web page hit counter
Kamis, 19 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Haram dan Halal dalam Katolik

4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM Romo Benny, di agama saudara-i kita, terdapat aturan tentang haram dan halal. Mereka menjalankannya secara ketat. Dalam hati saya muncul pertanyaan, mengapa di Agama Katolik tidak ada istilah haram dan halal? (Agustinus Soetioso, Semarang)

MESKIPUN dalam Gereja Katolik kata haram dan halal jarang terdengar, masyarakat secara umum peduli akan istilah tersebut, belum lagi semakin hari di masyarakat, seperti di restoran- restoran ada logo “halal” yang terpasang. Lalu, “mengapa Gereja Katolik tidak terlalu memperhatikan hal tersebut?”

Kalau ditelisik dari dalam Kitab Suci, budaya “halal“ dan “haram” itu memang ada, terutama dalam Perjanjian Lama. Contoh yang paling sederhana adalah dalam Kitab Makabe. Dikisahkan bahwa Eleazar seorang ahli Taurat dipaksa untuk makan babi sehingga ia pun kemudian memuntahkan kembali karena “mengutamakan kematian terhormat dari pada hidup ternista” (2 Mak. 6:19). Selain itu dikisahkan pula dalam Kitab Makabe bahwa ada tujuh orang bersaudara ditangkap dan disiksa untuk makan daging haram (Bdk. 2 Mak 7).

Baca Juga:  75 Tahun RSBM: Akan Terus Setia Melayani

Bahkan jikalau kita kembali Kitab Imamat, ada daftar makanan haram dan halal yang diserukan oleh Allah sendiri kepada Musa: “Katakanlah kepada orang Israel, begini: Inilah binatang-binatang yang boleh kamu makan dari segala binatang berkaki empat yang ada di atas bumi…” (Im. 11:2).

Namun, jikalau kita jeli pada ajaran akan larangan tentang makanan halal dan haram pada waktu itu, kita akan tahu bahwa sesungguhnya ajaran ini muncul karena Allah ingin menegaskan tentang siapa bangsa Israel, yaitu bangsa pilihan Allah yang kudus dan berbeda dengan bangsa lain. Inilah mengapa pada Kitab Ulangan, sebelum memberikan perintah tentang larangan tersebut, Allah menyatakan: “sebab engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan, Allahmu, dan engkau dipilih Tuhan untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi” (Ul. 14:2).

Meskipun Perjanjian Lama memunculkan persoalan tersebut, perbincangan halal dan haram dalam Gereja Katolik tidak terdengar atau bahkan tidak ada. Hal tersebut terjadi karena Gereja Katolik sejak para rasul berpegang pada ajaran Yesus Kristus sendiri.

Baca Juga:  Air Sumber Kehidupan: Pelajaran Berharga dari Desa Sumber

Dikatakan bahwa Tuhan Yesus mengritik orang Farisi yang menuduh bahwa para murid tidak mengindahkan tradisi dan menyebut najis ketika makan tanpa membasuh tangan terlebih dahulu: “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” (Mrk. 7: 18-19).

Atas dasar inilah mengapa kemudian bagi orang Katolik hal yang utama dalam kehidupan bukan soal makanan, bukan soal apa yang masuk dalam perut, tetapi bagaimana orang itu mengupayakan hidup dengan bantuan rahmat Allah menjadi orang beriman yang sejati.

Selain itu, tiadanya pemahaman halal dan haram yang telah diajarkan oleh Tuhan itu, Gereja Katolik mau menegaskan bahwa iman Katolik lebih memberikan perhatian lebih besar pada tata batin atau hati manusia sebagaimana Tuhan mengatakan: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran yang jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinaan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7: 20-22).

Baca Juga:  Paus Fransiskus dan Citra Hidup Ideal

Itulah mengapa Gereja mengharapan umat beriman selalu waspada pada dosa yang timbul dan lahir dari hati manusia dan dapat membuat manusia jauh dari Allah seperti tujuh dosa pokok, yaitu sombong, tamak, iri, marah, hawa nafsu, rakus, dan malas.

Oleh sebab itu, tak salahlah jika Santo Paulus pun mengatakan: “aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis” (Rom. 14:14).

HIDUP NO.06, 6 Februari 2022

 

Romo Yohanes Benny Suwito Pr 
(Dosen Teologi Institut Teologi Yohanes Maria Vianney, Surabaya)

 

Silakan kirim pertanyaan Anda ke: [email protected] atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles