yang tidak menghukum, melainkan mencari dialog, suatu Konsili yang menjadi Pentekosta Baru bagi Gereja, yang membuka jendela, agar angin segar bisa masuk ke dalam Gereja dan membaruinya.
Paus sendiri bicara tentang Aggiornamento yang ia harapkan dari Konsili yang dikenal sebagai Konsili Vatikan II. Sebab itu ia mengharapkan suatu Konsili yang bersifat pastoral, yang mendengarkan umat dan juga orang yang tak beriman dan setelah mendengarkan mereka, menyampaikan kabar gembira mengenai Yesus Kristus dan karya-Nya dalam bahasa yang relevan yang dapat dimengerti dengan gampang, karena sesuai dengan cara dan gaya yang umumnya dipakai pada dewasa ini dalam pelbagai budaya yang berbeda.
Ketika pada Januari 1959 Paus Yohanes XXIII memaklumkan bahwa ia mau mengadakan suatu Konsili, ada sejumlah uskup dan terutama juga para pemimpin dalam Kuria Vatikan yang tidak senang dan tidak setuju dengan rencana ini. Mereka berpendapat ajaran iman Katolik sudah dirumuskan dengan sangat jelas dan mereka sendiri sebagai pimpinan sentral Gereja Katolik mempunyai tugas untuk menjaga kemurnian rumusan itu. Tidak perlu suatu Konsili yang mengganggu kenyamanan itu.
Setelah jelas bahwa Konsili itu tidak bisa dihindarkan lagi, maka para kardinal dalam Kuria Romana merancang strategi baru, mereka mau menyiapkan semua dokumen yang mau dikeluarkan Konsili itu dan mengadakan suatu “konsili kilat”. Seturut pikiran mereka, para uskup akan berkumpul, mendengarkan hasil teks-teks yang disiapkan, menandatangani dan dengan demikian mensyahkan semua dan sesudah beberapa minggu, atau paling lama beberapa bulan, mereka bisa pulang dan konsili selesai.
Dalam kenyataan Konsili Vatikan II itu jadi lain sekali. Para uskup sejak dari permulaan menjadi sadar bahwa mereka yang mempunyai peran sentral dan merupakan pemegang kuasa tertinggi selama mereka berkumpul sebagai Konsili. Mereka menolak hampir semua skemata – teks-teks yang disediakan – dan dalam suatu usaha raksasa selama tiga tahun, Konsili menyusun dan menghasilkan empat konstitusi, sembilan dekrit dan tiga pernyataan.
Pandangan Baru
Dengan bekerja keras selama tiga tahun, sejumlah besar teolog dan uskup menghasilkan sejumlah pandangan baru mengenai hidup, tugas dan peran Gereja dalam dunia dewasa ini. Yang paling langsung dirasakan oleh umat kebanyakan ialah pembaruan liturgi yang dihasilkan oleh Konsili dan oleh proses pembaruan liturgi sesudah Konsili itu.
Bisa dikatakan, alih-alih menjadi objek dari perayaan misa, melalui pembaruan liturgi itu umat menjadi subjek-nya. Imam tidak lagi merayakannya atas nama jemaat, tetapi terutama bersama jemaat: ia dan umat, sembari memainkan peran yang berbeda, merupakan aktor-aktor di atas pentas.
Perubahan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa nasional juga menyatakan cara Gereja mendefinisikan dirinya sebagai suatu persekutuan jemaat-jemaat. Setiap Gereja lokal adalah keseluruhan Gereja di tempat bersangkutan: ia bukan suatu cabang yang dikelola dari pusat di Roma.
Pelaksanaan Gereja yang paling nyata dan paling penuh ialah umat setempat yang bersama pastornya, yang merupakan tanda kehadiran Kristus sebagai kepala Gereja, merayakan ekaristi dalam bahasa dan dengan gaya yang mereka kenal, yang sesuai dengan budaya dan identitas mereka.
Pembaruan
Selain itu Konsili Vatikan II membawa beberapa pembaruan yang penting dalam relasi dengan dunia dewasa ini dan dengan pluralitas agama dalam dunia dewasa ini. Konsili mengakui kebebasan beragama, mendukung dialog dengan agama-agama non-Kristen dan dialog ekumene dengan Gereja-Gereja non-Katolik. Begitu juga dengan sangat nyata, Konsili mengambil sikap positif terhadap demokrasi dan menegaskan peran Gereja sebagai suara profetis yang mesti memperjuangkan keadilan sosial bagi semua orang.
Selama Konsili kalangan uskup konservatif berusaha untuk memperoleh perubahan dan rumusan dalam teks-teks yang seringkali mengaburkan arah pembaruan itu. Sesudah Konsili itu selesai, terjadi kontroversi dalam penafsiran atas teks-teks Konsili itu. Baik golongan konservatif, maupun kelompok progresif dalam Gereja menekankan aspek-aspek dalam teks-teks Konsili itu yang sesuai dengan haluan mereka masing-masing.
Terutama terjadi lagi suatu resentralisasi pimpinan Gereja dengan fokus dan pusat kuasa dalam Kuria Romana. Konsili Vatikan II tidak mau menyibukkan diri dengan soal hukum Gereja. Persoalan hukum diserahkan kepada komisi pembaruan hukum Gereja yang mau dibentuk sesudah Konsili.
Sesudah Konsili ditutup, para uskup kembali ke tempat masing-masing dan Kuria Romana meminpin dan mengatur proses pembentukan komisi pembaruan hukum dan arah dari kerja dan proses itu. Alhasil Kodex Hukum Kanonik yang disyahkan tahun 1983 lebih sentralistis daripada Kodex tahun 1917.
Misalnya selama konsili berlangsung, dianjurkan agar buku-buku liturgi diatur dan disyahkan oleh konferensi para uskup nasional seturut pedoman umum yang diberikan oleh Kongregasi Liturgi di Vatian. Sekarang terjemahan pun harus disyahkan oleh Kongregasi Vatikan dan semakin kuat didesak, agar setiap terjemahan meniru bahasa Latin.
Mencari Solusi
Apa yang perlu kita buat sekarang ini dengan perkembangan Gereja 60 tahun sesudah terbukanya Konsili Vatikan II? Paus Fransiskus ingin menekankan sinodalitas Gereja, usaha untuk bersama-sama mencari solusi, juga dengan sungguh-sungguh mengangkat posisi dan tekanan yang berbeda di dalam Gereja.
Semua orang bisa merasakan bahwa Gereja Katolik berada dalam suatu krisis yang besar, sebab itu baik umat maupun para pemimpin perlu berusaha untuk mendengarkan apa yang mau dikatakan Roh Kudus kepada mereka melalui tanda-tanda zaman. Kita tengah berada dalam proses sinode menuju sinode para uskup di Roma nanti bulan Oktober tahun depan, yang membicarakan secara khusus sifat sinodal dari Gereja.
Kita perlu secara aktif turut serta dalam proses itu dan mencari jalan bagaimana kita bisa mewartakan kabar gembira dan memberikan kesaksian mengenai Kristus dan karya-Nya di tengah situasi sosial-budaya dalamnya kita hidup pada zaman sekarang ini dan di tempat kita yang konkret.
Gereja Katolik berada dalam suatu krisis yang besar, sebab itu baik umat maupun para pemimpin perlu berusaha untuk mendengarkan apa yang mau dikatakan Roh Kudus kepada mereka melalui tanda-tanda zaman.
Pastor Georg Kirchberger, SVD , Dosen Teologi di IFTK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
HIDUP, Edisi No. 44, Tahun ke-76, Minggu, 30 Oktober 2022