web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mgr. Petrus Riana Prapdi, Terus Setia seperti Burung Enggang

5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM PELAYANAN dalam kasih (Serviens in Caritate) adalah buah dialog antara Yesus Kristus dengan Petrus (Bdk. Yoh. 21:15-18) yang juga merupakan moto episkopal Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi. Buah dialog ini dilambangkan dengan dua ekor burung Enggang (burung khas Kalimantan), simbol eksistensi masyarakat Dayak yang melambangkan perdamaian, pengharapan, dan kesejahteraan.

Dalam perjuangan menancapkan iman kekatolikan di Tanah Dayak, Mgr. Pius Riana Prapdi diharapkan seperti burung Enggang yang terus setia. Ia menjadi simbol kebesaran Gereja, kehadirannya membawa perdamaian, sayap-sayap tebalnya melambangkan seorang gembala yang selalu berada dekat umat. Ekor panjang sebagai tanda sukacita umat beriman.

“Burung ini melambangkan kesetiaan, dijadikan contoh kehidupan keluarga di masyarakat agar senantiasa saling mencintai dan mengasihi panggilan hidup hingga menjadi pribadi yang mandiri dan dewasa dalam iman,” ujar Yanuaris Paulus, umat Paroki Katedral Ketapang saat diwawancarai via telepon, Selasa, 30/8/2022.

Baca Juga:  Pementasan Teater dan Konser Mini “Bukan Pahlawan Biasa” SMA Karya Budi Putussibau

Sosok Sederhana

Yanuaris mengatakan, kesetiaan Mgr. Prapdi dalam melayani umat bisa digambarkan dengan kehadiran dan keterlibatannya di tengah-tengah umat. Ia selalu menyempatkan waktu untuk mendengarkan masukan dan keluhan umatnya. “Sesibuk apapun, Bapak Uskup pasti selalu hadir dan memberi nasihat spiritual kepada umatnya. Tak bosan mengingatkan umat agar terus mempertahankan iman di tengah gempuran perkembangan zaman,” ujarnya.

Ia menambahkan Mgr. Prapdi itu bukan uskup yang suka berlama-lama di Wisma Keuskupan. Ia seorang yang gemar jalan-jalan bertemu dan bercerita dengan umat. Kadang-kadang juga datang ke rumah atau paroki tanpa memberitahu sehingga umat yang ada di tempat tersebut kelabakan mempersiapkan makan-minum dan sebagainya.

Baca Juga:  Keuskupan Sibolga Lima Tahun ke Depan

“Pernah dalam sebuah kesempatan ia berkunjung ke rumah kami merayakan ulang tahun orang tua kami. Meskipun sekadar jalan-jalan, tetapi sapaan kasihnya membuat keluarga begitu dikuatkan. Senyumnya menguatkan masa-masa senja orang tua kami,” cerita Yanuaris.

Hal yang sama disampaikan Putra Aldo Jetantan dari Paroki Maria Assumta Tanjung, Ketapang. Ia mengatakan Uskup Prapdi seorang yang sederhana dalam tutur kata dan dalam berpakaian. Ia menjadi sosok luar biasa bukan karena gaya kepemimpinannya tetapi karena kesederhanaan yang terpancar dari hatinya. Ia tidak pernah berpikir soal kenyamanan diriya, tetapi selalu berpikir tentang umatnya. Soal pelayanan, Mgr. Prapdi juga sudah selesai dengan dirinya. Ia tulus membantu umat kecil dengan banyak program pemberdayaan.

Baca Juga:  MAJALAH HIDUP EDISI TERBARU, No. 47 TAHUN 2024
Mgr Pius Riana Prapdi, Ketua Komisi Kepemudaan KWI.

“Saya menilai Bapak Uskup itu sederhana dan karena itu dia tidak takut bila dibenci. Dia bebas melayani tanpa memiliki kepentingan apapun. Hanya satu kepentingannya yaitu menjadi gembala yang baik bagi umatnya,” ujar Putra.

Putra ingat dalam sebuah kesempatan, Mgr. Prapdi berkunjung ke parokinya. Saat itu ada tempat khusus paling depan yang disediakan untuknya. Tetapi ia justru mengambil posisi paling belakang dan dekat dengan umat dan anak-anak kecil.

“Saya punya pengalaman bahwa Bapak Uskup Prapdi sangat mencintai anak-anak dan kaum muda. Jiwa kebapakannya sangat terasa dan punya anak-anak pun demikian sangat senang dekat dengan gembala mereka,” ujar Putra.

Tiga Pesan   

          Pastor Blasius Suhanedi Kusmantoro yang baru saja menerima tahbisan imamat pada Agusus 2021 lalu menambahkan, Uskup Prapdi meskipun bukan anak Dayak, tetapi hati dan panggilannya untuk masyarakat Dayak. Ia sangat memahami kebutuhan umatnya, dan sangat ingin melayani dengan tulus hati kepada umat yang berada di daerah terjauh dari Kota Ketapang. Hal itu bisa dirasakan setiap kali turnei ke paroki-paroki terjauh, Mgr. Prapdi akan begitu bersemangat. Ia sangat gembira dan mau duduk makan, menari, bercocok tanam, atau sekadar bercerita dengan umat. Semua pekerjaan itu dijalani dengan kegembiraan.

Kebiasaan seorang gembala yang mau berjalan bersama umat, itulah yang diharapkan Mgr. Prapdi kepada para imamnya. Uskup tak segan-segan menegur para imam yang enggan terlibat dalam kehidupan umat beriman. Apalagi imam yang malas mengunjungi umat hanya karena jauh atau jalanannya rusak dan becek.

“Melayani di Ketapang adalah sebuah tantangan tetapi Mgr. Prapdi telah memberi contoh bagaimana seorang pelayan harus melayani dengan setia dan tidak ada keterpaksaan dalam pelayanan. Seorang imam harus rela berkotor tangan demi menumbuhkan Kerajaan Allah di tengah umat,” sebut Pastor Blasius yang kini bertugas di Paroki St. Martinus, Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang.

Dalam sebuah kesempatan, Pastor Nikodemus Jimbun, CP selaku Provinsial CP Indonesia juga memberi pandangannya tentang Mgr. Prapdi. Ia mengatakan ada tiga hal yang menjadi kekuatan Uskup setiap kali memberi nasehat adalah selalu mengajak umat merefleksikan militansi iman, orientasi hidup, dan pelestarian keutuhan ciptaan.

Munculnya perkebunan monokultural dan eksplorasi tambang mengubah pola hidup masyarakat. Berkurangnya lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan membuat masyarakat petani menjadi pekerja atau buruh dengan gaji dan upah minim. Pola relasi masyarakat perlahan-lahan berubah, dan salah satu akibatnya adalah kerja lembur lebih menarik daripada mengikuti Misa.

Selain itu, orientasi umat beriman mulai berubah-ubah. Ada pola pikir menjadi PNS adalah prioritas anak muda, lalu menjadi pekerja tambang dan di perusahaan adalah prioritas kedua. Panggilan menjadi biarawan-biarawati atau katekis, ketua umat, atau pelayan pastoral lainnya bukan prioritas, dan kalau bisa dihindari. Akibatnya kegiatan hidup menggereja menjadi kering. Orang ke gereja bukan karena kebutuhan karena keterpaksaan sebagai pengikut Kristus.

Selalu Setia

Uskup Prapdi sendiri kini genap 10 tahun menjadi uskup Ketapang. Peristiwa menggembirakan dilihat Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus sebagai kesempatan untuk merefleksikan soal kesetiaan sebagai seorang gembala. Uskup Agus mengatakan, Keuskupan Ketapang sangat bersyukur memiliki seorang uskup yang memiliki pemahaman pastoral yang holistik. Pengetahuan pastoral itu tidak sekadar di atas kertas, tetapi diwujudkan dalam program-program konkrit.

Mgr. Agustinus Agus/Keuskupan Agung Pontianak

Bagi Mgr. Agus, Uskup Prapdi seorang yang sangat menghargai budaya dan adat istiadat masyarakat Dayak. Ia seperti orang Dayak dan bahkan lebih dari beberapa orang Dayak. Dengan wilayah pastoral yang sangat luas, Mgr. Prapdi berhasil menjangkau yang selama ini belum terjangkau. Medan yang sulit ia lalui berhari-hari demi umatnya.

“Saya sangat paham bagaimana harus melayani umat yang jauh dengan menggunakan mobil, lalu berganti perahu motor, dan berjalan kaki. Medan berat dengan jalan yang tidak mulus karena kubangan lumpur, dan derasnya air sungai membuat pastoral di Ketapang dan keuskupan di regio Kalimantan pada umumnya itu sangat sulit,” ujar Mgr. Agus.

Mgr. Agus berharap di perayaan 10 tahun ini, Mgr. Prapdi tetapi setia pada tugasnya melayani dengan kasih kepada mereka yang kecil, jauh dari sapaan kasih, dan yang menderita, serta para difabel. Harapan lain adalah semoga Mgr. Prapdi terus sehat dan menjadi berkat bagi Tanah Dayak.

Uskup Agus juga berpesan agar dalam kesederhanaan umat, iman terus tumbuh. Belas kasih Allah sangat nyata bahkan pada kesempatan-kesempatan yang tidak disangka. Masyarakat pedalaman di Kalimantan sungguh kuat, karena selalu ada cara untuk merawat iman mereka di tengah keterbatasan seperti buku, kitab suci, teks nyanyi, atau listrik dan signal. Mereka tetap hidup dalam sukacita bukan pertama-tama karena tidak ada akses untuk itu, tetapi karena mereka menyadari ada Tuhan yang menjaga mereka. “Jadi iman itu akan tumbuh dan diteguhkan Ketika kita semua yakin Tuhan selalu menjaga kita, bahkan dalam kesulitan seperti medan pastoral sekalipun.”

Yustinus Hendro Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-37, Minggu, 11 September 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles