HIDUPKATOLIK.COM – Berawal dari sebuah pencurian coklat di suatu minimarket, berujung menjadi berita headline di beberapa media online. Sebuah pencurian yang kecil secara nilai, mungkin juga pernah dilakukan banyak anak sewaktu kecil, tetapi menjadi besar karena peran media sosial ketika video peristiwa tersebut tersebar luas hingga pengacara kondang pun turun tangan.
Di lapangan, tidak hanya dari pengacara, tekanan pun dirasakan oleh si pencuri ketika data-data pribadinya disebarkan oleh netizen di media-media sosial. Ia bukan lagi sekadar wajah asing di berita, tetapi publik pun bisa mengenal teman-teman sekolahnya sampai melihat tempat tinggalnya. Keluarga dan kerabatnya yang lain bisa jadi turut terkena dampak dari penyebaran data itu.
Tindakan doxing ini bukan baru sekali ini terjadi dalam dunia maya negara ini. Bila di jalanan orang yang diteriaki maling bisa langsung ramai-ramai dihajar oleh masyarakat yang emosi, sekarang masyarakat dengan mudah menghakimi seseorang lewat jari jemarinya dengan komentar-komentar tajam mereka.
Seperti hal nya aksi main hakim sendiri di jalanan tidak jarang memakan korban jiwa yang ternyata di kemudian hari diketahui tidak bersalah, tindakan doxing ini pun tidak luput dari jatuhnya korban-korban tak bersalah. Bahkan lebih parah dari aksi main hakim sendiri yang mungkin hanya memakan 1 korban yang saat itu kebetulan menjadi sasaran amuk massa, korban doxing bisa lebih banyak lagi karena merambat pada sanak saudara korban.
Memang aksi doxing sepertinya tidak mengakibatkan luka fisik pada korbannya, namun akibat dari luka psikologis, trauma dan rasa malu akibat cyber bullying yang diderita korban mungkin harus ditanggungnya seumur hidup.
Tindak penghakiman sendiri ini biasanya terjadi ketika hukum dinilai lemah sehingga masyarakat tidak percaya bahwa hukum dapat bertindak dan memberikan hukuman yang adil bagi para korbannya.
Muncul orang-orang yang memosisikan dirinya sebagai ‘penegak hukum’ bagi masyarakat dan tidak segan-segan untuk mengambil tindakan demi membela suatu prinsip yang mereka anggap sebagai sebuah kebenaran.
Lepas dari apakah korban memang bersalah ataupun tidak, namun penghakiman tanpa melalui proses jalur hukum seperti ini sesungguhnya sangat membahayakan baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Beberapa berita menyebutkan kemungkinan pelaku pencurian di minimarket mengidap suatu penyakit kejiwaan.
Sementara di mata hukum orang yang menderita gangguan jiwa bisa jadi memiliki kemungkinan untuk dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatannya dan justru perlu mendapatkan bantuan professional.
Sebuah riset dalam jurnal Organizational Behavior and Human Decision Processes menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, aksi main hakim sendiri ini menjadi salah satu identitas yang dapat memperkuat harga diri positif mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai pihak yang baik dan bermoral.
Mereka tidak peduli bila ada korban tak bersalah akibat tindakan reaktif mereka ini, karena tujuan mereka difokuskan untuk mencegah pelaku kesalahan lain di masa mendatang. Mereka beranggapan biarpun ‘pelaku’ kali ini mungkin tidak bersalah namun hukuman yang mereka berikan kepada ‘pelaku’ dapat membuat calon pelaku lain berpikir dua kali sebelum melakukan hal yang sama.
Mereka bersedia mengabaikan proses hukum yang ada. Mereka ingin dikenal dan mendapatkan apresiasi karena tindakan mereka sebagai penegak hukum ini. Yang menarik ternyata tidak ada hubungan antara gender ataupun identitas politik tertentu dengan kecenderungan Seseorang untuk bertindak sebagai ‘penegak hukum’ ini.
Para peneliti juga menemukan bahwa masyarakat sebenarnya mengenali individu-individu yang membawa identitas sebagai ‘penegak hukum ini’ di tengah-tengah mereka, namun cenderung untuk memberikan mereka panggung yang dibutuhkan.
Anak-anak memuja pahlawan super yang memberantas kejahatan ketika penegak hukum yang sesungguhnya tampak tidak berdaya. Kemenangan para pahlawan super mendorong rasa bangga para penggemarnya seperti seolah-olah mereka turut ambil bagian dalam proses penangkapannya. Netizen bertepuk tangan ketika pencuri yang tadinya mengancam akan menuntut dengan UU ITE ternyata kemudian menangis terisak-isak dan meminta maaf.
Mencuri memang salah dan kesalahan sepatutnya memang mendapatkan hukum yang sesuai. Namun seperti apakah hukuman yang dianggap sesuai itu? Apakah sesuai di mata hukum atau sesuai di mata netizen? Apakah menyebarkan video tanpa menutup informasi mengenai pelaku dapat dibenarkan? Apakah menyebarluaskan data-data pribadi seorang yang terduga bersalah dapat dibenarkan? Pepatah mengatakan the pen is mightier than the sword. Karena melalui berita yang disebarluaskan kita dapat mempengaruhi orang lain untuk berpikir dan bertindak, serta mengakibatkan korban lebih dari satu yaitu orang yang bertindak dan korban dari tindakan tersebut.
Yesus berkata, “barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu pada perempuan itu.” Seberapa sering kita mengambil batu dan melemparkannya? Seberapa sering kita menggerakkan jemari untuk meneruskan video ataupun berita mengenai ‘dosa’ orang lain? Seberapa sering kita ikut memberikan komentar-komentar karena merasa diri lebih baik?
Emilia Jakob (Kontributor)